Puisi-puisi Vito Prasetyo
Vito Prasetyo lahir di Makassar, Februari 1964, tinggal di Malang. Ia bergiat di penulisan sastra sejak 1983.

-
Nukil Uhud kepada Iliad
ke dalam hati, aku mencari arah
menuju masa yang belum memperanakkan orokku
bukankah gelap gulita itu jalan
dari lembar kesunyian
hingga pada semesta kecil aku temukan bayangan Nusaibah binti Ka’ab al-Anshari
entah kenapa, debu-debu berdatangan
menyampul kitab-kitab tua
yang memantik ingatanku
melebur diri dalam keterasingan
dan tanganku terlalu rapuh menggenggam matahari
dari sekian catatan untuk meringkas sejarah
seharusnya aku memacu kuda
seperti mengingatkan sajakku pada pertempuran Uhud
tidak ada puisi yang gugur
tidak ada perjuangan yang pudar
senantiasa ada kisah bermekaran
meski tidak harus dengan aroma cinta
sejarah mungkin terlalu penat menyimpan taklimat sunyi
di bilah huruf yang telah beruban
menukil masa dari Sirah Nabawiyah
dalam pendar cahaya yang kian redup
hingga kuda troya kehilangan arah
memekat pada labirin malam
sewarna merah tosca
yang engkau maknai sesembahan Homer pada Iliad
memancang keperkasaan ingatan para wanita pejuang
di secarik kertas rindu yang membalut doa tertunda
Malang, 2025
Baca Juga: Puisi-puisi Iyut Fitra
Ode Tentang Force Majeure
pada kalimat tanpa tanda titik
seringkali aku bertanya
apakah hidup seperti percakapan tanpa makna
yang tidak akan pernah tuntas menyimpan kisah
dari satu jarak ke jarak lain
untuk melihat seberapa panjang perjalanan ini ditempuh
dan tangan selalu menanti takzim
di antara doa yang tidak pernah bertakziah
mungkin ingatanku mulai memudar
di antara bayang angin, malu-malu menghantar hujan
dan tanah-tanah enggan untuk menyimpan jejaknya
waktu pun bergegas, menawarkan kisah baru
membiarkan diriku hanyut dalam pertikaian sajak
hingga tanda titik itu diakhiri oleh pembaca
bukankah hidup serupa sajak yang tidak berujung
terkadang menjadi peristiwa yang tidak bisa dicegah
dan acapkali dilantunkan dalam ode tak bernyawa
Malang, 2025
Baca juga: Puisi-puisi Helvy Tiana Rosa
Kasta Reggae dan Blues
adagio
sedari tadi nyanyian ini berkumandang
bergema di antara tarian musim
sejenak di penghujung senja, aku mencoba menerka
apakah hujan tercipta supaya berkarib dengan kemarau
meski cinta tidak harus terlahir dari rahim yang sama
sering kali aku jengah
bicara tentang nada yang sama
mengalir di antara embusan angin
tetap saja ada pertanyaan sama
”bolehkah aku menangis, dengan air mata yang tidak pernah aku inginkan!”
nyanyian yang ’kudengar senantiasa mengisah sebatang kara
yang tumbuh dari akar-akar kesedihan
seharusnya ada Bob Marley atau Bob Dylan di hadapanku
antara hulu dan hilir bersahut-sahutan
mengiringi tidur dan mimpi untuk menggapai cinta
menghentak reggae dan blues menyatukan kasta puisi
bukankah dunia ini serupa nyanyian yang terus mengiringi perjalanan
Malang, 2025
Baca juga: Puisi-puisi Listio Wulan Nurmutaqin
Semesta yang Belum Kita Temukan
Arsy
selalu saja ada gugusan cahaya runtuh
mencecap dan mencumbu bibirmu
hingga rekah di antara orbit bumi
yang beribu tahun hanya menghitung jarak kota
dua musim kemarau
aku bertirakat kata
memisahkan rindu dan dendam
duduk di bangku-bangku lebam
sambil menghitung seberapa banyak keberanian tumbuh
adakah jarak terdekat untuk menjaring cinta
bila langit mengelupas
semburkan panas melebihi bara api
dua musim dingin, anganku berkelana
membiarkan waktu menyelimuti tubuhku
dan ’kusibak sunyi, dari peraduan tidur
tempat kusiapkan kematian
sebelum bibirmu kembali menyimpul senyum
atas kekalahanku, ketika aku sesungguhnya tidak mengerti apa itu tirakat
selain merasakan tubuh membeku dingin
di antara cahaya yang terus merajam semesta
Malang, 2025
Baca juga: Puisi-puisi Indah Wulandari Pulungan
Matahari Tetap Sama
tatapanmu mengayak gerabah
memancar gelisah di tungku perapian
seakan senandungkan fragmen kematian
menyongsong hidup,
lidahku mencecap matahari di pagi yang selalu sama
tidak ada embun
yang memurkai mimpi
malam pun berlari tanpa pesan
seharusnya aku memancang ingatan
pada telaga kata-kata yang kehilangan muara
aku melihat di matamu
masih ada sisa butiran air bening mengalir
seperti melukis kisah dalam opera hidup
malam masih berkabung
di hari-hari yang senantiasa diiringi cemas
masih ada dedaunan tumbuh
seperti rindu tertabuh dalam nyanyian
kelak daun-daun itu mengering
bersama desir angin,
sempurnakan makna ketabahan
dan satukan fantasi musim
engkau juga mengerti
daun-daun itu gugur bukan seperti pahlawan
bukankah hidup kita serupa sepasang musim
berjalan sejauh jarak detak jantung dan denyut nafas
adakalanya kuyup menggigil di antara derai hujan
adakalanya kering-kerontang menahan dahaga kemarau
dan hanya kepada puisi, tempat kita berteduh
Malang, 2025