Puisi-puisi Helvy Tiana Rosa
Helvy Tiana Rosa menulis lebih dari 80 buku sastra, sebagian sudah difilmkan dan diterjemahkan ke berbagai bahasa.

-
Perempuan dan Hikayat yang Tumbuh di Tubuhnya
Perempuan itu berdiri di bawah lampu minyak,
kerudungnya penuh debu jalan
Langit Aceh menggantung rendah di napasnya
berdesir seperti hikayat
yang jatuh ke lantai rumah panggung.
Ia membawa kopi Gayo di tangannya
tapi pahitnya sudah lama hilang
ditelan cerita tentang laut yang menyimpan peluru
dan kelok krueng yang melintasi tubuhnya,
seperti doa yang tak pernah sampai
Aceh adalah lipatan kecil di sudut matanya
di mana rebana tua menunggu,
pada malam yang tak selesai
”Tubuhku bukan hanya milikku,” katanya,
”ia adalah kampung, adalah lada
yang merayap ke dinding-dinding sejarah.”
Masjid Raya menuntun langkahnya,
dengan suara zikir yang terjebak,
di antara jendela-jendela tua.
Ia menatap Cut Nyak Dhien di dalam cermin,
tapi bayangan itu terlalu penuh luka
untuk disentuh
Di kamar itu
kerudungnya seperti layar
yang melawan angin penjajah.
Tubuhnya menjadi kapal kecil
mengangkut bayangan Pocut Meurah Intan
ke ujung malam
Aceh menulis dirinya di kulit perempuan itu,
menjadi sungai yang mencari laut,
menjadi rencong yang tumpul oleh janji
”Tubuhku adalah Aceh,” bisiknya,
dan ia tahu
dalam diamnya
ada sejarah yang terus berjalan.
Banda Aceh, 2 April 2024
Baca juga: Puisi-puisi Listio Wulan Nurmutaqin
Perempuan di Tubuh Laut
: Kemalahayati
Laut adalah luka yang tak pernah sembuh,
mengalirkan nama-nama yang hilang di kedalaman
Tapi perempuan itu tahu:
takdir tak pernah hanyut bersama arus.
Rencong melingkar di tangannya
tajam seperti doa yang menancap di jantung malam,
menulis sejarah di tubuh gelombang
dengan darah yang tak akan pudar.
Di atas palka kapal
para inong balee menjahit dendam menjadi layar.
Zikir mereka meledak di udara,
mengoyak dada musuh,
membelah angin dengan keberanian,
yang lahir dari luka kehilangan.
Cornelis de Houtman jatuh digulung ombak,
tubuhnya larut, menjadi noktah
di peta andala yang tak pernah selesai dibaca.
Hari itu, laut tidak asin.
Ia memeluk darah,
menyimpan siwah,
dan membawa suara perempuan
yang berdiri di atas gelombang,
nyanyikan syair-syair jihad,
menggema hingga langit.
Rincong lam jaroe laksamana laot
Dikéé meu aléé angen
Geulumbang hana reuda
Isém nama langsong jiwoe
Jipuwoe haba gaséh
Jipuwoe haba Aceh
Perempuan itu menjelma alamat di tepian laut,
tempat doa berlabuh,
tempat sejarah menambatkan jangkar,
Ia menjadi pohon geulumpang di ingatan kami
Keumalahayati adalah gelombang
yang tak pernah lelah pulang ke pantai-pantai kami,
meninggalkan jejak rencong di pasir,
agar kami tak lupa:
keberanian lahir dari air mata
Banda Aceh, 2024
Puisi-puisi Indah Wulandari Pulungan
Kata-kata di Meja Makan yang Lapar
Ayah duduk seperti pengawas ujian,
di hadapannya, aku adalah soal yang sulit dipecahkan.
”Jadi, kau mau kuliah sastra?”
Ia mengetuk meja pelan,
”Bisakah sastra memberi kita makan?”
Aku tersenyum,
sendokku mengaduk-aduk nasi,
mencari jawaban di antara butiran-butirannya.
”Ayah, sastra tak memberi makan.
Tapi ia mengajari kita cara menikmati rasa,
bahkan ketika lauk hanya harapan.”
Ibu menatapku seperti kalender yang penuh utang,
”Jangan bercanda, nak.
Apa kaupikir puisi bisa membayar SPP adikmu?
Cerita pendek bisa jadi ongkos ojek?”
Aku tertawa kecil,
seperti kompor yang mulai kehabisan gas.
”Bu, kata-kata memang tak mencetak uang.
Tapi ia bisa mencetak mimpi
dan menjualnya ke dunia.
Bukankah buku, lagu, film, bahkan iklan,
lahir dari kata-kata kecil yang kau remehkan?”
Ayah mendengus.
”Jadi kaupikir, kau bisa jadi kaya
dengan menulis cerita?”
Kursinya berderit,
seperti suara keraguan yang berat.
”Siapa yang mau membaca?”
Aku menatap meja,
membayangkan piring-piring itu
berubah menjadi buku.
”Ayah, kata-kata tak hanya dibaca.
Mereka didengar, ditonton, dinyanyikan.
Mereka berjalan di layar kecil
di genggaman jutaan tangan.”
Ibu menghela napas panjang,
seperti tirai yang ditarik untuk menutup malam.
”Tapi kita butuh makan, nak.
Kita butuh listrik, butuh uang untuk bertahan.”
Aku mengangguk,
dan menjawab dengan suara pelan,
seperti lilin yang menyala di tengah angin:
”Bu, Ayah, sastra adalah dapur,
dan aku akan memasak kata-kata.
Mungkin butuh waktu,
tapi aku akan menyajikan sesuatu yang berarti,
tak hanya untuk kita,
tapi juga untuk dunia.”
Malam itu,
aku tidak menutup percakapan.
Aku hanya tersenyum,
dan tahu:
suatu hari,
meja makan ini akan dipenuhi
oleh kata-kata
yang mengenyangkan doa-doa mereka.
Oktober, 2024
Baca juga: Puisi-puisi Mustafa Ismail
Deklarasi Hak Asasi Manusia
: untuk Agus R. Sarjono
Di atas podium, seseorang berteriak:
”Setiap manusia dilahirkan setara!”
Kata-katanya disambut tepuk tangan
dan dicatat dengan rapi di notulen rapat.
Di bawah podium, seseorang bertanya:
”Apakah itu juga berlaku untuk kami?”
Petugas keamanan tersenyum,
lalu mengantarnya keluar lewat pintu belakang.
Di layar televisi, seorang pemimpin dunia berkata:
”Hak hidup adalah hak yang suci.”
Lalu muncul iklan: Diskon 30% untuk senjata terbaru!
Beli sekarang, bayar nanti.
Syarat dan ketentuan berlaku.
Seorang anak mengetik di mesin pencari:
”Apakah kami manusia?”
Mesin pencari berpikir sejenak,
lalu memberi saran pencarian:
”Mungkin maksud Anda: 'bagaimana cara bertahan di zona perang’?”
Di media sosial, seseorang menulis:
”Hentikan Genosida! Free Palestine!”
Tiga detik kemudian akunnya hilang,
lenyap seperti asap di langit Gaza.
Di meja perundingan, pena-pena menari:
”Kami sangat prihatin.”
Mereka menandatangani resolusi,
sementara bom-bom terus turun seperti hujan
Di sebuah restoran mewah,
seorang pria mengangkat gelasnya:
”Kita harus membela hak asasi manusia!”
Seseorang bertanya:
”Termasuk yang di Palestina?”
Pria itu tersedak, lalu berkata:
”Maaf, saya hanya membicarakan yang sudah diakui resmi.”
Di layar televisi, penjajah menangis
merasa menjadi korban,
sementara anak-anak Gaza berhenti bertanya.
Mereka tahu, di dunia ini,
pertanyaan yang terlalu serius
hanya akan dijawab dengan peluru.
Di sebuah museum, sebuah buku tebal berdebu.
Di sampulnya tertulis: Deklarasi Hak Asasi Manusia
Seorang pengunjung membukanya perlahan,
tapi halaman-halamannya kosong.
Hanya ada satu catatan kecil di akhir buku:
”Syarat dan ketentuan berlaku.”
Jakarta, 10 Desember 2024