Nofrizal Mempersembahkan Emas untuk Gibran
Atlet sepak takraw Indonesia, Nofrizal (28), tak bisa membendung kegembiraannya ketika mendapatkan medali emas di ajang Asian Games 2018 nomor kuadran. Saat lagu ”Indonesia Raya” berkumandang, air matanya pun mengalir. Medali emas itu ia persembahkan bagi Indonesia dan Muhammad Gibran Ramadhan, anak keduanya yang meninggal dunia sekitar tiga bulan lalu ketika ia mempersiapkan diri tampil di Asian Games.
Gemuruh sukacita bergema di seluruh Gelanggang Olahrga (GOR) Ranau, Kompleks Olahraga Jakabaring, Palembang, Sabtu (1/9/2018). Setelah penantian panjang, Indonesia akhirnya dapat merengkuh medali emas dengan mengalahkan Jepang di babak final nomor kuadran, 2-1.
Sebuah sejarah baru tercipta karena medali emas sepak takraw ini adalah yang pertama kali Indonesia dapatkan di ajang Asian Games.
Sebuah sejarah baru tercipta karena medali emas sepak takraw ini adalah yang pertama kali Indonesia dapatkan di ajang Asian Games. Sejak Asian Games 2006 di Doha, 2010 di Guangzhou, dan 2014 di Incheon, prestasi terbaik Indonesia di cabang ini hanyalah medali perunggu.
Medali emas diraih oleh tim sepak takraw nomor kuadran yang terdiri dari Nofrizal, Muhammad Hardiansyah Muliang, Saiful Rijal, Husni Uba, Rizky Abdul Rahan Pago, dan Abdul Halim Radjiu.
Nofrizal (28), atlet takraw asal Sumatera Barat yang kini berdomisili di Makassar, Sulawesi Selatan, berperan sebagai killer. Tugasnya mencetak poin melalui tendangan smes yang menukik tajam. Dia juga menjadi pemompa semangat bagi teman-temannya untuk mencapai sukses.
Namun, di balik kesuksesan itu terdapat kisah duka. Anak keduanya, Muhammad Gibran Ramadhan, meninggal dunia karena sakit saat Nofrizal menjalani pelatnas sepak takraw di Sukabumi, Jawa Barat. Ketika meninggal dunia, usia Gibran baru tiga minggu. Nofrizal baru beberapa kali mengenok Gibran.
Gibran lahir pada 4 Juni 2018. Saat itu, Nofrizal harus mengikuti kejuaraan sepak takraw di Thailand. Sepulang dari sana, Nofrizal kembali kota Makassar untuk melihat buah hatinya itu dan menghabiskan waktu Idul Fitri bersama keluarga.
Selesai libur Lebaran, ia kembali ke Sukabumi untuk melanjutkan pelatnas yang sudah ia ikuti sejak Januari 2018. Namun, baru satu hari mengikuti pelatnas, istrinya, Asmawati, mengabarkan bahwa Gibran sakit.
”Gibran mengalami dehidrasi (kekurangan cairan),” katanya. Tak lama setelah sakit, Gibran pun meninggal dunia. Rasa duka seketika merundung Nofrizal dan keluarga.
Pukulan berat
Semangat untuk kembali ke pelatnas sempat pudar. Kehilangan Gibran merupakan pukulan berat bagi Nofrizal. Namun, berkat semangat dari sang istri dan keluarga besar, ia memutuskan kembali ke Sukabumi untuk berlatih. Tim pelatih, rekan pemain, juga turut memberikan semangat. ”Karena itulah, kondisi saya kembali pulih,” ungkapnya.
Duka kepergian Gibran kini ia ubah untuk menjadi motivasi. ”Setiap memulai pertandingan, saya selalu terbayang wajah Gibran. Itulah yang menjadi kekuatan bagi saya untuk menjalani laga dengan sebaik mungkin,” katanya dengan mata berkaca-kaca.
Kepergian Gibran juga berangsur terobati karena keberadaan Zahra Nurasila Rahma, anak sulung yang selalu menjadi penyemangat hidup Nofrizal. Seusai mendapatkan medali emas, ia selalu menggendong Zahra ke mana pun, termasuk saat mengikuti konfrensi pers. Beberapa kali ia mencium pipi buah hatinya tersebut.
Setiap memulai pertandingan, saya selalu terbayang wajah Gibran. Itulah yang menjadi kekuatan bagi saya untuk menjalani laga dengan sebaik mungkin.
Sebuah angan terbersit di benaknya, mudah-mudahan Zahra bisa menjadi atlet sepak takraw profesional dan mengharumkan Indonesia di kancah dunia. ”Kalau bisa, Zahra dapat melanjutkan profesi ayah dan ibunya sebagai atlet sepak takraw dan mengalahkan Thailand,” kata Nofrizal sembari memandangi dan setelah itu mencium putri sulungnya itu lagi.
Kecintaan Nofrizal pada takraw bermula saat SMP di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Kala itu dia sering melihat teman-temannya bermain sepak takraw bersama di lapangan voli yang ada di dekat rumahnya. ”Saya senang melihat orang loncat dan salto menendang bola,” katanya.
Sejak saat itu, ia mencintai olahraga sepak takraw. Ketika ada ajakan bertanding sepak takraw, Nofrizal tak segan mengikutinya. Sampai akhirnya, ia memutuskan untuk mengikuti Pusat Pelatihan dan Olahraga Pelajar (PPLP) Sumatera Barat.
Sejak saat itu, ia mencintai olahraga sepak takraw. Ketika ada ajakan bertanding sepak takraw, Nofrizal tak segan mengikutinya.
Dari pelatihan itu, ia mendapat kesempatan mengikuti sejumlah kejuaraan dan akhirnya masuk pelatnas mulai 2010. Empat perhelatan SEA Games ia ikuti. Bahkan di SEA Games 2013 di Myanmar dia menemukan tambatan hatinya, Asmawati, yang juga atlet sepak takraw.
Kini, Asmawati tidak lagi jadi atlet. Ia berubah peran menjadi penyemangat Nofrizal. Asmawati datang ketika Nofrizal dan kawan-kawan bertanding di semifinal melawan Korea Selatan di nomor beregu. ”Ketika istri saya datang, saya semakin bersemangat menjalani pertandingan,” kata Nofrizal.
Tarkam takraw
Bagi Nofrizal, sepak takraw telah memberikan banyak hal. Ia mendapat penghasilan untuk menghidupi anak dan istri. Namun, ia sadar benar penghasilan dari olahraga ini tidak akan selamanya mengalir. ”Saya hanya mendapatkan penghasilan saat pelatnas dan pelatda,” katanya.
Gaji dari pelatnas Rp 10 juta per bulan yang diberikan dari Januari-September. Sisanya, ada gaji dari pelatda Sulawesi Selatan untuk persiapan PON sebesar Rp 3 juta per bulan. Kadang ada tambahan dari kejuaraan di dalam negeri yang hanya satu-dua kali digelar. ”Kalau tidak ada kejuaraan, ya, saya hanya di rumah bersama istri dan anak saya,” katanya.
Untuk menambah penghasilan, Nofrizal kerap mengikuti turnamen antarkampung (tarkam). Dari turnamen tersebut, dia dapat bayaran Rp 200.000 per pertandingan.
Kalau tidak ada kejuaraan, ya, saya hanya di rumah bersama istri dan anak saya.
Ia berharap, ke depan ada kompetisi reguler sepak takraw di Indonesia. Selain untuk menambah penghasilan, kompetisi tersebut juga dapat mengasah kemampuan atlet terutama mental bertanding.
Pelatih sepak takraw Indonesia Asry Syam memaklumi jika anak asuhnya yang mengikuti sejumlah kegiatan ketika tidak ada pertandingan. Tidak hanya Nofrizal, Herson Muhamad bahkan menjadi pengemudi bentor (becak motor) untuk menambah penghasilan saat tidak ada pertandingan. Sementara itu, Abdul Halim Radjiu memilih bertani.
Walau di antara pemainnya belum memiliki pekerjaan tetap, ungkap Asry, mereka bersemangat untuk tekun berlatih demi mempersembahkan prestasi bagi Indonesia. Peralatan untuk berlatih pun serba terbatas. Mereka menggunakan ban dalam dan ban luar bekas untuk meningkatkan performa. ”Tidak ada rotan, akar pun jadi,” kata Asry.
Disinggung soal bonus bagi perebut medali, Nofrizal tidak berkata banyak. ”Memang itu (bonus) menjadi salah satu motivasi. Tapi yang terpenting adalah mengharumkan nama baik Indonesia,” katanya.
Nofrizal
Lahir: Pesisir Selatan, Sumatera Barat, 25 November 1990
Istri: Asmawati
Anak: Zahra Nurasila Rahma, Muhamad Gibran Ramadhan (alm)
Pendidikan:
- SD Negeri 38 Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat
- SMP Negeri 3 Lengayang, Sumatera Barat
- SMA Negeri 5 Padang, Sumatera Barat
- PPLP Sumatera Barat
Prestasi:
- SEA Games 2013 Myanmar 2 medali perak
- SEA Games 2015 Singapura 2 medali perunggu
- SEA Games 2017 Malaysia 1 medali perak, 2 medali perunggu
- Asian Games 2014 Incheon 1 medali perunggu
- Asian Games 2018 Palembang 1 medali emas, 1 medali perak, 2 medali perunggu