Sidarto Danusubroto Mengalir di Jalan Pengabdian
Sidarto Danusubroto (84) tak pernah memiliki mimpi muluk-muluk menjadi pejabat atau orang besar. Hidupnya dijalani mengalir saja seperti air dan melakukan yang terbaik ketika kepercayaan diberikan kepadanya.
Ketika ditugasi menjadi ajudan presiden pertama RI yang juga proklamator, Soekarno, di saat-saat genting dalam pemerintahannya, Sidarto menerjunkan diri sepenuhnya dan menerima jalan nasib yang datang kepadanya. Sidarto yang kini menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden adalah mantan ajudan Presiden Soekarno.
Ia menyaksikan akhir-akhir masa kepemimpinan Soekarno setelah keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), yang diikuti dengan rentetan peristiwa yang menempatkan Soekarno pada saat-saat terberat dalam hidupnya. Soekarno dan keluarganya harus keluar dari Istana Merdeka. Selanjutnya, pergerakan Soekarno dibatasi.
Pada 27 Agustus 2020, Museum Rekor-Dunia Indonesia (Muri) memberi Sidarto penghargaan sebagai abdi negara dengan masa pengabdian terlama, yakni 56 tahun. Terkait hal ini, ia menyebut semua yang datang kepadanya ialah karena rida Allah. Bisa pensiun sebagai perwira polisi berpangkat mayor jenderal, atau sekarang setara dengan inspektur jenderal, adalah sesuatu yang sangat disyukurinya. Sebab, ketika kecil, tidak terbayangkan sedikit pun cita-cita menjadi polisi atau profesi apa pun karena kondisi keluarganya yang hidup sederhana.
”Saya tidak berani punya cita-cita. Jadi, dalam bayangan saya saat itu tidak ada gambaran ingin jadi polisi. Itu sama sekali enggak ada. Atau ingin jadi apa, enggak ada itu di dalam pikiran saya. Pokoknya, saya harus sekolah yang ada beasiswanya,” ucap Sidarto dalam sambutannya saat menerima penghargaan itu. Mengenakan batik lengan panjang dengan warna dominan merah, Sidarto di usia 84 masih sehat, segar bugar, dan energik. Suaranya dalam dan berwibawa.
Lahir dari keluarga sinder (pengawas) hutan, Sidarto hidup sederhana. Sekalipun lahir di Pandeglang, Banten, Sidarto menghabiskan masa kecil dan remajanya di Yogyakarta, mengikuti tugas ayahnya yang berpindah. Ia ingin membantu orangtuanya sehingga mencari sekolah dengan beasiswa. Sebagian dari beasiswa itu akan disisihkannya untuk dikirimkan kepada keluarga di rumah.
”Saya pernah sekolah di dua tempat, yakni SMA dan SGA (Sekolah Guru Atas) Negeri di Jalan Jetis. Saya mendaftar juga di SGA karena ada beasiswa Rp 90 per bulan. Saya sekolah pagi dan sore hari. Setelah ayah saya mengetahui itu, saya diminta memilih salah satu. Akhirnya saya memilih SMA,” tuturnya saat dihubungi, Senin (7/9/2020).
Jalan hidup mengantarnya lulus menjadi siswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) di Jakarta tahun 1955. Seperti niatan awal, ia mencari sekolah yang memberikan beasiswa. Melalui iklan di surat kabar, PTIK menyediakan beasiswa Rp 550 sebulan untuk siswa yang lulus. Sidarto menuangkan pengalamannya ini di dalam buku berjudul Jalan Terjal Perubahan: Dari Ajudan Soekarno sampai Wantimpres Joko Widodo (2016). Namun, ketika disinggung mengenai pengalaman itu, Sidarto tergelak dan menjadi malu.
”Jadi, saya ini tidak mimpi jadi polisi. Itu, kan, rida Allah juga,” ucapnya lagi.
Lulus PTIK pada Juni 1962, Sidarto ditugasi sebagai perwira menengah di Urusan Hubungan Luar Negeri Mabes Polri. Tahun 1964, ia menjalani tugas belajar di International Police Academy di Washington DC, Amerika Serikat. Pada tahun-tahun itu, hubungan AS dengan Indonesia sebenarnya memburuk karena Soekarno dinilai menunjukkan permusuhan, dengan pernyataannya, ”Go to hell with your aid”. Program bantuan dari AS ketika itu pun sebagian besar terhenti. Tidak lama kemudian, Soekarno jatuh.
Bersama Bung Karno
Pada 6 Februari 1967, ia ditugasi menjadi ajudan Soekarno. Tidak mudah menjadi ajudan presiden yang telah dipereteli kekuasaannya. Banyak temannya mengingatkan agar dia sebaiknya mundur saja sebagai ajudan karena menjadi ajudan Soekarno pada saat-saat genting itu bisa saja mengakhiri kariernya. Ajudan sebelumnya, Komisaris Besar Sumirat, bahkan ditahan pasca-Supersemar.
”’Tok (Sidarto), jadi ajudan Bung Karno dalam keadaaan begini bisa berakhir kariermu’. Kata mereka begitu. Tetapi saya terima itu sebagai rahmat. Bung Karno jasanya luar biasa bagi negeri ini. Tetapi ia kemudian ditahan. Saya mendampingi Bung Karno pada akhir-akhir masa hidupnya, dan itu menjadi kehormatan bagi saya,” ungkapnya.
Benar saja, seusai menjadi ajudan, Sidarto dibebaskan dari tugas-tugas operasional di kepolisian. Selama empat tahun, ia menjalani ”screening” terkait kedekatannya dengan Soekarno dan loyalisnya. Barulah pada 1973, ia mendapatkan status ”bersih” dari Mabes Polri. Karena kondisi itu, pangkatnya tidak kunjung naik, sementara teman-temannya seangkatan sudah ada yang pecah bintang. Ia menerima informasi dari pimpinan bahwa dirinya diprogram hanya sampai kolonel sebagai pangkat tertinggi. Sidarto menerimanya dengan lapang dada.
”Apa boleh buat, inilah hidup yang datang kepada saya. Take life as they come to you and do the best of it (Terimalah hidup sebagaimana ia datang kepadamu dan lakukanlah yang terbaik atas kehidupanmu itu),” ucapnya berkali-kali.
Pengalaman bersama Soekarno menjadi bekal hidup berharga bagi Sidarto dan karier selanjutnya. Ia mengenang Soekarno sangat peduli dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA) Indonesia. Pada saat Soekarno memerintah, Indonesia masih perawan dengan hutan rimbun dan kekayaan alam yang tidak tersentuh modal asing.
Sidarto pun mengingat perkataan Soekarno mengenai hal ini. ”Darto, saya bukannya anti modal asing, tetapi saya akan mengundang modal asing pada saat sistem dan sumber daya manusia yang kita miliki sudah mampu menghadapinya. Karena kalau belum kuat, saya khawatir suatu hari republik kita akan dikendalikan oleh kekuatan modal asing,” ujarnya.
Titik balik
Tahun 1974, angin mulai berpihak kepadanya. Sidarto menjadi Kepala Polres Tangerang setelah statusnya ”bersih”. Medio April 1975, ia menjadi Kepala Dinas Penerangan Polri. Lalu, ia menjadi Kepala Badan Kerja Sama Internasional Kepolisian selama enam tahun. Pada akhir tahun 1982, ketika terjadi pergantian kepemimpinan di tubuh kepolisian, ia dijanjikan mendapat promosi. Pada tahun yang sama, ia menjadi brigadir jenderal dan ditugasi sebagai Kepala Satuan Komapta Polri (1982-1985). Selanjutnya, ia menjadi Wakil Kepala Polda Jabar (1985-1986), Kepala Polda Sumatera Bagian Selatan (1986-1988), dan Kepala Polda Jabar (1988-1991). Tahun 1991, ia pensiun dengan pangkat mayjen, sesuatu hal yang di luar dugaannya.
Selama tujuh tahun pensiun dari kepolisian, Sidarto terjun ke dunia swasta. Namun, ia tetap memantau perkembangan politik nasional. Reformasi 1998 menjadi titik balik bagi Sidarto untuk terjun ke dunia politik. Kemunculan Megawati Soekarnoputri sebagai tokoh yang didukung oleh arus bawah ketika itu, terutama menjelang Pemilu 2009, memicu Sidarto untuk menceburkan diri sebagai kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P). Ia tidak sulit menyesuaikan diri karena sejak lama memiliki hubungan baik dengan keluarga Soekarno.
Pengabdiannya kepada negara kembali dimulai dengan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tahun 1999-2004, 2004-2009, dan 2009-2014. Tahun 2013, ia ditunjuk sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) menggantikan Taufiq Kiemas yang meninggal. Sebagai penghargaannya kepada Taufiq, ia tidak menempati kursi dan meja Taufiq di ruang kerja Ketua MPR, tetapi membuat satu meja yang lebih kecil di sudut ruangan. Hal itu dilakukannya karena ia merasa Taufiq tidak tergantikan, dan ia hanyalah orang yang kebetulan ditunjuk untuk meneruskan masa jabatan itu.
Semasa di DPR, Sidarto dinilai konsisten memperjuangkan isu hak asasi manusia (HAM) dan reformasi keamanan. Ia terlibat dalam berbagai pembahasan undang-undang yang krusial, seperti UU No 39/1999 tentang HAM, UU No 26/2000 tentang Pengadilan HAM, UU No 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, UU No 2/2002 tentang Polri, UU No 3/2002 tentang Pertahanan Negara, UU No 34/2004 tentang TNI, UU No 1/2002 tentang Pemberantasan Terorisme, dan UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketua Setara Institute Hendardi mengatakan, Sidarto aktif mendorong penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Ia juga tidak segan memanfaatkan posisi politiknya untuk memperjuangkan hal itu secara rill, termasuk dengan melindungi para aktivis HAM dari ancaman kekuasaan.
Apa boleh buat, inilah hidup yang datang kepada saya. Take life as they come to you and do the best of it (Terimalah hidup sebagaimana ia datang kepadamu dan lakukanlah yang terbaik atas kehidupanmu itu).
”Ini menjadi tamparan keras bagi politisi muda yang kebanyakan gaya, tetapi tidak konsen pada persoalan-persoalan penting. Mereka juga tidak menggunakan posisi politiknya untuk kepentingan orang banyak atau orang yang tertindas. Jiwa ini ada pada Pak Sidarto, dan tidak banyak ditemui pada politisi lain yang lebih mengutamakan kepentingan sesaat,” ujarnya.
Di kalangan internal partai, Sidarto dinilai mewarisi semangat Bung Karno yang menyatakan ide, gagasan, cita-cita, dan semangat juang tidak bisa dibunuh. ”Pak Sidarto adalah sosok yang sangat memahami apa yang disampaikan oleh Bung Karno, bahwa tidak ada perjuangan yang sia-sia, no sacrifice is wasted, terlebih ketika pengorbanan itu dipersembahkan bagi bumi pertiwi Indonesia,” kata Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto.
Sidarto Danusubroto
Lahir: Pandeglang, Banten, 11 Juni 1936
Pengalaman bertugas:
- Ajudan Presiden Soekarno (1967-1968)
- Kepala Satuan Komapta Polri (1982-1985)
- Wakil Kepala Polda Jabar (1985-1986)
- Kapolda Sumatera Bagian Selatan (1986-1988)
- Kapolda Jabar (1988-1991)
- Anggota DPR selama tiga periode (1999-2014)
- Ketua MPR (2013-2014)
- Anggota Wantimpres (2015-sekarang)
Pendidikan:
- PTIK
- Fakultas Hukum Universitas Tujuh Belas Agustus Jakarta
Istri: Sri Artiwi (almarhumah), dianugerahi lima anak