Presiden Puisi Indonesia Sutardji Calzoum Bachri tidak pernah berhasil ”digulingkan” sejak ”berkuasa” tahun 1970-an. Ia kini malah tambah produktif dengan karya-karya yang berbeda dari sebelumnya. Mengapa ia bertahan?
Oleh
Putu Fajar Arcana
·5 menit baca
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Penyair Sutardji Calzoum Bachri menyampaikan pidato puisi pada Malam Anugerah Hari Puisi Indonesia 2013 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (30/7/2013). Hari puisi Indonesia yang diperingati setiap 26 Juli diambil dari tanggal lahir penyair Chairil Anwar.
Ketika saya menyinggung tak ada penyair yang bisa ”menggulingkan” Presiden Puisi Sutardji Calzoum Bachri, para peserta seminar riuh. Para penyair yang hadir dalam perhelatan Tegal Mas Island International Poetry Festival, 24-26 Januari 2020 di Lampung saling toleh. Mungkin juga ada di antaranya yang tersengat atau sebaliknya cuek saja, menganggap julukan itu hanya main-main.
Tidak sungguh benar main-main. Dalam satu pertemuan para penyair di Semarang, Sutardji pernah risau terhadap julukan yang diberikan kepada Amir Hamzah sebagai Raja Penyair Pujangga Baru. Lalu masih ada Chairil Anwar yang dijuluki sebagai Pelopor Angkatan 45 dan Presiden Malioboro Umbu Landu Paranggi.
”Saya sebut, sayalah Presiden Puisi Indonesia,” kata Sutardji waktu itu. Julukan sebagai Presiden Puisi Indonesia kemudian melekat pada dirinya sejak era tahun 1970-an. Tahun-tahun itu, Bang Tardji, demikian ia disapa para penyair, dikenal garang seperti judul kumpulan puisinya O, Amuk, Kapak.
Beratus-ratus penyair boleh muncul, lalu hilang berganti. Sutardji tetap menulis puisi dengan kerendah-hatian yang mengagumkan. Ia tidak merasa terasing berada di pantai Pulau Tegal Mas Lampung, misalnya, sambil minum sekaleng susu segar. Sementara beberapa penyair perempuan, yang bahkan namanya ia tidak hafal benar, sibuk hilir-mudik berenang dan berganti pakaian. Bang Tardji bahkan berkata, ”Kau hati-hati ya...” setelah menerima ucapan pamit dari Afiq Naufal, anak kelas III SMA yang telah menulis tiga buku puisi, Minggu (26/1/2020).
Masih terus menulis puisi, Bang?
Pertanyaan ini mungkin naif. Tetapi, saya melontarkannya sebagai pancingan untuk mengetahui apakah pada usia 79 tahun, Sutardji masih produktif. Sungguh tidak disangka, ia menjawab,”Saya menulis tangan puisi ini kemarin.”
”//Cukup sejengkal saja/akan bisa melipat dunia/Dan seribu tahunmu/dapat tersimpan luas/Dalam satu larik pendek saja/Tak maksudku untuk mengagung-agungkan puisi/Kamahamaknaannya itulah/yang menjadikannya berharga/Karena itu acungkan tabik takzim/Kepada kata-kata/Tak lain tak bukan kita juga//.”
”Ini puisi saya tulis tangan, nanti akan dibukukan dengan kredo baru,” kata Sutardji.
Kapan?
”Mungkin bulan Maret nanti,” jawabnya.
Kredonya apa Bang?
”Oh kalau itu nanti saja, ha-ha-ha.... Yang pasti berbeda dengan kredo yang dulu,” katanya.
KOMPAS/PUTU FAJAR ARCANA
Presiden Penyair Sutardji Calzoum Bachri menyanyikan puisi karyanya berjudul ”Tanah Air Mata” dalam perhelatan Tegal Mas Island Poetry International Festival, 24-26 Januari 2020 di Pulau Tegal Mas Lampung, Sabtu (25/1/2020).
Soal tulis tangan itu, penyair kelahiran Rengat, Indragiri Hulu, 24 Juni 1941 ini, mengatakan, huruf-huruf yang ada pada komputer, termasuk gawai, adalah huruf-huruf milik semua orang. Tulisan tangan berelasi kuat dengan kemampuan seseorang dalam menuangkan gagasannya.
”Huruf b padaku, tidak sama dengan huruf b pada kalian. Itulah setiap huruf yang kita tulis sama dengan tanda tangan, ia otentik, asli,” ujar Sutardji.
Pertama-tama, tambahnya, seorang penyair bercakap-cakap dengan kata-kata, bukan dengan pembaca. Ketika percakapan itu selesai, barulah kata-kata itu bercakap-cakap dengan pembacanya.
”Kalau kau sering bercakap-cakap dengan kata-kata, pasti puisimu akan jadi lain,” kata peraih Hadiah Sastra ASEAN tahun 1979 ini.
Bukan kertas kosong
Sebagai penyair, ujar Sutardji, ia tak pernah menulis di atas kertas putih. Seluruh huruf dan gagasan yang ditulis seorang penyair berada di atas tumpukan biografi, sejarah, dan bahkan trauma psikologis dalam perjalanan hidupnya. Oleh sebab itulah, seharusnya, puisi seorang penyair satu dengan lainnya memiliki kekuatan yang berbeda-beda, sesuai dengan sejarah dan biografi hidupnya.
”Puisi itu ibarat ditulis di atas lempeng kaca, di mana di bawahnya ada laut biru dan ikan-ikan. Jadi sudah ada cerita sebelumnya. Itulah tantangan seorang penyair,” kata Sutardji.
Selain itu, katanya, para penyair acap kali menemukan kata-kata sebagai sebuah biji yang diterbangkan seekor burung. Biji-biji bisa tumbuh di tanah kosong dan menjadi sebatang pohon. Begitu juga dengan kata-kata. Jika seorang penyair bersabar ketika menemukan kata sunyi, akan sangat mungkin kata ini akan bertumbuh menjadi pohon puisi yang mengimajinasikan tentang kesepian, kekosongan, kesengsaraan, atau hubungan yang tidak hangat.
Kata-kata, meski pun telah memiliki makna yang mapan, di tangan para penyair, bukan tidak mungkin ia bergeser. Menurut Sutardji, kita membawa lidah kita ke mana-mana. Ini soal selera. Hari kita suka bakso, esok lusa belum tentu. Dulu kita menyukai masakan ibu di kampung, tetapi suatu hari karena lama di Eropa, sudah tidak suka lagi.
”Ini bukan sombong, tetapi ini soal selera yang bergabung dengan biografi kita,” kata sastrawan peraih Anugerah Seni Pemerintah RI tahun 1990 ini.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN
Penyair Sutardji Calzoum Bachri menyampaikan pidato puisi pada Malam Anugerah Hari Puisi Indonesia 2013 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (30/7/2013). Hari puisi Indonesia yang diperingati setiap 26 Juli diambil dari tanggal lahir penyair Chairil Anwar.
Kata juga selalu membuka kemungkinan terhadap tafsir yang berbeda, yang sangat dipengaruhi oleh biografi seseorang. Kata mawar tak pernah diresepsi secara sama oleh beberapa orang. Ia bisa berarti traumatik, bisa pula nostalgik.
Misalnya, kata Sutardji, bagi seorang gadis yang dicium paksa oleh pacarnya di sebuah taman mawar dan dia berusaha memberontak, kata mawar bisa sangat traumatik. Berbeda halnya, kalau seorang gadis lainnya diperlakukan secara lembut oleh pacarnya, dia akan mengenang kata mawar sebagai sesuatu yang nostalgik.
Apakah seorang penyair harus mengabdi seutuhnya kepada puisi?
”Jangan kau kira aku tidak butuh pekerjaan. Aku ini orang biasa saja, walau sekarang sudah terlambat untuk bekerja,” kata Sutardji tiba-tiba.
Pada suatu masa, ketika masih muda, ia ingin menopang hidup keluarganya dengan mencari pekerjaan. Sutardji bahkan pernah merintis pendirian sebuah koran bersama beberapa wartawan. ”Aku jadi orang nomor dua di koran itu. Tapi rupanya kurang jalan..., ya, tutup,” ujarnya.
Kemana pun ia pergi, puisi senantiasa mendatanginya. Ketika detik-detik akhir ia menulis skripsi di Jurusan Adminstrasi Negara Fakultas Sosial Politik Universitas Padjajaran, Bandung, lagi-lagi karena puisi ia tak meneruskannya.
”Gara-garanya mentorku pergi mandi, eh, lama sekali ia tidak muncul-muncul. Ya, sudah aku tinggalkan saja,” kata Sutardji sambil tertawa lalu mengusap wajahnya dengan handuk kecil yang selalu dibawanya.
Dalam hal kepenyairan, kata Surtardji, ia berpantang pada manerisme.
”Pengulangan itu musuh setiap penyair. Aku harus selalu merumuskan diriku yang baru. Tunggu kredoku nanti ya,” katanya.
Ombak laut di depan kami selalu landai, tetapi para pelancong di Pulau Tegal Mas, tetap riuh bermain air. Siang pun semakin panas dan kami bersiap kembali ke daratan.