Tembok-tembok Paling Kokoh di Dunia
Di zaman serba digital macam sekarang untuk apa pula berpayah-payah menggunakan surat biasa.
Ia lelaki Jerman yang berasal dari sisi timur kota Berlin pada masa lampau. Persisnya dari bagian yang banyak orang-orang terpasung, seragam, tanpa celah untuk bersuara lain kecuali menirukan suara kekuasaan. Kami berdua sepertinya ditakdirkan Tuhan terlibat percakapan di satu pantai, di resor miliknya. Tempat yang konon ia miliki dengan hak pakai selama 30 tahun dan dapat diperpanjang selama 20 tahun lagi. Sejujurnya, saat itu ia sama sekali tak mewakili bayanganku mengenai potret nestapa kaum proletar dari masa perang dingin.
Penampilannya tetap terlihat bonafide meski hanya memakai sepatu kets, celana pendek dan kaus. Ia memakai Armani dan sepatu Bally. Sepatu yang tak kunjung dimiliki oleh sang proklamator bersahaja, Mohammad Hatta hingga beliau meninggal. Aku pernah sejenak tertegun mengetahui bahwa Bung Hatta masih menyimpan foto sepatu yang tak juga ia miliki. Padahal, kutahu ia bukan dari kalangan orang biasa di ranah Minang. Kadang terpikir, kemuliaan macam apa yang membuat tokoh terpandang itu menahan diri untuk sepatu impiannya?
”Aku tumbuh di Berlin di mana jalannya banyak terdapat lajur trem, kendaraan massal untuk mengangkut orang-orang ke sana kemari. Hingga kini para wisatawan yang berkunjung ke sana sudah sangat paham bagaimana membedakan timur dan barat kota Berlin. ‘Jika jalannya banyak lajur trem, dulunya pasti dikerjakan seraya memuji-muji Mark, Lenin dan Stalin sepanjang hari,’ gurau beberapa dari wisatawan itu. Aku tertawa saja mendengarnya,” cerita lelaki berusia 65 tahunan tersebut.
Kami lalu terlibat dalam pembicaraan berliku mengenai tembok-tembok politis di dunia yang jadi sekat antara manusia. Mulai dari tembok terpanjang di China, hingga yang terpendek di Belfast Peace, Irlandia. Kami juga menertawakan rencana pembangunan tembok pembatas Amerika Serikat dan Meksiko oleh Donald Trump sepanjang lebih dari tiga ribu kilometer yang baru selesai ratusan kilometer saja. Tak lupa kami pun mengutuk berdirinya tembok West Bank di Palestina. Intinya kami banyak terbahak dan mengutuk pada bagian membahas tembok.
Baca juga: Magnolia
”Yang membuat tembok berdiri kokoh antara dua kubu dalam satu entitas adalah hati. Yang merobohkannya pun sama. Peristiwa runtuhnya Berliner Mauer kami adalah buktinya.”
Selanjutnya orang ini kutebak akan banyak bicara mengenai suramnya kehidupan dalam kungkungan rezim kiri yang membenci kehidupan mewah para borjuis. Namun, di kalangan elite partainya melakukan hal sama. Kukira ia akan mengecam pula kebijakan pemerintahnya yang melarang seseorang lebih kaya daripada lainnya hingga membuat atlet berprestasi macam Nadia Comaneci menyeberang ke sisi sana. Ternyata aku keliru.
Tampaknya ia sama sekali tak memiliki dendam sejarah. Ideologi, pada kondisi tertentu, menurut dia, adalah sekadar bisa-bisanya sekelompok orang yang bercita-cita menguasai orang banyak, tidak lebih. Ideologi memang dapat dijadikan alat untuk mencapai kemakmuran bersama, juga bisa sebaliknya, menjadi alat penindasan oleh satu kelompok atas kelompok lain. Tergantung bagaimana menggunakannya.
”Dulu aku memang pernah merasa janggal pada perilaku orang-orang blok barat. Mereka kerap melakukan hal-hal yang terlihat aneh sebab kehidupan kami berjalan datar saja, tak macam-macam. Hanya bekerja, pulang, bekerja, pulang, begitu seterusnya setiap hari. Kami bahkan tak terbiasa berimajinasi sebab hal itu dianggap berujung sia-sia, jika tidak berakibat dipenjara,” ujarnya saat menceritakan masa lalu.
Ketika ia bicara demikian aku langsung teringat pada kisah-kisah suram di buku berisi sumpah serapah pada rezim komunis. Aku ingat buku lusuh di rak buku, Yang Terpasung, Czelaw Milosz, dan beberapa buku lainnya.
”Kini aku tak percaya pada kesempurnaan di dunia ini. Setiap masa pasti punya ringkih dan boroknya sendiri, termasuk ideologi. Sudah lebih dari tiga puluh tahun kucecap kehidupan seperti orang-orang blok barat. Aku bahkan mungkin termasuk kapitalis karena punya beberapa perusahaan pribadi di beberapa negara. Namun, tetap saja itu tak membuatku berpikir bahwa menjadi kanan adalah menyenangkan, sedangkan menjadi kiri adalah kesengsaraan,” tambahnya.
Aku terdiam tanpa mengomentari ocehannya. Dalam hati aku merasa menyesal telah mengajaknya berbincang. Kupikir orang asing biasanya akan membahas hal-hal sederhana saja. Membahas cuaca, makanan, dan sebagainya. Tapi, ia malah bercerita mengenai sepotong kehidupannya di masa lalu. Membawa-bawa ideologi pula. Ternyata aku keliru lagi.
Baca juga: Kenapa Si Gondrong Berambut Cepak?
Kucoba mengarahkan dia agar bicara mengenai Bali, Bunaken, Raja Ampat, agar terhindar dari beratnya isi obrolan, tapi tetap saja jawabannya pendek-pendek dan seolah tak antusias membahas topik yang kujejalkan. Pernah memang di masa Soeharto berkuasa aku bercakap-cakap dalam topik agak berat dengan seorang bule. Di pantai juga. Dengan orang Jerman pula.
Saat itu, menjelang sunset dan kami duduk-duduk di tepi pantai dalam jarak awal sekira tiga meter. Aku lupa siapa yang mulai percakapan lebih dulu. Namun, aku ingat ketika itu obrolan kami berkisar tentang kebijakan-kebijakan pemerintah di masa Orba. Ia mempertanyakan, lebih tepatnya kuanggap menyerang, soal demokrasi di negaraku.
Aku menyadari pertanyaannya membuatku ada di posisi sulit. Di satu sisi aku tak mungkin menutup mata pada banyak cacat demokrasi di rezim Orba. Di sisi lain aku tak sudi menghina negaraku dengan menjelek-jelekkan pemerintahan sendiri di depan orang asing.
Bisa jadi dia seorang agen intelijen yang menyamar. Boleh jadi dia hanya sedang berupaya mengatakan bahwa negaranya jauh lebih hebat dibanding negaraku. Maka, jawaban sekaligus kesimpulan dariku saat itu adalah: betul bahwa negeriku sedang mengalami badai demokrasi, tetapi aku yakin bahwa sebentar lagi akan ada perubahan besar terjadi. Aku ternyata benar mengenai perubahan besarnya. Rezim yang bercokol selama 32 tahun itu tumbang. Sedangkan mengenai menjadi lebih baik atau buruk, sebaiknya orang lain saja yang membahasnya.
Aku memandangi tengah laut yang makin terlihat menghitam. Hanya ada titik-titik cahaya dari kapal-kapal nelayan. Suara ombak berkejaran dengan musik yang diputar di resor milik bule itu. Dalam termenung aku sempat bertanya-tanya, apakah aku sedang mengalami dejavu, dengan orang dan tema obrolan yang kurang lebih sama?
”O ya, apakah engkau masih menggunakan surat yang ditulis pena untuk berkirim kabar pada keluarga atau kawan?” Tanya dia mengalihkan pembicaraan.
Itu pertanyaan yang konyol kurasa. Di zaman serba digital macam sekarang untuk apa pula berpayah-payah menggunakan surat biasa. Meski sebenarnya aku memang pernah melakukan hal tersebut saat remaja. Mengirimkan surat beraroma parfum kepada perempuan pujaan di sekolah.
”Tidak. Tidak lagi. Dulu sekali aku kadang melakukannya,” jawabku.
”Bukankah hal itu menyenangkan? Baik saat menuliskannya maupun ketika membacanya?” tanya dia lagi.
Aku mengangguk.
”Pasti menyenangkan. Kau akan sangat berhati-hati dan seindah mungkin menulisnya meski tulisanmu sebenarnya buruk. Setelah itu membawa suratnya ke kantor pos dengan penuh semangat. Kemudian hatimu diliputi perasaan harap-harap cemas menunggu balasan. Kau akan sangat ramah sekali kepada si pengantar surat hingga seakan-akan ingin memeluknya,” celoteh orang Jerman itu bersemangat.
O ya, apakah engkau masih menggunakan surat yang ditulis pena untuk berkirim kabar pada keluarga atau kawan?
Kemudian ia pun berbicara mengenai bagaimana surat mengubah peradaban manusia. Dari mulai menggunakan kulit sampai penggunaan kertas. Dari mulai memakai tenaga manusia sebagai kurir yang berlari pulang-pergi hingga menggunakan kuda dan merpati pos. Dari persoalan antara bangsa-bangsa di dunia hingga mengenai cinta antardua manusia.
”Aku pun tak ingat lagi kapan terakhir mengirim surat atau kartu pos kepada keluarga dan relasi. Dulu aku sangat sering melakukannya, terutama setelah peta kekuasaan dunia berubah pada tahun 1989. Ada banyak orang ingin tahu mengenai keadaan kami, seperti juga ada banyak hal yang ingin kuketahui di dunia luar,” katanya datar seolah mengerti bahwa lawan bicaranya sudah tak antusias lagi menyimak.
”Memangnya siapa yang paling ingin kau kirimi surat?” tanyaku mencoba membuat suasana tak terlalu tawar.
Dia terdiam. Agak lama seolah sebelumnya aku tak bertanya apa pun.
”Tentu saja keluargaku. Terutama istriku,” jawabnya perlahan sekali.
”Bila boleh aku bicara terus terang padamu, sebenarnya sudah lama aku tak kembali ke Berlin. Mungkin sekira tiga atau empat tahun kurasa. Selama itu aku terus berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu negara ke negara lain. Entah memang karena urusan pekerjaan atau sekadar avonturir,” ungkapnya lagi.
”Jadi omonganmu tadi mengenai surat itu karena kau ingin mengirim surat pada istrimu?” tanyaku penasaran.
”Betul. Aku bisa saja mengirimi dia surel atau pesan via ponsel untuk bertanya kabar atau hal ringan lain seperti beberapa tahun lalu. Namun, kalaupun dibalas, kemungkinan besar jawaban yang kuterima akan datar saja. Tak akan sampai ke hati. Aku tak mau seperti itu,” tuturnya agak lirih.
”Lalu yang jadi masalahnya apa? Kau bisa tulis surat atau kartu pos dan mengirimkannya ke kantor pos terdekat. Kupikir mereka masih menerima pengiriman surat selama masih menjual prangko,” ungkapku agak gusar.
Baca juga: Aku Ingin Menjadi Seekor Anjing
”Persoalannya ialah aku tak tahu bagaimana memulainya. Apa yang harus kutulis padanya setelah begitu lama tak lagi berkirim kabar,” ungkapnya lagi semakin lirih.
Ya ampun. Begitu panjang dan berliku obrolan dengannya. Ternyata dia hanya ingin berkirim surat kepada istrinya dan tak paham bagaimana mengawalinya. Jancuk…. Jancuk…. Sungutku dalam hati.
Aku menoleh pada lelaki Jerman itu. Memandang wajahnya sejenak lalu berkata padanya: ”Tembok terkokoh di dunia itu ada di sini,” ungkapku seraya meraba dada sendiri.
Trudonahu Abdurrahman Raffles