Puisi-puisi Tengsoe Tjahjono
Tengsoe Tjahjono, sastrawan produktif asal Jember, menulis puisi, cerpen, dan esai.

Paket Sore Itu
Sore turun pincang, menyeret bayangan panjang ke pintu.
Ada ketukan. Ada sunyi yang melangkah masuk sebelum paket tiba:
Kotak kardus dekil, berlumur gigil, mengembuskan bau asing.
Dibuka.
Seekor kepala babi. Dua lubang matanya kosong,
memuntahkan lorong gelap tempat kebebasan dikubur.
Telinganya terpotong, masih menangkap bisikan.
Moncongnya beku dalam jeritan yang tak terdengar.
Di antara gigi, kertas kusut terselip:
"Jangan bicara. Jangan bertanya. Jangan jadi pahlawan."
Di luar, lampu-lampu kota menyala seperti mata tanpa kelopak.
Di dalam, ruangan menjadi perigi tanpa dasar.
Pena terjatuh. Tinta tak kuasa menetes.
Layar komputer memantulkan wajah-wajah tanpa suara.
Seorang jurnalis tersandar, napasnya diiris pisau siluman.
Di sudut meja, kepala babi itu tersenyum.
Senyum tanpa bibir.
Udara semakin dingin.
Perut dunia terus mengunyah kebenaran.
2025
Baca juga: Puisi-puisi Muhammad Fatah
Kolom Gelap
Jurnalis-jurnalis duduk kaku, sebeku patung lilin.
Bibir bergerak tanpa kata, jemari mengetik tanpa aksara.
Di layar, paragraf-paragraf berjatuhan
seperti burung tanpa sayap,
sebelum dibekap tangan hantu.
Mesin cetak meraung, memuntahkan halaman-halaman putih
lebih berat dari batu nisan.
Koran-koran terbit dengan berita
yang mati sebelum subuh.
Seseorang mengetuk pintu.
Bukan manusia. Mungkin hanya bayangan.
Sisa suara yang tak pernah terbit.
Di meja redaksi, pena-pena gemetar.
Layar komputer berkedip-kedip, menampilkan satu pertanyaan:
Adakah berita esok pagi
Atau hanya kepingan sepi yang dicetak berulang kali?
2025
Baca juga: Puisi-puisi Vito Prasetyo
Tikus Tanpa Kepala
Kepala-kepala terpenggal.
Memisahkan pikiran dari jiwa dan kata-kata
Darah mengalir di antara spasi, meresapi koma yang gagu.
Kertas-kertas membisu, takut menjadi saksi.
Di luar, kota tetap berjalan.
Aksara-aksara terlihat pincang.
Pejalan kaki berpapasan dengan berita tanpa ruh.
tubuh tikus lebih jujur dari manusia.
Tak berbohong. Tak bernegosiasi. Tak mengenal kompromi.
Malam tumbuh, merambati dinding.
Seorang editor menekan tombol hapus.
Seorang reporter menutup laptop tanpa memadamkan pikiran.
Di sudut ruangan, bayangan merayap ke baris-baris kosong.
Tak perlu mata untuk mengerti.
Tak perlu telinga untuk mendengar.
Kata-kata itu kini punya gigi, setajam taring.
2025
Baca juga: Puisi-puisi Iyut Fitra
Suara yang Ditikam
Di jalan-jalan, suara pecah seperti kaca,
terinjak sepatu besi,
teriakan tinggal gema di lorong sunyi.
Sebab tenggorokan telah dijadikan kuburan.
Senyap berkuasa, menggantang malam di dada,
menyulap mulut jadi danau tanpa gelombang.
Tapi dengarkan
Suara tak bisa musnah.
Ia menjelma badai di kepala.
2025
Baca juga: Puisi-puisi Helvy Tiana Rosa
Orkestra Tanpa Nada
Di jalanan, sunyi menjadi konduktor,
mengarahkan paduan suara kecemasan.
Tangan-tangan mengepal tanpa gema,
lalu lenyap di palung birokrasi.
Pandanglah, di ujung timur fajar gemertak.
Suara-suara itu bukan arang yang padam.
Bara arus bawah, merayap ke celah-celah,
menyusun nada dalam orkestra perlawanan.
2025
Baca juga: Puisi-puisi Listio Wulan Nurmutaqin
Suara
Di malam yang koyak, suara merambat di dinding kamar, menjelma lorong di langit-langit. Aku mendengar bisik-bisiknya merayap ke ubun-ubun, menyusup ke lipatan mimpi. Ia bukan gaung, bukan gema, hanya desah yang tak sudi lenyap.
Suara yang tak bertubuh menanam dirinya di sela waktu. Di antara jarum jam yang enggan berdetak, ia berbiak, mengisi rongga udara dengan riwayat-riwayat yang ditinggalkan. Kadang ia bernama ibu yang berdoa tanpa suara, kadang ia gelak anak-anak yang sedang belajar berlari. Kadang ia hanya desir, menelusup di celah rusuk, membentuk kekosongan yang padat.
Aku menutup telinga, tapi suara tak butuh jalan masuk. Ia ada di dalam, tumbuh dari akar-akar sepi.
2025
Baca juga: Puisi-puisi Indah Wulandari Pulungan
Anonim
Guguran huruf di bibir jalan,
tidak sempat menjadi nama, tidak sempat menjadi tanya.
Langkah-langkah lewat tanpa kepala,
mata tertinggal di etalase, sibuk memilah yang bercahaya.
Gerimis menyisir trotoar,
bekas tubuh menguap di antara lubang-lubang cahaya.
Piring kosong menatap langit,
bintang-bintang tersedak di jendela restoran.
Suara?
Terjepit di pintu toko yang sepi pembeli.
2025