Puisi-puisi Iyut Fitra
Iyut Fitra. Bukunya, ”Mencari Jalan Mendaki”, meraih penghargaan dari Perpusnas RI 2019. Tinggal di Payakumbuh.

Ilustrasi
Nagari yang Selalu Tersenyum
jauh sebelum nama
entah-berentah dan belantara
pohon-pohon merebut angin. lurah menunggu curah
ke pekan setiap galas diantarkan
lalu kuda beban
pedati atau mungkin bendi
berserah-serah waktu. saling berpamitan
di setiap pangkal atau ujung jalan
batu-batu
seribu batu
menulis peradaban
antara datang atau kemudian pergi
bukit kosan, bukit tungkul, bukit posuak,
dan pao ruso
matahari melukis sela daun
sebagaimana bujang-bujang riang dalam pantun
maek nagari seribu senyum
di tubuhnya
embun tak henti-henti turun
Koto Gadang, Maek, 2024
Baca juga: Puisi-puisi Helvy Tiana Rosa
Datanglah ke Maek
ke lembah, sanak
ke tempat bukit dan rimba saling lingkup
setelah jalan turun dan berliku. harum aroma daun
dari koto gadang bukit posuak terpampang
lukisan abadi. mungkin sejarah
orang-orang dulu berjanji
di bisu balai batu
teruskan ke aur duri
di kiri kanan rumah gadang. juga mukim raja ibadat
dekat jembatan. ada rumah makan
pesanlah gulai ikan, kerupuk jengkol, dan sedikit lada hijau
sebelum mengidu bau pongek atau kerambil cukil
ke pasar ronah, sanak
sebelum senja. muda-muda berjual beli
harum gambir atau saling jatuh hati
bukit panggil-berpanggil. jembatan angin
mengiang-ngiang sebelum tua petang
sopan tanah, sopan gadang, bungo tanjuang
singgahlah segulung tembakau
cerita-cerita purba. kurun peradaban
berdengung pula serupa batu parit dalam dan bawah parit
perahu berlumut
telapak sebesar sumur
atau waktu yang semakin tua
ke ampang gadang, sanak. juga ke koto tinggi
letih akan terus mendaki
sebagaimana matahari
tiap jengkal menyimpan misteri
kisah orang asal. atau mula segala kedatangan
berlantun dari pohon ke pohon. dari tebing ke dasar lembah
menidurkan para peladang gambir
harum gelamai masak lesung
setelah tari cipia, saluang, dan rebana
malam akan ke ujung
kabut kian tebal
batu menggigil. cerita orang bunian. gasing tengkorak atau
sijundai
bunyi-bunyi akan berdengung aneh
tapi bila hari telah pagi. teruslah ke nenan
di air terjun tujuh tingkat. di dinding tebing bergambar
rumah gadang
muda-mudi menunggu dengan tarian
ke maek, sanak. datanglah ke maek
ke tempat sejarah akan dipaparkan
Maek, 2024
Baca juga: Puisi-puisi Listio Wulan Nurmutaqin
Peladang Gambir
sebelum matahari. telah siap tungkus nasi
di jeriken harap bergumpal
kapunjam, rumput liar, ilalang, dan pisau tuai di pinggang
ke tepi rimba. di kaki bukit
disiang bulan-bulan penantian. dipupuk pula
setiap rasian
bila bulan sampai
daun-daun telah bergelut-gapai
langkah digesa. dipanggil musim mengempa
dipotong-potong hari. dalam ambung dilungguk mimpi
di rumah kampan. penat disandarkan
sebelum kancah, dongkrak, kopuak penampung, kain tapis
juga cupak sebesar buluh
palu bolotou
tali pelilit
dan apa saja segala
agar setiap pinta menjadi nyata
bulan-bulan ditunggu. kadang pokok tak pulang
letih berkalang peluh
di pasar harga merendah. dimainkan toke dan tengkulak
tapi peladang gambir
akan terus saja ke ladang
Maek, 2024
Baca juga: Puisi-puisi Indah Wulandari Pulungan
Pekan Ambek
pedagang-pedagang kecil. di tepi jalan
sebelum matahari naik
sebelum dijunjung pula asa ke pasar besar
berhenti sejenak membuka karung
teriak berpacu. antara seliweran dan deru
serupa senandung. dari ingin yang terus saja ditabung
lapak-lapak harapan
limpah ke jalan
bongkar muat. datang dan angkut
semua menyerah pada letih dan peluh. pada jual beli sebentar
lalu lengang
begitu saja
di pekan ambek
kamis yang ditunggu sekali seminggu
para pedagang kecil tersenyum. atau diam-diam menitikkan
air mata
sebelum tiba pekan berikutnya
Koto Gadang, 2024
Baca juga: Puisi-puisi Mustafa Ismail
Sampan Batang Maek
di batang maek
mimpi dan harapan tak pernah tua
sekering kemarau. sebesar apa pun air merubuh tebing
sampan harus dikayuh
ke hulu. ke tempat pasir-pasir berlungguk rindu
agar menghilir beras secupak atau api di tungku
semakin berdengkang siang
saling bergamit rasian semalam datang
dapur tak berasap. anak-anak berjalan kaki ke sekolah
kawan menunggu di lepau. setengah kopi dan sedikit gurau
tapi kadang pendayung berayun pahit. hanya peluh bercampur air
sampan kosong. pasir tak terbawa
di rumah anak-anak meminum pedih
di batang maek
kendati siang berlangsit garang
meski hujan berletus petir
sampan-sampan akan tetap dikayuh
Maek, 2024