Puisi-puisi Beni Satria
Beni Satria, sarjana teknik, Universitas Pamulang. Menulis puisi, redaktur di portal sastra Mbludus.com.

Kue Kering dan Dosa yang Meleleh di Lidah Ibu
ibu berdiri di depan oven
seperti nabi yang menunggu wahyu datang dari loyang.
”jangan buka dulu,” katanya,
”ampunan itu harus matang betul.”
di meja makan,
toples-toples berjilbab pita
berisi kenangan yang telah dipanggang
dengan suhu air mata dan mentega.
aku tergoda mencuri satu,
kastangel, kecil, mungil, sombong,
persis aku saat masih SMA
dan tak pulang saat malam takbiran.
”enak?” tanya ibu,
dengan mata yang tahu lebih banyak dari CCTV tetangga.
aku mengangguk,
meski mulutku penuh dengan
rasa bersalah dan keju parut.
”di setiap kue,” katanya,
”ada bahan rahasia: maaf.
tapi jangan sering-sering bikin salah,
gula pasirku terbatas,
dan aku tak mau beli dosa dalam ukuran grosiran.”
aku tertawa,
lalu menangis diam-diam,
karena di lidah ibu,
dosa bisa jadi manis,
tapi hanya setelah ia mencampurnya
dengan cinta dan keikhlasan yang
tak pernah masuk resep mana pun.
Padang, 2025
Baca juga: Puisi-puisi Tengsoe Tjahjono
Langit Pagi dan Parfum Kuburan
(pagi raya di mana kenangan menyalami waktu)
langit pagi itu tak terburu-buru
menyapa kami yang membawa bunga dan sunyi
dalam kantong plastik bening
yang juga menyimpan detak yang tak pernah selesai.
di antara batu-batu nisan
yang tak lagi ingat siapa mereka semasa hidup,
kami datang—dengan sandal basah dan hati
yang belum sepenuhnya pulang.
ibu membaca doa
seperti mengirim surat tanpa alamat,
dan aku melihat
namaku mengambang di matanya
seperti embun di atas nama Kakek.
parfum kuburan pagi itu:
wangi tanah yang baru dipeluk air subuh,
serpih kenanga dan melati yang gugur sebelum waktu,
dan keringat diam-diam
dari mereka yang tak sanggup berkata rindu.
kami tidak menangis
karena air mata terlalu riuh di hari yang seharusnya fitri.
tapi kami juga tak tertawa,
sebab di sela takbir yang menggema di langit jauh,
ada suara yang tidak lagi bisa kami peluk.
mungkin beginilah hidup dan mati bersalaman:
di jalan setapak
yang hanya dilalui sekali dalam setahun,
di sela doa yang tercekat,
dan bunga yang kami letakkan
seperti isyarat
bahwa kami belum lupa,
meski waktu tak lagi mengenali bentuk wajahmu.
langit pagi itu tetap tak terburu-buru
karena tahu:
yang paling tulus tak pernah datang terburu.
dan di bawahnya,
kami belajar menyebut nama-nama yang telah tiada
seperti menyebut nama sendiri.
Batu Sangkar, 2025
Idul Fitri: Tanda Baca di Tengah Paragraf Kehidupan
(lebaran sebagai interupsi lembut dalam narasi yang terus berjalan)
Idul Fitri,
bukan titik, bukan garis baru,
hanya jeda—
tanda baca yang diletakkan Tuhan
di tengah paragraf
yang ditulis terburu-buru
oleh manusia yang lupa
caranya berhenti.
di hari-hari sebelumnya,
kita menulis hidup dengan tinta gelisah:
mengejar, menumpuk, melupakan.
di antara titik dan koma,
ada rindu yang tak selesai diketik
dan luka yang kita sisipkan
dalam tanda kurung diam-diam.
lalu datang pagi itu—
angin membawa takbir
seperti catatan kaki
dari langit kepada bumi.
dan kita membaca ulang hidup
yang sudah dituliskan:
halaman demi halaman,
salah ketik dan jeda panjang
yang terlewati tanpa direnungi.
di sajadah yang kita bentangkan
seperti lembar kosong,
kita ulang huruf-huruf doa
agar arti tak hilang
di tengah kebiasaan.
maaf yang kita ucapkan
bukan koreksi,
melainkan keberanian
untuk menulis ulang
tanpa menghapus yang sudah terjadi.
karena hidup,
seperti paragraf yang terus berjalan,
tak selalu butuh akhir bahagia—
cukup satu titik koma
untuk menyadari bahwa
kita masih diizinkan pulang.
Damasraya, 2025
Baca juga: Puisi-puisi Vito Prasetyo
Tikar Takbir dan Sunyi yang Pulang
malam takbiran turun pelan,
seperti debu yang enggan menetap
di sela doa yang lupa dituntaskan.
di ruang tamu yang lampunya tak dinyalakan penuh,
tikar digelar seperti sajadah tua—
ia tahu caranya menampung tubuh
yang tak lagi kuat berdiri,
dan dada yang tak lagi ingin berdebat dengan hidup.
aku duduk di sana, sendiri,
membiarkan gema takbir
mengalir di antara dinding dan dada.
Allahu akbar,
dan waktu mendadak melambat,
seperti Tuhan sedang menunggu
siapa yang benar-benar ingin pulang
bukan ke rumah,
tapi ke dirinya yang pernah hilang.
ibu tertidur dengan tasbih yang masih menggantung,
bapak batuk pelan di dalam,
dan aku—
menyimak sunyi
yang menapak satu-satu ke dalam tubuhku
seperti ayat yang belum sempat kubaca
karena terlalu sibuk mengeja dunia.
malam ini,
aku belajar bahwa takbir
bukan sekadar seruan kemenangan,
tapi gema luka yang tidak ingin menyakiti lagi,
dan nyanyian rindu
yang tak pernah tahu harus menyebut siapa.
di atas tikar itu,
aku tak lagi meminta apa-apa,
tak berharap langit berubah,
hanya ingin sunyi ini sampai,
dan diterima seperti
anak hilang yang pulang
tanpa membawa apa-apa
selain dadanya yang luluh
dan matanya yang tak sanggup menampung
air mata yang sejak dulu
tak pernah tumpah
dengan benar.
Padang, 2025