Potret Paman
Dalam potret, paman gagah dan berwibawa. Tubuh kekarnya dibalut seragam loreng berpadu warna hitam dan coklat tua.
Kedatangan dua truk reo siang itu membuat saya benar-benar terkejut. Saya melihat orang-orang berbaju loreng melompat terburu-buru dan lalu menggedor pintu rumah kami. Saat itu saya sedang menempel stiker Superman di kaca jendela. Saya bisa melihat mereka dengan jelas. Saya sempat berpikir kalau mereka adalah teman-teman paman. Namun, gedoran pintu yang teramat keras membuat saya benar-benar takut. Saya membuka pintu dengan tangan bergetar dan tanpa sadar beberapa stiker di tangan saya jatuh ke lantai.
”Di mana Seuhak Daud?”
Mendengar bentakan itu saya hanya menggeleng. Orang-orang bersenapan itu memasuki rumah kami dan menggeledah semua kamar. Perabotan milik mak dan buku-buku sekolah saya berhamburan di lantai. Saya masih tetap berdiri di tepi jendela, berharap mak segera pulang dari menasah. Siang itu mak sedang memasak bersama orang-orang kampung karena nanti malam ada dakwah menyambut Maulid Nabi.
Saya benar-benar takut siang itu, saya sendirian di rumah. Mak meminta saya menjaga rumah agar tak dimasuki pencuri. Sudah menjadi kebiasaan di kampung kami, setiap ada acara di menasah, orang-orang berkumpul di sana dan rumah-rumah akan kosong. Saat begitu biasanya selalu ada pencuri yang masuk. Tapi yang datang ke rumah saya siang itu bukan pencuri, melainkan tentara.
Kepada pencuri saya tidak begitu takut karena tidak pernah saya dengar mereka membunuh orang. Mereka hanya mengambil barang dan lalu pulang dengan berlari. Tapi kalau tentara, menurut cerita yang saya dengar, mereka suka mengambil nyawa orang.
”Di mana Seuhak Daud!”
Seorang tentara bertubuh jangkung kembali membentak, dan saya pun menangis. Saya teramat takut. Saya menutup wajah dengan kedua tangan. Dari celah-celah jari tangan, saya melihat seorang tentara lainnya mendekati saya. Dia bertanya dengan lembut, ”Adik tahu di mana Seuhak Daud?” Dia bertanya seraya memegang pundak saya. Saya menggeleng dan terus menangis.
”Adik sendirian di rumah?” Dia bertanya lagi.
Baca juga: Kurang
Sambil terisak saya menjawab kalau mak sedang memasak di menasah. Nanti malam ada acara maulid, kata saya. Tentara itu tersenyum ramah. Namun, saya tetap saja merasa takut, sebab di tangannya ada senapan. Saya sudah sering mendengar dari teman-teman di sekolah kalau tentara suka menembak orang. Saya juga ingat peristiwa dua bulan lalu ketika truk reo mendatangi sekolah kami. Saya melihat guru-guru dibariskan di lapangan, ditampar dan ditendang satu per satu.
Saat itu saya dan teman-teman menangis keras ketika seorang tentara menyeret Guru Mud ke dalam truk. Saya ingin keluar dan memeluk Guru Mud, tapi ruang kelas kami dikunci dari luar oleh tentara. Saya dan teman-teman hanya bisa melihat dari kaca jendela. Saya melihat guru kesenian yang suka bernyanyi dan bercerita itu diseret seperti kambing dan dimasukkan ke dalam truk.
”Ayah adik di mana?”
Tentara itu kembali bertanya sembari membelai kepala saya. Namun, saya hanya menggeleng. Saya tidak tahu di mana ayah sekarang. Menurut cerita mak, ayah sedang berjuang bersama Wali, tapi dia sendiri tidak tahu di mana. Yang saya ingat, mak pernah bilang kalau ayah berjuang untuk kemerdekaan. Namun, mak meminta saya agar tidak menceritakan tentang ayah pada siapa pun.
”Sudah lama ayah tidak pulang,” kata saya, sambil menyeka air mata yang terus jatuh.
Tentu saja saya tidak berbohong. Memang sudah tiga kali hari raya ayah tidak pulang. Andai saja dia pulang, mungkin saya sudah lupa bagaimana wajahnya.
”Adik kenal Seuhak Daud?”
Dia bertanya lagi, setengah berbisik, seolah dia adalah ayah saya. Saya katakan dengan sejujurnya kalau saya tidak kenal orang itu. Saya katakan juga kalau ayah saya bukan Seuhak Daud. Ayah saya memang bernama Daud, tapi Daud bin Seuhak.
Daud itu nama ayah saya, sedangkan Seuhak nama kakek saya. Jadi ayah saya bukan Seuhak Daud. Mendengar pengakuan saya, tentara itu kembali tersenyum, seraya melirik teman-temannya yang mengerubungi saya.
Tanpa sengaja, ketika hendak mengambil stiker Superman yang terjatuh di lantai, saya melihat seorang laki-laki memakai sebo. Dia berdiri dalam kerumunan tentara di ambang pintu. Dia memakai kaus hitam, bercelana pendek. Saya meyakini kalau laki-laki itu adalah cuw’ak.
Dulu, saat tentara menculik Guru Mud, saya juga melihat orang bersebo di sana. Saya sudah sering mendengar dari orang-orang kampung kalau cuw’ak selalu menutup wajahnya agar ia tak dikenali orang-orang. Tapi kenapa dia membawa tentara ke rumah saya? Apa dia tidak kenal paman saya?
”Kalau Adik mau kasi tahu di mana Seuhak Daud, Oom kasi uang untuk beli stiker.”
Saya tetap menggeleng karena saya memang tidak kenal Seuhak Daud. Sebenarnya saya ingin bertanya kepada tentara itu siapa Seuhak Daud, kenapa mereka begitu ngotot mencarinya, tapi saya tidak berani. Bahkan memandang wajah mereka saja saya begitu takut.
Sudah lama ayah tidak pulang.
Tentara itu menghela napas dan berusaha berdiri tegak. Mungkin punggungnya terasa sakit karena terlalu lama membungkuk saat berbicara dengan saya. Dia meminta teman-temannya untuk keluar dan kembali menaiki reo. Namun, ketika hendak beranjak keluar, tentara itu, yang di dada sebelah kanannya tertulis nama Santoso, melirik ke arah bufet, tak jauh dari tempat saya berdiri. Dipandanginya bufet itu dan lalu dia merangkul pundak saya.
”Siapa ini?” tanya Santoso seraya menunjuk sebuah foto di balik kaca.
”Itu paman saya,” jawab saya dengan suara lirih. Saat itu saya tidak lagi menangis.
”Paman Adik?”
”Iya.” Saya mengangguk.
Dia membuka lemari bufet dan mengambil sebuah potret di sana. Dipandanginya potret itu dengan sungguh-sungguh. Dan entah mengapa tiba-tiba saya teringat cerita mak. Andai saja tak dicukur cepak, kata mak, sungguh rambut paman akan berkeluk-keluk bagai gelombang pasang di Pantai Kuala Parek, saat bulan di langit terlihat penuh. Menurut mak, rambut paman berjenis patah manyang. Namun, sejak menjadi tentara, rambut paman selalu dipangkas rata, seperti rumput pekarangan sekolah menjelang tujuh belasan. Dengan potongan rambut seperti itulah foto paman dipotret dan dipajang di dalam bufet.
Dalam potret itu, paman tampak gagah dan berwibawa. Tubuh kekarnya dibalut seragam loreng warna hijau berpadu warna hitam dan coklat tua. Saat dipotret, paman sudah berpangkat sersan mayor, begitu kata mak suatu hari. Namun, seperti halnya ayah, paman juga tidak pernah pulang menemui kami. Kata mak, sejak perang berkecamuk, paman memilih bertugas di luar Aceh. Dia tidak mau berhadapan dengan bangsanya sendiri, apalagi dengan ayah yang giat menuntut kemerdekaan.
Saya sendiri tidak begitu kenal dengan paman, sebab dia sudah dikirim ke Papua pada saat usia saya masih lima tahun. Yang saya ingat dia pernah membelikan mainan untuk saya beberapa hari sebelum dia berangkat ke sana.
”Paman Adik ini, tentara, ya?”
Saya kembali mengangguk.
Setelah menyimpan kembali potret ke dalam bufet, Santoso berjongkok di hadapan saya. Kedua tangannya memegang pundak saya sambil tersenyum.
”Jadilah anak baik. Jangan ikut-ikutan GPK,” katanya.
Saya mengangguk lagi, dan saya memang anak baik. Saya tidak pernah mencuri, tidak pernah mengganggu orang dan tidak pernah bandel di sekolah. Saya selalu ingat pesan mak, kalau besar nanti saya harus berjuang seperti ayah. Saya harus berjuang untuk kemerdekaan Aceh. Tapi, saya tidak boleh mengatakan itu kepada orang lain, demikian nasihat mak. Maka, ketika Santoso menanyakan cita-cita saya saat besar nanti, saya hanya bisa diam, tidak bisa menjawab.
”Sekolah yang rajin dan jadilah patriot seperti pamanmu. Kamu harus membela Tanah Air, membela NKRI.”
Baca juga: Kenapa Si Gondrong Berambut Cepak?
Santoso membisikkan kata-kata itu di telinga saya. Sepertinya dia bersungguh-sungguh dengan kata-kata itu. Saya bisa mendengar dari nada suaranya yang bergetar, persis nada suara mak ketika membisikkan kata-kata kemerdekaan di telinga saya.
Tak lama kemudian Santoso bergegas keluar. Dia berlari menaiki truk yang dipenuhi tentara. Saya kembali menuju jendela, menempel beberapa stiker Superman yang masih tersisa. Saat mak pulang dari menasah, dia membangunkan saya yang tertidur di lantai. Saya duduk dengan tubuh sedikit linglung. Mak menanyai saya tentang barang-barang yang berserakan dan debu-debu yang menempel di lantai. Saya menceritakan semuanya dari awal sampai akhir.
”Apa kamu memberi tahu tentang ayahmu?” tanya mak, sambil menggoyang-goyang bahu saya. ”Kalau ketahuan rumah ini bisa dibakar. Mengakulah! Apa kamu bercerita tentang ayahmu?”
Saya menggeleng. Saya katakan pada mak kalau saya tidak bercerita tentang ayah. Lagi pula apa yang mau saya ceritakan, sudah lama saya tidak melihat ayah, sudah tiga kali hari raya. Kadang-kadang saya pun malu ketika teman-teman bertanya tentang ayah yang tidak pernah mengantar saya ke sekolah. Mereka bilang ayah saya sudah punya mak baru dan anak baru. Dia tidak akan pulang menjenguk saya. Namun, setiap saya ceritakan itu pada mak, mak selalu bilang kalau ayah sedang berjuang. Tapi mak tidak pernah mau memberi tahu di mana ayah sekarang. Kalau memang ayah bergabung dengan GPK, pastilah sesekali dia pulang, seperti ayah teman-teman saya yang sering pulang tengah malam dan lalu pergi lagi sebelum pagi.
”Syukurlah kalau kamu tidak memberi tahu,” kata mak seraya memeluk saya.
”Tapi ada satu tentara yang baik,” kata saya dengan suara lirih.
”Ya. Hanya ada satu tentara yang baik di dunia ini. Dia pamanmu.”
”Tapi, Santoso juga baik.”
”Siapa Santoso?” tanya mak dengan mata mendelik, seraya melepas pelukannya dari tubuh saya.
”Dia tidak memukul saya. Dia bilang saya harus sekolah yang rajin dan menjadi patriot seperti paman.”
Tiba-tiba saja mak terduduk lemas. Dia duduk di hadapan saya yang juga masih linglung. Dia terlihat lelah usai seharian memasak di menasah, dan kelelahan mak segera bertambah setelah melihat rumah kami berantakan.
”Jangan mau kamu dicuci otak sama si Pai.”
Kali ini suara mak terdengar tegas dan karena itulah saya kembali mengangguk. Saya tidak ingin mak kecewa. Saya pun berjanji pada mak kalau saya akan menjadi pejuang seperti ayah. Mak tersenyum dan kembali memeluk saya. Dia meminta saya berkemas-kemas dan menyiapkan diri untuk ke menasah selepas Isya. Kata mak, nanti saya bisa melihat Seuhak Daud di sana.
”Orangnya gagah dan berwibawa. Dia sangat mirip dengan ayahmu,” bisik mak seraya mengikat sarung di pinggang saya. Dan, di sana saya benar-benar melihat Seuhak Daud, tubuhnya tinggi semampai. Malam itu dia memakai kemeja biru dan celana jins, sementara tangan kanannya menenteng AK-47. Kumisnya memang sangat mirip dengan kumis ayah.
Tapi ada satu tentara yang baik .
Namun, ingatan saya kepada Seuhak Daud segera saja sirna ketika dua minggu kemudian Santoso kembali mendatangi rumah kami. Dia datang seorang diri dengan sepeda motor. Baju kemeja lengan panjang yang dimasukkan dalam celana membuat Santoso terlihat semakin tampan. Dia berbicara dengan mak seraya melihat potret paman dalam bufet. Di hari-hari berikutnya laki-laki itu semakin sering muncul di rumah kami. Dia membawa banyak stiker untuk saya. Dan, ketika mereka asyik berbincang, yang diselingi tawa cekikikan, saya menghabiskan waktu menempel stiker di kaca jendela.
Demikian berlangsung berhari-hari sampai kemudian mereka menikah. Namun, kepulangan ayah yang tiba-tiba, dua bulan setelah perdamaian Helsinki, membuat keadaan seketika berubah. Ayah menembak Santoso dan mak, lalu menembak kepalanya sendiri. Sejak saat itu saya pun menjadi yatim piatu. Itulah sebab saya selalu mangkal di lampu merah dan membawa potret ini. Saya menunggu kepulangan paman untuk menjemput saya.
Bireuen, April 2024
Catatan:
Wali: Pimpinan tertinggi GAM
Cuw’ak: informan aparat
Patah manyang: rambut ikal
Pai: sebutan untuk aparat TNI-Polri
Tin Miswary, menulis esai, cerpen dan resensi buku. Lahir dan bermukim di Bireuen.