Dari tempat sederhana, Iman melahirkan lembaran kain batik tulis seharga jutaan rupiah. Pelanggannya dari Tangerang, Jakarta, Surabaya, hingga China dan Jepang.
Oleh
Abdullah Fikri Ashri
·4 menit baca
Bagi Iman (63), perajin batik trusmi, batik ibarat kitab. Batik menuntun penyatuan umat meski berbeda-beda latar belakang. Itu sebabnya, karya berusia ratusan tahun ini butuh disebarkan secara lintas generasi agar lestari.
”Tidak percaya? Coba kata ’batik’ dibalik, pasti bacanya jadi ’kitab’,” ucap Iman dalam obrolan bersama Kompas di rumahnya di Desa Trusmi Kulon, Kecamatan Plered, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Rabu (7/10/2020).
Sebelum menguraikan maksudnya, Iman terdiam. Terdengar kicauan burung murai dan gesekan daun pohon mangga karena embusan angin. Matanya memandang lembar kain berisi cerita terbunuhnya tokoh pewayangan Gatot Kaca yang menempel di dinding.
”Batik ini seperti kitab yang disebarkan oleh wali. Tetapi, harus diingat, semua agama punya kitab. Jadi, batik juga milik semua, bukan satu umat saja,” kata pemilik Batik Iman Dalem ini.
Dari cerita tetua desa, batik dibawa Ki Gede Trusmi, seorang penyebar Islam sekitar abad ke-15. Uniknya, batik tidak eksklusif untuk orang Islam saja. Bahkan, sejumlah motifnya merupakan percampuran budaya Tionghoa dan lainnya.
”Dulu, wali masuk kampung untuk belajar bersama dan tukar pengalaman karena kemampuan orang itu tidak sama. Sekarang, orang merasa tahu sedikit soal agama, masuk kampung teriak-teriak,” ujar Iman.
Iman mewujudkan inklusivitas dalam membatik. Karya terbarunya berupa motif naga dilengkapi matahari, misalnya, terinspirasi dari pelanggannya yang keturunan Tionghoa. Motif itu menyimbolkan kekuatan dan kemakmuran.
Motif ini termasuk dalam delapan motif terbarunya yang lahir semasa pandemi Covid-19. Motif lainnya adalah elang bondol khas Betawi, bambu, tupai, burung perit, jangkrik, eceng gondok, dan ranggon.
”Kalau enggak ada pandemi, saya mungkin cuma bisa bikin maksimal lima motif dalam setahun. Itu pun kalau sedang mood (suasana hati mendukung),” kata Iman yang mulai membuat motif batik sejak tahun 2000, tetapi tidak mendokumentasikannya.
Roda ekonomi
Aneka motif baru inilah yang kini memutar roda ekonominya bersama 18 perajin. Sebelumnya, pada April dan Mei lalu, Iman terpaksa meliburkan usahanya akibat pandemi. Selain tidak ada permintaan, ia juga khawatir perajinnya terpapar Covid-19.
Pandemi membuat ribuan warga yang menggantungkan hidup pada batik di Trusmi, sekitar 5 kilometer dari pusat pemerintahan Kota Cirebon, tertatih. Lapangan parkir di puluhan galeri batik yang biasanya ramai menjadi lapang sepi pembeli.
”Dengan motif baru, pelanggan tertarik karena tidak ada di tempat lain. Sudah ada beberapa yang minta contoh kainnya,” kata Iman yang menolak mengirim contoh motif via media sosial karena khawatir dijiplak.
Sekarang, dalam sebulan, ia bisa mengirimkan paling banyak 10 lembar kain batik tulis. Ukurannya 2,65 meter x 1,05 meter. Ini masih jauh dibandingkan dengan pengiriman sebelum pandemi yang mencapai 40-50 lembar kain.
”Ini sudah cukup untuk membayar perajin dan memenuhi kebutuhan makan keluarga. Kalau untung, memang belum ada,” kata Iman yang tinggal berdua bersama istrinya, Sarini (54).
Baginya, batik adalah berkarya, bukan melulu soal kembali modal atau untung. Pemahaman ini ditanamkan keluarganya sejak Iman belajar membatik saat usianya baru 15 tahun. Ia bahkan tidak memikirkan modal saat memulai usahanya pada 1987.
”Saya hanya ingat pesan kakek. Katanya, Ari menggawe si apa bae. Lamun na bisa, belajar mbatik (Kalau bekerja bisa apa saja. Tetapi, kalau bisa, belajar batik),” ucapnya.
Meskipun payah berjalan karena gangguan di kakinya sejak usia 3 tahun, Iman giat menyerap ilmu dari perajin satu ke perajin lainnya. Kesulitan bahan baku, seperti lilin malam impor dan mahalnya harga kain kala itu, tidak mematahkan semangatnya menjadi perajin.
Saking mengenaskannya nasib perajin, ada ungkapan bahwa batik itu artinya batie setitik (untungnya sedikit). ”Saya enggak sepakat. Kalau untungnya setitik, ukurannya apa? Saya, sih, berkarya saja. Kalau ada yang senang, ya, batiknya bisa dijual,” katanya.
Memulai usahanya seorang diri, kini Iman mempekerjakan 18 perajin. Mereka membatik di dalam bangunan berdinding dan beratap bambu, berlantai semen, serta ditemani alunan musik tarling (gitar suling) dangdut dari radio silinder.
Dari tempat sederhana itu, lahir lembaran kain batik tulis seharga jutaan rupiah. Pelanggannya dari Tangerang, Jakarta, Surabaya, hingga China dan Jepang. Tamatan sekolah dasar ini juga pergi ke sejumlah daerah untuk mengenalkan batik Cirebon.
Pada 2011, Iman meraih juara sayembara motif untuk seragam pegawai Pemerintah Kabupaten Cirebon. Motif gapura khas Cirebon yang terdiri dari batu bata berlapis dan berjejer itu juga menjelma pagar rumahnya.
Iman tidak ingin menikmati batik seorang diri. Teras dan sebuah ruangan di samping rumahnya pun dijadikan tempat belajar batik bagi siapa saja. Sebelum pandemi Covid-19, setiap pekan, ada saja tamu yang datang, mulai dari mahasiswa hingga karyawan perusahaan.
”Siapa saja yang mau dan mampu belajar, tidak harus orang Cirebon, silakan. Saya tidak akan memonopoli kelebihan membatik yang diberikan Allah. Saya tidak takut ada saingan. Rezeki itu dari Allah. Kalau kita tanam mangga, enggak mungkin tumbuh pisang,” paparnya.
Regenerasi perajin batik inilah yang kian merasuk pikirannya. Seperti kitab, batik harus disebarkan lintas generasi. ”Apalagi, sekarang tersisa saya dan Katura (67) yang masih aktif membatik dan membuat motif. Selama masih hidup, saya akan terus berkarya,” ungkapnya.