Kenapa Si Gondrong Berambut Cepak?
Si Gondrong mematung. Ia kalah cepat dari malapetaka tak kuasa ditolak.
Barisan tenda terpal biru digulung satu per satu pada suatu siang berdebu. Meja-meja kayu berikut bangku-bangku plastik diangkut ke gerobak terparkir di tepi jalan raya. Sungguh suatu pemandangan tak biasa. Para pedagang kaki lima membongkar sendiri warung-warung mereka.
Adalah si Gondrong yang tampak paling sentimental di antara kawan-kawannya. Ia bertahan paling lama berjualan nasi goreng di trotoar depan kampus ternama kota itu. Cerita tentang pria setengah baya itu sudah melegenda di antara para mahasiswa.
Syahdan, ia tak pernah mengusir mahasiswa yang berdiskusi berjam-jam di kedainya biarpun mereka hanya membeli secangkir kopi. Bahkan, ada mahasiswa yang ikut menimbrung tanpa jajan sama sekali. Dan si Gondrong malah menyuguhi mereka segelas teh tawar gratis yang boleh diisi berulang kali. Dua puluh enam tahun lalu warungnya adalah cikal bakal markas perjuangan para pengunjuk rasa.
Kala itu si Gondrong masih bujangan berusia dua puluhan. Darah mudanya ikut bergelora bersama gairah protes mahasiswa. Betapa pun ia tak paham teori-teori sosial yang sering diperdebatkan oleh mahasiswa yang meriuhkan warungnya, ia tahu persis keadaan sedang tidak beres. Semua serba mahal. Si Gondrong dibikin kelimpungan. Beras sering menghilang dari pasar, harganya naik lima kali lipat. Beras apek penuh kutu saja masih laku dengan harga luar biasa. Hampir-hampir ia menyerah berjualan di kota. Tapi, untuk pulang pada kemelaratan yang menanti di kampung malah lebih tak terbayangkan lagi.
Baca juga: Puti Mani dan Hikayat Pohon Kelapa
Para mahasiswa itulah alasannya bertahan. Kuncup-kuncup harapan bersemi dalam dadanya setiap kali ia mencuri dengar obrolan mereka. Si Gondrong betul-betul yakin para pelajar itu sungguh-sungguh berjuang demi jelata seperti dirinya.
Berkatilah para serdadu nurani itu, oh Tuhan! Si Gondrong mesra berdoa menyaksikan gairah perjuangan mahasiswa kala itu. Mereka rela meninggalkan kuliah, sejenak melupakan cita-cita, demi membebaskan rakyat yang diinjak-injak penguasa. Mereka berdemonstrasi di bawah sengatan mentari, tak mati nyali berkoar-koar di hadapan barikade polisi.
Betapa si Gondrong terpanggil untuk ikut berjuang dengan caranya sendiri. Es teh manis gratis mengaliri kerongkongan kerontang para mahasiswa seusai lelah berdemonstrasi seharian. Warungnya menjadi tempat singgah aman bagi perut-perut kelaparan. Si Gondrong rela diutangi tanpa pernah menagih mereka yang lupa atau sengaja tak membayar. Ia memang orang susah pada kondisi susah. Tapi, ia yakin keadaan susah itu akan berakhir berkat perjuangan susah payah mahasiswa.
Karena itu, ia rela warungnya dijadikan titik temu pemuka mahasiswa untuk mengatur strategi. Bahkan, sering kali mereka yang ketakutan merasa dikuntit intel bersembunyi di dalamnya. Ia pun menunjukkan solidaritas dengan memanjangkan rambutnya. Gaya yang jadi tren kala itu selain penampilan dekil jarang mandi. Sejak itu, tiada lagi mahasiswa memanggilnya dengan nama aslinya.
Si Gondrong pernah begitu terharu oleh teriakan lantang seorang mahasiswa usai menyantap seporsi nasi goreng gratis. ”Hidup pak nasi goreng! Terima kasih, Pak, terima kasih! Bapak setuju kami, bukan? Doakan perjuangan kami, Pak.” Seluruh mahasiswa kemudian ikut berteriak menggempitakan warung kecilnya, ”Hidup pak nasi goreng! Hidup rakyat!”
Baru belakangan ia tahu dari salah satu mahasiswa bahwa teriakan itu dicuri dari puisi Taufik Ismail berjudul ”Seorang Tukang Rambutan pada Istrinya”. Dadanya masih saja mekar setiap kali ia teringat peristiwa itu. Lukisan hatinya kala itu mirip sekali dengan bait terakhir puisi tersebut. Saya tersedu//Belum pernah seumur hidup//Orang berterima kasih begitu jujurnya//Pada orang kecil seperti kita.
Hidup pak nasi goreng! Terima kasih, Pak, terima kasih! Bapak setuju kami, bukan? Doakan perjuangan kami, Pak.
Kedermawanan si Gondrong telanjur populer hingga sekarang masih saja ada mahasiswa yang mengutang tanpa malu-malu. Dan seperti dulu, si Gondrong juga enggan menagih.
Warungnya pun tetap ramai oleh mahasiswa yang nongkrong berjam-jam dengan celotehan jauh berbeda dari dua puluh enam tahun lalu. Obrolan mereka kini berkisar tugas kuliah, gosip teman atau dosen, film terbaru, kerja di mana nanti. Namun, bagi si Gondrong, mereka tetaplah pejuang nurani yang berani. Begitu kokoh citra itu terpancang dalam sanubarinya sehingga ia menyandarkan harapan kepada anak-anak muda itu ketika lapaknya terancam tergusur.
”Apa kalian enggak bisa berbuat sesuatu?” tanyanya berulang kali kepada para mahasiswa sejak sebulan lalu.
”Gimana ya, Pak,” salah satu mahasiswa menyahut tanpa mengalihkan pandangannya dari telepon genggam di tangannya, ”sebenarnya jualan di trotoar memang enggak boleh.”
”Tapi, saya sudah bertahun-tahun jualan di sini enggak pernah ada yang ganggu. Kenapa baru sekarang dilarang?”
”Karena wali kota mau menang Adipura, Pak,” jawab mahasiswi yang terkenal pintar. ”Kemarin saya baca di koran, pemkot punya target sebulan ini mau bersih-bersih kota.”
”Memangnya saya kotoran yang mesti dibersihkan?”
Para pelajar itu bungkam.
”Kalian, kan, bisa membela saya. Kalian, kan, bisa saja unjuk rasa memprotes penggusuran.”
Diam lagi. Beberapa orang sudah salah tingkah duduknya ingin segera minggat.
”Wah, Pak…. Unjuk rasa itu so yesterday, sekarang udah ga zaman lagi,” akhirnya salah satu mahasiswa membuka suara.
Kalian, kan, bisa membela saya. Kalian, kan, bisa saja unjuk rasa memprotes penggusuran.
”Memang ada peraturan yang melarang pedagang berjualan di trotoar,” kata si mahasiswi pintar mencoba bijak. ”Mana bisa kita unjuk rasa melawan peraturan?”
”Lha, kalian makan di sini setiap hari. Apa kalian ga ikut melanggar peraturan kalau begitu?”
”Soalnya nasi goreng bapak enak, porsinya gede,” satu suara menyahut.
”Bisa ngutang lagi,” timpal yang lain.
”Dan kita bisa ngobrol lama-lama di sini. Bapak ga pernah ngusir kami,” jelas yang lain lagi.
Giliran si Gondrong yang terdiam. Sungguh mati ia menyayangi anak-anak muda itu. Tidakkah mereka bisa membalas cintanya barang setitik saja? Ia pun mencoba mengungkit semangat juang mereka.
”Dulu presiden aja bisa lengser gara-gara unjuk rasa mahasiswa.”
”Itu, kan, zaman semrawut, Pak,” tukas mahasiswa berkacamata. ”Sekarang bukan masanya lagi setiap masalah dibawa turun ke jalan.”
”Terus, masalah saya mesti dibawa ke mana?”
”Bapak, kan, sudah lama jualan di sini,” sahut si Pintar, ”coba saja ngomong ke pihak kampus. Mungkin mereka bisa merelokasi Bapak ke kantin di dalam.”
”Saya sudah tanya, sudah penuh di dalam,” keluh si Gondrong, ”kalaupun ada tempat kosong di sana, sewanya mahal.”
Para pelanggannya itu lalu membubarkan diri tanpa memberikan solusi. Mendadak si Gondrong merasa begitu purba. Seorang tua terjebak nostalgia. Ia mengelus ekor kuda rambutnya yang selalu terkuncir rapi. Helai-helai hitam yang telah bercampur kelabu. Salahkah ia yang ingin percaya bahwa asa masih bisa bergandengan dengan masa?
”Kami sudah menempuh cara baik-baik, dua kali mengimbau kalian untuk membongkar sendiri warung-warung kalian. Kalau sampai minggu depan tidak juga kalian kerjakan, jangan salahkan kami kalau Satpol PP akhirnya membongkar paksa tenda-tenda ini,” kata utusan sang Walikota ketika menyampaikan peringatan terakhir.
Kedatangannya diiringi tiga mobil bak terbuka berisi pasukan berseragam bersenjatakan pentungan. Si Gondrong mau tak mau merasa ciut. Kehadiran mereka dirasakan olehnya sebagai unjuk kekuasaan yang mengancam, sama sekali bukan suatu imbauan baik-baik.
Baca juga: Aku Ingin Menjadi Seekor Anjing
Si Gondrong saat itu menahan keras hasratnya untuk protes. Bukankah selama itu ia rutin membayar bermacam iuran: sewa lapak trotoar, kebersihan, keamanan? Bukankah karena itu ia punya hak untuk menolak diusir? Setoran bulanan itu dibayarkan kepada seorang preman bernama Tejo. Para pedagang meyakini sepenuh hati pengakuan Tejo bahwa ia punya koneksi seorang pembesar yang menjabat di pemerintah kota.
”Selama setoran dari kalian ini sampai ke tangan beliau, semua dijamin aman!” begitu Tejo berkata setiap kali menarik pungutan.
Para pedagang kemudian beramai-ramai memburu preman senior itu ke pusat kekuasaannya di alun-alun kota. Segala yang beroda dan berkaki di sana: pedagang, becak, ojek, pengemis, wajib menyetor semacam pajak penghasilan kepadanya. Tejo anteng saja, malah cengar-cengir meladeni semburan protes para pedagang.
”Kalem, kalem…,” katanya. ”Ini cuma sebentar doang karena wali kota mau menang Adipura. Tunggu aja kira-kira tiga bulan lagi. Setelah ribut-ribut Adipura ini selesai, kalian bisa balik lagi jualan di sana.”
”Terus, kami tiga bulan mau makan apa?” si Gondrong sewot bertanya.
Tejo malah tambah cengengesan sambil menepuk-nepuk kantong jaket jeans-nya yang tampak gendut. Beberapa pedagang yang tahu artinya segera tersenyum lega. Mereka selama ini sudah melakukannya secara sembunyi-sembunyi di warung masing-masing. Si Gondrong yang juga tahu maksudnya hanya mematung. Cuma si Tukang Ayam Geprek yang terkenal alim bersuara pelan, ”Saya mau pulang kampung aja dulu.”
Si Gondrong akhirnya memilih mendorong lagi gerobaknya di atas jalan raya. Persis tiga puluh tahun lalu kala ia baru datang ke kota. Ia sungguh tak percaya roda kehidupannya memutar ke bawah. Mungkin memang begini nasib orang yang menggantungkan nyawa pada gerobak, hatinya mendesis sinis.
Ia kembali berlekatan dengan aspal, bercumbu dengan sengatan surya, berjudi dengan mata angin. Ke penjuru mana ia harus pergi setiap hari agar usahanya tak merugi?
Si Gondrong mencoba peruntungan ke arah kampus. Di atas trotoar lebar tempat ia dahulu berjualan ternyata telah disemen pot-pot permanen berisi tanaman bunga warna-warni sedap dipandang, juga bangku-bangku taman, plus sepasang satpol PP yang setia berjaga-jaga memastikan tiada kaki lima berjualan di sana.
Lihatlah para mahasiswa itu! Si Gondrong pedih membatin. Mereka duduk-duduk bercengkerama di bangku taman, ceria berfoto-foto dengan telepon genggam di hadapan bebungaan, asyik menikmati keindahan trotoar yang telah terbebaskan dari kumuh tenda pedagang. Wajah kuyu si Gondrong berbulir keringat. Pandangannya sontak ikut basah. Dalam rongga dadanya ada gemeratak hati yang patah.
Si Gondrong merasa limbung. Cepat-cepat ia minggat mendorong gerobaknya ke arah belakang stasiun. Yang kumuh dan tak diinginkan masih bisa bersembunyi di balik gedung megah bercat putih terang yang baru selesai dipugar itu.
Dulu presiden aja bisa lengser gara-gara unjuk rasa mahasiswa.
Ia bersyukur masih menemukan celah kosong di antara gerobak-gerobak yang menyesaki dua sisi jalan yang terasa kian sempit. Seolah-olah pedagang kaki lima dari segala penjuru kota telah berpindah ke sana. Rayuan pedagang, dengung obrolan, teriakan memanggil, tangisan anak kecil, protes klakson mobil, sambung-menyambung tiada henti menguntai simfoni kehidupan pinggir jalan.
Dua pembeli segera duduk di bangku plastik yang telah diturunkan si Gondrong dari atap gerobak. Nasi goreng di wajan masih setengah jadi. Ia sedang menuang teh tawar dari teko ke gelas ketika tiba-tiba saja simfoni itu pecah oleh raungan keras sirene. Kepanikan mendadak tercipta berbarengan dengan teriakan gugup berulang-ulang, ”Satpol PP! Razia! Cepat lari!”
Gerobak-gerobak diungsikan pemiliknya yang kalut dengan kecepatan penuh, terseok-seok serabutan berlomba menjauhi arah datangnya bunyi sirene. Tahu-tahu gerombolan petugas berseragam dengan pentungan bergelantungan di sabuknya membanjiri segala penjuru, mencengkeram gerobak-gerobak yang belum sempat dilarikan, merebutnya begitu saja dari pemiliknya. Jeritan protes, teriakan marah, raungan sedih, sambung-menyambung dengan pekik perintah, bentakan, ancaman. Gerobak-gerobak diseret paksa lalu dinaikkan ke atas truk di tengah hiruk pikuk.
Si Gondrong mematung. Ia kalah cepat dari malapetaka tak kuasa ditolak. Yang tersisa cuma hampa. Di sekitarnya berserakan sampah-sampah yang tadinya adalah barang dagangannya: ceceran nasi, telur pecah, sayur gepeng terinjak-injak, beling pecah belah.
”Cepat bersihkan! Sebentar lagi kereta tim penilai Adipura dari ibu kota tiba di stasiun. Kita memang sudah mengarahkan jalan keluar dari depan, tapi siapa tahu mereka mau memeriksa ke belakang,” seorang pria berseragam mengomando sepasukan tukang sapu.
Tergesa-gesa mereka membersihkan jalan belakang stasiun, berbaur dengan para pedagang yang mengais sampah bertebaran mencari-cari barang yang masih bisa diselamatkan.
”Lima ratus ribu untuk menebus gerobak, Bu,” bisik lirih seorang pedagang kepada istrinya. ”Ke mana kita bisa pinjam uang?”
Baca juga: Sebuah Janji di Bumi Lorosae
Si Gondrong yang menyimak pembicaraan itu tercenung. Matanya yang menatap angkasa kian melompong. Uangnya sudah ludes untuk modal berdagang tadi pagi. Ke mana ia bisa minta tolong?
Ia mengenang wajah-wajah mahasiswa yang dulu berjuang bersama. Andaikan mereka tahu apa yang dialaminya sekarang. Ah, entah berada di mana mereka kini! Si Gondrong menutup muka dengan kedua tangan. Air menggenang di pelupuk sudah siap jatuh. Dalam keadaan memejam terbayang olehnya satu-satunya orang yang saat ini bisa diminta bantuan.
Tejo cengar-cengir menyambut kedatangan si Gondrong di alun-alun kota. ”Saya juga banyak kehilangan pemasukan gara-gara Adipura brengsek ini! Lapak-lapak digusur, pedagang diusir, setoran ambyar!”
”Untungnya, masih ada setan-setan kecil ini!” sambung Tejo sambil menepuk-nepuk kantong jaket jeans-nya lalu merogohnya. Senyumannya melebar ketika ia menyelipkan bungkusan kecil ke dalam genggaman si Gondrong.
”Bawa aja dulu, Kawan!” ucapnya ramah sembari menepuk-nepuk bahu si Gondrong. ”Bayar belakangan aja kalau udah dapat untung.”
Pada suatu siang berdebu di pojok taman kota tampak pemandangan yang sudah biasa. Seorang pria berjaket lusuh dan bertopi duduk-duduk di bangku. Sikapnya santai seolah tiada menunggu seseorang atau sesuatu. Di tangan kirinya terbuka buku teka-teki silang, pulpen di tangan kanan. Ia layaknya warga biasa yang mengisi waktu luang menikmati keasrian taman kota.
Sesekali datang anak muda yang setelah celingukan ke kanan dan ke kiri kemudian duduk di sebelahnya, berbicara tanpa menoleh ke arahnya. Lalu sesuatu yang terkepal berpindah dari tangan pria bertopi itu ke tangan si anak muda. Demikian juga sebaliknya. Setelah itu si anak muda cepat-cepat pergi, sedangkan si pria kembali asyik dengan teka-tekinya. Kejadian itu bisa berulang sampai sepuluh kali dalam sehari.
Si pria, yang dulu berambut gondrong dan kini berpenampilan cepak, setengah mati setiap hari membekap nuraninya. Ia sadar sepenuh hati menjual tramadol secara ilegal adalah perbuatan dosa. Tablet antinyeri yang bisa menimbulkan sensasi melayang dan menciptakan euforia itu laku keras.
”Tanpa capek, tanpa susah dikejar-kejar satpol PP!” begitulah Tejo berkata kepadanya. ”Tinggal duduk-duduk aja uang nyamperin sendiri. Dan, jelas aman! Backing-an saya untuk urusan ini kuat sekali!”
Pria cepak itu ingin percaya bahwa ia terpaksa. Demi asa kepada buah hati di kampung yang senantiasa terjaga. Belajar sungguh-sungguh, Nak! Bapak mati-matian cari uang biar kamu bisa kuliah! Jadilah mahasiswa kebanggaan bapak!
Baca juga: Sarang Semut
Diah Novianti, lahir dan besar di Jakarta. Sekarang tinggal di Tangerang Selatan. Berpengalaman delapan tahun sebagai jurnalis dan saat ini sedang belajar merangkai kata, fakta, dan imajinasi menjadi sebuah karya sastra.