Kurang
Selama Mala bernapas di bumi, ruh hedonisme dalam dirinya terlepas dari rantai tatkala dia menerima gaji pertama.
Baru gajian. Mala mengintip pendapatannya bulan ini yang masih sama dengan bulan-bulan sebelumnya, lima juta rupiah sudah dipotong pajak dan beberapa iuran. Dia segera membagi-baginya dengan rincian sebagai berikut: Empat puluh persen untuk kebutuhan ini dan itu, tiga puluh persen untuk biaya ingin ini dan itu, dua puluh persen untuk membayar cicilan kartu kredit, dan sisanya untuk ditabung serta untuk ibu di kampung halaman. Tetapi 30 persen terlalu sedikit untuk membiayai kesenangannya, apalagi dia sudah berikrar akan membeli satu set pakaian di Uniqlo.
”La, jangan lupa Sabtu nanti!” seru Mini dari bilik seberang. Nah, kan? Sudah ada yang menagih janjinya untuk mentraktir rekan sekantor. Selama setahun bekerja di perusahaan jasa itu, Mala cukup populer. Dia pegawai yang rajin dan ringan tangan. Dianggap ringan tangan sebab dia akan mengerjakan tugas, baik yang bukan kewajibannya maupun yang tidak.
Maka, agar kepopulerannya tidak menyurut, serta tidak dianggap pelit dan tidak tepat janji, maka Mala menyanggupi. Dia hanya mengganti persenan alokasi gaji yang tadi dia rancang menjadi seperti ini: 40 persen ditujukan untuk biaya ingin ini dan itu, 30 persen untuk kebutuhan, 20 persen untuk membayar cicilan kartu kredit, dan sisanya ditabung, serta dikirim untuk ibu.
Tidak tanggung-tanggung. Rekan sekantor sepakat untuk makan di Dopamine, resto yang sedang hits dan elite juga. Letaknya berada di pusat kota. Para pengunjung bisa menikmati langit berona jingga dari lantai tertingginya. Matahari akan terlihat menggelantung di antara gedung-gedung tinggi kemudian pelan-pelan menghilang disapu malam.
Bangunan restoran itu bergaya kolonial, bercat kuning gading dengan jendela-jendela besar, desain interiornya apik, dan harga makanannya luar biasa. Pernah sekali waktu Mala makan di sana. Harga untuk seporsi nasi kampung saja sebesar 25.000 rupiah. Mala terpaksa menggunakan tabungannya agar tidak kehilangan muka.
”Wah, La, gimana nih. Aku pesan banyak pula ini.” Pak Ota, kepala bagian yang kadang nggak ngotak itu berseru.
”Tak apa, Pak, kebetulan saya baru dapat uang saku dari Mama,” katanya dengan kejujuran yang palsu. Tak apalah. Ini semua demi nama baiknya.
Baca juga: Ibu, Aku Hanya Ingin Mudik
Gajian bulan berikutnya. Mala langsung membagi-baginya dengan persenan yang tidak sama dengan bulan lalu. Empat puluh persen untuk tabungan, tiga puluh persen untuk mengganti tabungan, dua puluh persen untuk cicilan kartu kredit, sisanya untuk ibu dan tabungan. Tetapi Mala lapar mata. Dengan sekian kali klik pada akun shopee-nya, dia membeli seperangkat alat kosmetik, dua buah tas imut, dan sepasang sandal aesthetic.
***
Selama Mala bernapas di bumi, ruh hedonisme yang ada dalam dirinya terlepas dari rantai tatkala dia menerima gaji pertama. Dia harus memperbaiki hidup begitu mendapat pekerjaan, begitu prinsipnya. Sejak Mala menjadi salah satu penghuni bumi, tak pernah dia merasakan kesenangan seperti ini. Keluarganya menempati strata menengah dalam stuktur ekonomi masyarakat. Ayahnya bekerja sebagai PNS golongan rendah, sementara ibunya guru honorer di sebuah sekolah negeri.
Mala adalah seorang adik dari seorang kakak perempuan. Pakaiannya adalah pakaian kakaknya dulu yang sudah tidak muat lagi, ditambah dengan pakaian hasil berbelanja monza di pasar. Oleh sebab itu, Mala sering menggerutu. Di sekolah dia sering dirisak sebab seluruh yang melekat dalam dirinya adalah bekas. Seragam sekolah, tas, sepatu, hingga jam tangan adalah bekas.
”Yang penting kita semua sehat dan bahagia, Nak,” kata ibu yang hanya menempel sebentar di membran timpaninya.
Muka Mala mutung seharian bila ibunya sudah menasehatinya demikian. Mala sesekali ingin seperti Tiara yang selalu serba baru setiap dua bulan sekali. Ikat rambut, seragam sekolah, sepatu, hingga peralatan sekolah semuanya baru. Atau seperti Berliana yang selalu mengenakan perhiasan meskipun itu imitasi.
Begitu Mala diterima bekerja di perusahaan ini, Mala langsung mengkonstruksi diri sebagai pribadi yang sempurna. Dia akan selalu upgrade terhadap apa pun yang melekat dalam dirinya, entah itu pakaian, model rambut, model kuku, hingga produk skincare.
”Wah, pantas muka kamu makin glowing, pakai cushionNature rupanya. Boleh coba, La?” tanya Mini yang mampir ke mejanya.
”Boleh, Mbak!” Tindakan Mini kemudian diikuti oleh rekan sekantornya yang mencoba produk terbaru dari salah satu brand terkenal. Bilik kerjanya mendadak ramai dan tentunya Mala menyenangi hal itu.
***
Hari ini gajian lagi. Mala sudah mengajukan permohonan kartu kredit terbaru. Dia memborong beberapa stel pakaian dari Uniqlo dan sebuah tas impor yang dibeli dari H&M.
Tas itu membawa decak kagum dari rekan sekantor. Bilik kerjanya seketika ramai. Tas itu langsung beralih dari satu tangan ke tangan lainnya seolah mereka belum pernah melihat benda itu sebelumnya. Pensil alisnya pun dicoba oleh Gita. Mala sebenarnya risih bila barang-barang pribadinya dipakai, tetapi Mala sangat menikmati segala perhatian ini sehingga dia memilih diam sembari tersenyum.
”Berapaan, La?” Mala malu-malu menyebut harga pensil alis itu.
”Tiga ratus ribu.”
Rekan-rekannya melongo, antara kagum dan heran. Heran, sebab bisa-bisanya Mala mengeluarkan uang sebesar itu hanya untuk sebuah pensil alis.
Segala perhatian yang ditujukan untuk Mala pecah tatkala seorang wanita memasuki ruang kerja. Dia adalah Ita Nuansa yang baru plesiran dari Maldives.
Yang penting kita semua sehat dan bahagia, Nak.
”Ada yang baru pulang dari honeymoon, nih!” seru Mini yang lantas mendekati Ita di mejanya. Sesaat kemudian bilik Ita ramai. Mumpung sedang istirahat, mereka bercakap-cakap di meja Ita. Mala pun ikut nimbrung.
Ita memperlihatkan tempat-tempat eksotis di Maldives. Laut hijau kebiruan, rumah-rumah kecil yang menyerupai honai, pasir putih, sungguh menggetarkan jiwa petualang Mala.
Dirinya sudah lama ingin pergi ke tempat-tempat seperti itu. Menjelajah Eropa, Asia, hingga ke ujung bumi, namun apa daya gajinya hanya berkisar 60 juta per tahun. Mala sungguh iri pada Ita, sudah bersuami dan kaya pula.
***
”Sudah ada kabar dari Mala belum?” Ita bertanya dan rekan-rekan kerjanya yang lain menggeleng. Sudah hampir sebulan ini Mala tidak datang ke kantor. Dihubungi juga tidak bisa. Hal itu yang membuat Ita gelisah tak menentu sebab Mala meminjam uang Ita. Tidak masalah bila Mala meminjam seratus atau lima ratus ribu rupiah. Masalahnya, wanita itu meminjam lima puluh juta.
”Dia juga meminjam uangku, Ta. Lima puluh juta juga. Dia bilang padaku uang itu akan dia gunakan untuk operasi ibunya yang kena kanker payudara,” ujar Mini.
”Lha, padaku dia bilang, uang yang dia pinjam dariku itu, akan dia gunakan untuk biaya pengobatan ayahnya,” kata Ita yang semakin gelisah.
”Tetapi bukannya ayahnya Mala sudah lama meninggal?” sahut Gita kebingungan, sebab padanya, Mala pernah bercerita bahwa ayahnya sudah lama tiada.
”Ini Mala, bukan? Aku mencari akun Instagramnya dan menemukan ini,” kata Mini tiba-tiba. Mini memperlihatkan sebuah akun dengan nama pengguna malastyle. Sebuah foto menunjukkan seorang wanita berpenampilan modis sedang bergaya di depan Menara Eiffel.
Foto tersebut ber-caption’menjelajah Paris hari ini’. Foto itu diunggah seminggu yang lalu. Ada lagi foto saat wanita itu memakan pizza dengan latar bangunan kafe. Dia menulis caption ’makan pizza di negara pizza’. Hal itu membuat Ita meledak.
”Benar ini Mala!” Ita nyaris berteriak.
***
Mala berjalan-jalan di sepanjang pasir putih sembari menyaksikan buih-buih air laut yang melembabkan pasir. Akhirnya Mala berada di tempat ini. Bisa menikmati Maldives dari jarak dekat. Tidak ada yang tahu keberadaannya di tempat ini. Bahkan Interpol pun tidak. Dia punya kemampuan menghindar dari bahaya sekarang, seperti bunglon.
Sejak dirinya membuat alasan untuk memperoleh pinjaman dari Ita, dia mendapati bahwa dia berbakat dalam membuat kebohongan. Dia mencoba hal itu juga kepada Mini dan berhasil pula. Mala kemudian memberanikan diri untuk meluluhkan pihak bank dan berhasil mendapatkan hati mereka di atas seratus juta. Mala telah mengajukan banyak kartu kredit dan berhasil meluluhkan hati banyak orang dengan kebohongan palsunya.
Lima tahun berlalu. Kini, dunia sedang mengincarnya sebagai penipu kelas dunia yang harus ditangkap. Mala tidak takut sebab dengan tutur kata yang manis dan sedikit ekspresi wajah yang menyedihkan, orang-orang pasti luluh padanya.
”Mala, kamu di mana? Pulanglah. Ibu sedang sakit.”
Itu pesan dari kakaknya. Ya, dia pasti pulang, tetapi tidak untuk saat ini. Dia akan bersenang-senang sedikit lagi karena masih terasa kurang bila kesenangan ini harus diakhiri.
Baca juga: Aku Ingin Menjadi Seekor Anjing
Fri Yanti atau Fri Yanti Nulo Fau, Pengajar di Bimbel Triseta, Medan.