Calon Arang
Dadong Mentik menolak dibawa ke puskesmas apalagi sampai opname. Menurutnya, sakit ini bukan medis, melainkan hal magis.
Dadong Mentik tidak ke pura saat hari raya Galungan. Dia justru tidur di kamar, sementara anak dan cucunya tidak memaksa untuk mandi lalu bersembahyang minimal di merajan saja. Mungkin anak dan cucunya tahu kalau neneknya sakit-sakitan. Berjalan saja memerlukan bantuan tongkat.
Sementara warga kampung merayakan hari raya Galungan dengan sukacita. Anak-anak sejak pagi telah memakai baju baru berkumpul dengan teman-temannya, sementara ibu-ibu membawa banten untuk dihaturkan ke pura. Bermacam-macam tarian dipersembahkan kepada Tuhan dalam berbagai manifestasinya hingga ada yang kerauhan (kesurupan).
Dari luar beberapa bule mengintip apa yang sedang terjadi di pura. Mungkin mereka sedang takjub dengan ritual beragama di Bali. Ada seorang guide yang kebetulan warga lokal menjelaskan kepada bule-bule itu bahwa yang menari sedang kerauhan. Semakin keras gong ditabuhkan, maka semakin memuncak juga tarian itu. Beberapa bule bertanya tentang tarian yang berada di bandara kenapa tidak sereligius ini.
Guide lokal itu mengatakan bahwa jenis tarian dibedakan-bedakan atas sifatnya, yakni sakral dan hiburan. Yang bule itu maksud adalah tarian penyambutan yang bisa sewaktu-waktu ada tergantung kebutuhan manusia saja. Namun, tarian sakral seperti sekarang ini tidak sembarangan dilakukan. Ada hari baik, ada ritual dan ada magisnya serta pawisik (bisikan) yang diterima oleh orang-orang yang disucikan seperti jero mangku. Bule itu hanya mengangguk-ngangguk saja, dia salut akan budaya yang begitu mengakar pada kehidupan masyarakat. Kalau di negaranya, orang-orang tidak sempat beragama cenderung individual.
Baca juga: Toko Cinta
Di dekat pelinggih yang tinggi itu, Bli Made menusuk-nusukkan keris ke dadanya. Dengan sekuat tenaga hingga matanya terbelalak namun keris itu tidak mampu menembus dadanya. Bli made yang sehari-harinya dikenal tidak banyak omong seketika menjadi agresif dan ekspresif di hadapan warga desa. Ada tiga orang yang kerauhan seperti Bli made, namun yang satunya lebih ekstrem, yakni menancapkan keris ke area dekat mata sebelah kanan. Anak-anak menjerit ketakutan menyaksikan hal itu sehingga beberapa orang tua mengajaknya keluar pura.
Kemudian pecalang merampas keris Bli Made serta tiga warga desa itu lalu dipercikkan air suci oleh jero mangku. Pelan-pelan mereka menjadi sedikit tenang dan berangsur-angsur sadarkan diri. Begitu juga serangkaian hari raya Kuningan, Dadong Mentik tidak bisa sembahyang. Sakitnya kembali kambuh setengah badannya tidak bisa digerakkan. Anaknya panik lalu mengajaknya ke puskesmas, namun pihak puskesmas merujuknya ke rumah sakit umum daerah yang ada di kota. Dadong Mentik menolak dibawa ke sana apalagi sampai opname. Menurutnya sakit ini bukan medis, melainkan hal yang magis.
Dadong mengatakan bahwa dalam sebuah mimpi dia didatangi sesosok raksasa hitam lalu mencabik-cabik tubuhnya. Dadong melawan hingga berhasil menusuk kaki sebelah kanan raksasa tersebut. Namun luka di mimpi itu membekas hingga ke dunia nyata sehingga Dadong menjadi sakit. Mendengar penjelasan tersebut lalu anak-anaknya mengajak pulang untuk menghindari ketegangan antara dadong dengan dokter. Sampai kapan pun perdebatan itu tidak akan ada ujungnya sebab dokter bicara teori, sedangkan dadong bicara keyakinan. Sementara kasak-kusuk di warung Pan Joblar tersiar isu kalau Dadong Mentik mempunyai kesaktian hingga ilmu leak.
Seorang petani, yakni Nengah Abdi, yang sedang mengecek air irigasi sawah tengah malam melihat dadong menari-nari di kuburan. Awalnya dia mengira hal tersebut hanya sebuah dahan pohon yang tertiup angin, namun ketika diintip lebih dekat lagi ternyata Dadong Mentik sedang melakukan ritual pengeleakan. Kepalanya ditutupi kain poleng (hitam dan putih) betapa terkejutnya ketika Pak Nengah menyaksikan secara langsung lidah Dadong memanjang serta air liurnya menetes tidak tertahankan. Babi hitam dijadikan tumbal, lalu dimakan hidup-hidup oleh Dadong Mentik. Pak Nengah lari terbirit-birit hingga tidak bisa berkata-kata apa pun sesampainya di rumah. Tatapan matanya kosong dan tidak bisa diajak ngomong. Istrinya berdoa di merajan lalu nunas tirta kemudian memercikkan tirta tersebut ke suaminya. Pak Nengah mulai mereda lalu beristirahat seperti orang yang mengalami kelelahan hebat. Besok harinya baru diceritakan tentang apa yang dia lihat kemarin malam.
”Luh, sepanjang hidupku baru kemarin malam bli melihat leak,” kata Pak Nengah.
”Tapi benar yang bli lihat itu Dadong Mentik yang menjelma menjadi leak?” tanya Luh Simpen,
”Bli sangat yakin Luh, beberapa saat kemudian lidahnya memanjang, air liurnya menetes, lalu bola matanya putih serta melotot Luh,” jawab Pak Nengah.
”Lalu kenapa bli kemarin seperti orang linglung begitu sampai rumah?” tanya Luh Simpen,
”Bli tidak bisa mengontrol ketakukan itu dan mengendalikan tubuh bli sendiri,” jawab Pak Nengah.
”Untung tiang kemarin langsung nunas tirta ke merajan sehingga bli bisa mendingan. Tiang sangat khawatir, bli tidak usah lagi tengah malam ke sawah, apalagi sawah kita dekat kuburan,” kata Luh Simpen.
Ternyata Dadong Mentik sedang melakukan pembalasan terhadap sesosok raksasa yang kemarin mencabik-cabik tubuhnya. Dia berhasil membunuh raksasa tersebut hanya dengan kuku-kukunya yang tajam lalu merobek urat nadi tangannya. Raksasa tersebut jelmaan pengeleakan yang sengaja beradu ilmu dengan Dadong Mentik. Tiga hari setelah kejadian tersebut, ada seorang nenek dari kampung sebelah mati mengenaskan di kamarnya sendiri. Dari dalam kuping hingga hidung mengeluarkan darah segar hingga urat nadi di kedua tangannya putus. Tentu yang kalah akan mati, termasuk badan kasarnya mengalami luka-luka sebagaimana yang terjadi dalam pertarungan malam itu. Desas-desus kematian nenek tersebut telah beredar di kampung. Warga meyakini dia mati karena kalah bertarung dengan Dadong Mentik oleh sebab itulah tidak ada yang berani menyapa atau bertemu dengannya.
Luh, sepanjang hidupku baru kemarin malam bli melihat leak.
Kejadian tersebut membuat keluarga Nengah Abdi trauma hingga tidak berani keluar larut malam. Setiap kali dia bertemu dengan Dadong Mentik selalu menghindar, bahkan tidak berani menatapnya. Pernah suatu ketika mereka berpapasan di warung Pan Joblar saat membeli bubur buat anaknya, lalu Pak Nengah disapa namun dia tidak berani menyapa balik. Bubur yang dibelinya pun tidak jadi dimakan sebab dia takut dimantra-mantra oleh Dadong Mentik.
Sepertinya Dadong telah mengetahui bahwa Pak Nengah lah yang mengintipnya ketika menjelma menjadi leak di kuburan kala itu. Atas beberapa kejadian serta fenomena yang dia saksikan membuat Pak Nengah menjadi rajin sembahyang setiap hari agar terhindar dari hal-hal yang ingin menyakiti dirinya dan keluarga.
Beberapa minggu kemudian, di desa Pak Nengah ada sesolahan calon arang. Warga berkumbul di jaba pura untuk menyaksikan sesolahan ida sesuhunan. Momen ini tentu langka, mungkin hanya sekali dalam setahun bergantung hari baik, musyawarah tokoh adat hingga pawisik yang diterima jero mangku. Gong mulai ditabuhkan dengan berbagai ritme hingga kidung sakral menggema ke telinga paling dalam. Suasana magis mengalir ke setiap diri masyarakat yang menyaksikan. Bahkan, remaja perempuan itu tidak sanggup menahan energi yang begitu kuatnya sehingga mereka kerauhan massal. Mereka menari tidak terkendali dengan mata yang masih terpejam.
Tibalah saatnya ida sesuhunan medal hingga membuat warga tidak berani berdiri. Tarian sakral membuai semua orang yang datang hingga pada puncaknya puluhan lelaki dewasa keluar sambil memegang keris tajam. Mereka disebut unying, yakni seseorang yang menusuk-nusukkan keris ke badannya. Tentu mereka telah berada dalam dimensi dan dunia yang berbeda sehingga sekuat tenaga mereka menancapkan keris itu bahkan di area dekat mata sekalipun keris tersebut menjadi bengkok.
Kemudian bangke matah, yakni seseorang yang berperan menjadi mayat diupacarai selayaknya orang telah meninggal dibawa ke tengah-tengah keriuhan itu. Seorang guru spiritual mengundang atau memberikan tantangan terbuka kepada siapa pun yang memiliki ilmu leak untuk mengadu kesaktian dengannya. Bangke matah tersebut di gotong lalu dibawa ke kuburan tengah malam. Bangke itu akan dibiarkan di sana dalam beberapa jam ke depan hingga siapa pun boleh untuk menguji kesaktian ilmu pengeleakan yang dimilikinya. Jika dalam sebulan tujuh hari seseorang yang berperan menjadi bangke matah tersebut meninggal, berarti dia kalah. Namun, jika dalam tiga hari ke depan ada seseorang yang meninggal seusai pementasan calon arang ini, berarti pengeleakan itu yang kalah.
Tentu sudah menjadi rahasia umum bahwa seseorang yang menjadi bangke matah telah dibekali jimat-jimat penghalang serangan dari siapa pun. Atau minimal mereka telah memiliki seorang guru spiritual yang melindunginya dari serangan leak. Sejak tantangan terbuka itu disampaikan, nyawa seseorang yang berperan mejadi bangke matah terancam sebab seusai calon arang dia akan terus diincar oleh siapa pun yang memiliki ilmu leak. Maka jimat serta guru spiritual yang melindunginya harus selalu bersiap menghalau serangan itu setiap saat.
Dadong Mentik memang telah gelisah semenjak calon arang itu baru dimulai. Dia berkali-kali mondar-mandir di depan rumahnya untuk kencing. Namun, hal tersebut membuat beberapa warga yang melihatnya aneh sebab seketika dia bisa berjalan tanpa tongkat yang sehari-hari digunakan. Lalu cucunya melihat Dadong Mentik menari-nari di kamar seorang diri.
Baca juga: Ibu, Aku Hanya Ingin Mudik
Mungkin Dadong Mentik tidak bisa menahan hasrat untuk menerima tantangan tersebut. Akhirnya dia menjelma menjadi leak dan bertarung melawan bangke matah itu. Dadong Mentik mencoba menjilat kakinya, namun berhasil ditampar oleh guru spiritual itu. Hingga kemudian Dadong Mentik menjelma sesosok raksasa hitam yang tinggi. Dia ingin menginjak-injak perut bangke matah itu, namun selalu di tahan.
Pada malam calon arang itu, dia tidak berhasil mengalahkan kesaktian dari bangke matah, namun pada keesokan harinya dia telah mempersiapkan segala sesuatunya. Dia datang ke kuburan tepat jam dua belas malam. Lalu dia mengelilingi salah satu kuburan yang masih baru sebanyak tiga kali hingga dia berhasil menjelma menjadi celuluk. Matanya sipit dengan gigi bertaring serta rambut putih, kemudian dia menari di tengah-tengah kuburan itu. Sementara ajakan bertarung diterima oleh bangke matah itu. Bertarunglah mereka dengan ilmu yang mereka miliki. Dadong Mentik berkali-kali mencekik lehernya namun selalu mampu di balas dengan tusukan sebilah keris ke perut sebelah kiri. Namun Dadong Mentik belum mereda, dia semakin bernafsu mencabik leher dari bangke matah itu. Namun di tengah pertarungan datanglah seekor burung gagak yang mematuk kedua mata Dadong Mentik sehingga dia tidak mampu melihat apa-apa lagi. Sehingga bangke matah serta burung itu menghabisi Dadong Mentik tanpa ampun.
Wajahnya hancur karena dicabik-cabik oleh burung gagak, sementara dadanya ditusuk keris oleh bangke matah. Ternyata sang guru spiritual datang untuk membantu anak buahnya melawan Dadong Mentik. Tiga hari seusai calon arang itu Dadong Mentik mati mengenaskan, yakni dadanya remuk hingga batu matanya keluar. Anak pertamanya yang menyaksikan hal tersebut tentu kaget lalu menghubungi keluarga lainnya untuk pulang segera. Anaknya menangis sebab di ujung usianya yang sudah renta dia meninggal dengan tragis. Apalagi warga kampung terlanjur memberi stigma buruk tentang keluarga Dadong Mentik yang memiliki kesaktian ilmu leak.
Hingga kemudian Dadong Mentik dikuburkan namun berita kematiannya masih terus dibicarakan. Terutama penyebab kematiannya selalu dikait-kaitkan dengan kekalahannya melawan bangke matah saat calon arang. Demikian tragis kematian seseorang yang menjelma menjadi leak. Mereka selalu bernafsu mengadu ilmu-ilmunya hingga menerapkan kesaktian aji ugig yakni menyakiti seseorang tanpa dasar kesalahan apa pun.
Baca juga: Rabu yang Baik
I Wayan Kertayasa, pengajar literasi di Yayasan Was. Saat ini penulis tinggal di Banjar Kedungu, Taro, Tegallalang, Kabupaten Gianyar, Bali. Novel yang sudah diterbitkan: Romansa Lagu (2020) dan antologi puisi Semoga Aku Sampai (2021).