Suara dari Pohon Kepuh
Ketika menumpas terkadang ia meminum darah korbannya. Siapa pun ngeri dan risi membayangkan kesadisannya.
”Tujuan paruman hari ini tidak lain adalah membicarakan statusnya Bapa Kobus.” Kata-kata Tetua dadia itu masih terngiang di telinga Bapa Kobus.
Tusukan kata-kata itu menyakiti perasaannya. Bagaimana tidak, sudah bertahun- tahun hidup di desa itu sampai beranak cucu, baru kali ini ada yang mempermasalahkan dirinya. Baru kali ini pula sampai dibawa ke paruman dadia.
Dulu, ketika Bapa Kobus masih muda, tidak ada yang berani. Jangankan membawa ke paruman, membicarakan saja pada sungkan. Tujuh puluh lima tahun sudah ia menapaki kehidupan di desa itu, baru kali ini ada masalah yang membuat hatinya gundah.
Ketika berumur dua tahun, si Kobus kecil diajak ke Bali dari daerah timur oleh seorang inspektur polisi yang sempat bertugas di sana. Sejak saat itu, ia merasa hidupnya selalu beruntung. Ke Bali naik kapal, ia dimasukkan ke dalam drum untuk mengelabui petugas. Taktiknya berjalan lancar. Di Bali, ia hidup berpindah-pindah mengikuti majikannya bertugas.
Baca juga: Bertukar Tubuh
Ketika dewasa, ia diberikan sebidang lahan di mana tumbuh sebatang pohon kepuh. Di sana ia membangun rumah, menjadi bagian dari warga desa dan mengikuti tradisi adat setempat. Ia giat bekerja dan tak memilih-milih pekerjaan.
Pekerjaan utamanya adalah kenek truk jurusan Bali-Jawa. Truk yang dikeneki biasanya mengirim salak bali. Ia tampak sangar dengan tubuh yang tinggi besar dengan kulit hitam legam. Tenaga juga kuat dan bernyali besar. Bila ia ikut berangkat ke Jawa, sang sopir akan merasa aman dan nyaman. Bapa Kobus berani duel dengan bajing loncat di tanah Jawa yang terkenal galak dan brutal.
Pada zaman Gestok, Bapa Kobus terkenal karena keberaniannya. Ia ikut menjadi tameng. Ia ikut keliling melakukan penumpasan, bahkan sampai ke luar desa. Yang membuat perasaan begidik, ketika menumpas terkadang ia meminum darah korbannya. Siapa pun ngeri dan risi membayangkan kesadisannya.
Barangkali, itu sebabnya mengapa tidak ada yang berani dengan Bapa Kobus.
Yang membuat perasaan begidik, ketika menumpas terkadang ia meminum darah korbannya. Siapa pun ngeri dan risi membayangkan kesadisannya.
Warga di desanya takut menggunjingkan, apalagi meremehkannya. Begitu juga keluarga dadia inspektur polisi itu. Mereka pada diam.
”Jero Krama, tujuan melakukan paruman sekarang ini sudah jelas seperti pesan yang disampaikan kemarin.” Tetua dadia memulai pembicaraan setelah Jero Mangku selesai menghaturkan sesajen.
Peserta rapat tampak tertib. Bapa Kobus yang duduk di sudut barat daya hanya diam sambil menundukkan kepala. Tetua dadia kembali melanjutkan pembicaraan, ”Tujuannya tidak lain adalah untuk mendiskusikan tentang statusnya Bapa Kobus. Selama ini, beliau menjadi bagian dari dadia kita. Akan tetapi, sekarang banyak warga yang tidak membenarkan kondisi seperti ini. Oleh sebab itu, saya mohon pertimbangan dan masukan dari Jero Krama semua.”
I Wayan Purna yang duduk di pojok timur mengacungkan tangan, dan menyampaikan pendapatnya, ”Kalau menurut saya, tepat sekali mencari solusi melalui paruman ini. Mari di sini kita bicarakan, benar apa tidaknya. Omongan di jalan itu sama saja dengan fitnah. Dan, itu tidak benar!”
”Usul dikit, Jero.” Dari arah barat laut ada seseorang menyampaikan usul.
Tetua dadia memberinya kesempatan, ”Silakan, Jero!”
”Maaf sebelumnya, Bapa Kobus. Jangan tersinggung, ya. Saya hanya urun pendapat pada paruman ini. Mengenai keberadaan Bapa, selama ini tidak ada masalah. Bapa juga mengikuti segala kewajiban sebagai warga dadia ini. Namun, seperti yang disampaikan Tetua dadia, kini banyak gunjingan keluarga dadia tentang keberadaan Bapa. Perbincangan di jalanan tentu salah. Akan tetapi, isi perbincangannya benar juga.” Seperti itu pendapatnya Jro Gede yang duduk di depan Tetua dadia.
Baca juga: Bayi dan Bangau
Bapa Kobus melirik, lalu menunduk. Ia diam. Tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya yang mulai kehilangan gigi. Terkesan sangat tidak sesuai dengan nama besar yang pernah disandangnya ketika muda. Bergantian peserta parum itu berpendapat. Hampir semuanya membenarkan agenda paruman.
Intinya, rapat tidak mematutkan Bapa Kobus ikut menjadi anggota dadia. Penyebabnya karena Bapa Kobus memang tidak berasal dari leluhur yang sama dengan warga dadia. Bapa Kobus berasal dari timur. Lelehurnya jelas berbeda.
Ketika nanti meninggal dunia, tidak dibenarkan memohon kajang kulit, juga tidak dibenarkan disemayamkan di paibon keluarga ini ketika sudah menjadi Dewa Yang. Mumpung Bapa Kobus masih hidup, maka masalahnya dibahas dalam rapat warga dadia. Biar sama-sama enak. Biar Bapa Kobus dan keluarganya juga menemukan jalan yang benar.
Paruman diakhiri dengan ucapan terima kasih dan permohonan maaf oleh Tetua dadia. Peserta rapat terlihat sumringah. Bapa Kobus sebaliknya. Wajahnya murung dan sedikit pucat. Ia lantas mohon pamit dan meminta maaf karena sejak kecil sampai beranak cucu ia menganggap dirinya sebagai bagian dari keluarga dadia.
Sejak saat itu, setiap malam Bapa Kobus bermalam di bawah pohon kepuh yang tumbuh di lahannya. Pohon kepuh itu besar dan rindang. Ia tumbuh tepat di sebelah pintu masuk rumahnya. Di bawahnya ada sebuah palinggih. Saban hari ramai warga sekitar yang menghaturkan persembahan. Pohon kepuh itu semakin mataksu karena dihiasi kain poléng.
Sudah satu bulan tujuh hari Bapa Kobus bermalam di bawah pohon kepuh itu. Hari ini, pas Kajeng Kliwon Uwudan. Sejak pagi warga sekitar ramai menghaturkan persembahan. Istri Bapa Kobus mempersembahkan tipat kélanan dan segehan manca warna.
Seperti biasanya, Bapa Kobus bersandar di pohon itu. Sesekali, ia tidur beralaskan tikar. Rokok, tentu tidak pernah absen ditemani segelas kopi.
Sekarang mana yang akan kamu pilih? Hidup tenang apa cari masalah?
”Kobus, ngapain kamu bingung? Jangan itu kau jadikan beban pikiran! Kamu lahir di timur, ikuti adab seperti di timur. Jika kamu mengikuti adat di sini, kamu harus berani hidup bersama keluarga kecilmu. Kamu sudah ditinggal oleh keluarga dadia ini. Jangan diambil pusing! Begitulah kebiasaan keluarga di sini, makanya sulit berkembang. Kalau berkurang, sudah pasti. Sekarang mana yang akan kamu pilih? Hidup tenang apa cari masalah?”
Seperti itu samar-samar suara yang ia dengar saat sempat tertidur pas tengah malam. Ketika bangun ia berusaha mengingat-ingat suara yang didengarnya. ”Siapa sebenarnya yang membisikiku? Ida Betara apa tonya,” pikirnya. Dadanya berdetak kencang. Napasnya naik turun. Bapa Kobus lalu menyalakan rokok kreteknya. Ia kembali bersandar sambil memikirkan apa yang barusan dialaminya.
Pagi-pagi buta, Bapa Kobus mandi di sungai. Sesampai di rumah, ia mengambil canang dan dupa. Ia lantas ke pura menghaturkan canang dan sembahyang. Tumben khusuk sekali ia sembahyang. Mungkin banyak yang dimohon kepada leluhurnya. Usai sembahyang, ia lantas menemui istrinya di dapur yang sedang memasak.
”Kopi satu, Luh. Maniskan dikit, ya. Pahit sekali jalan hidupku,” Bapa Kobus meminta segelas kopi kepada istrinya.
Mendengar omongan suaminya, istrinya membuang muka dan tersenyum sinis. Ia lalu mengambil gelas membuatkan Bapa Kobus kopi. Sambil ngopi, Bapa Kobus mengeluh, lalu minta pertimbangan kepada istrinya tentang permasalahan yang dihadapinya. Jalan mana yang patut ia lewati. Wahyu yang ia dengar tadi malam di bawah pohon kepuh telah mengusik pikirannya.
Luh Sri, istrinya, tetap saja sibuk memasak sambil menjawab sekenanya,
”Apa yang mesti aku katakan, Beli? Sebagai istri, aku mengikuti langkah Beli. Ke timur ya ke timur, ke barat ya ke barat. Baik-buruk sudah kita jalani bersama bertahun-tahun. Sehat dan bisa beli beras, itu saja yang kuharapkan.”
”Baik, Luh. Jika seperti itu, mulai saat ini mari kita kembali ke timur. Ikuti adab seperti di timur. Mungkin itu yang benar, daripada hidup kita ruwet mencari kebenaran,” ucap Bapa Kobus.
Luh Sri berhenti memasak. Ditatapnya wajah Bapa Kobus dalam-dalam.
”Yakin dengan omonganmu itu? Jika kembali ke timur, aku setuju. Akan tetapi, aku tidak setuju jika meninggalkan tradisi kita di sini. Jangan seperti bunglon. Kita mesti punya prinsip tentang keyakinan,” ucapnya dengan suara tinggi. Bapa Kobus bengong. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Ia hanya manggut-manggut.
Baca juga: Bunga Matahari
Keterangan:
1. Paruman: musyawarah
2. Dadia: hubungan kekerabatan (satu leluhur)
3. Jero Krama: anggota masyarakat adat
4. Jero Mangku: rohaniwan
5. Kajang kulit: kain putih bertuliskan wujud manusia berisi tulisan suku kata sakti (Ongkara dsb.) dipergunakan sebagai penutup mayat pada waktu akan uapacara ngaben
6. Jero: kata sapaan hormat kepada seseorang yang biasanya belum dikenal, atau lebih tinggi derajatnya
7. Paibon: tempat pemujaan leluhur dari keluarga yang mempunyai hubungan kekerabatan
8. Déwa Yang: arwah leluhur yang telah disucikan
9. Palinggih: tempat suci (pura)
10. Poléng: belang (hitam putih)
11. Kajeng Kliwon Uwudan: Kajeng Kliwon yang jatuh setelah purnama
12. Kélanan: sesajen yang berisi 6 ikatan ketupat
13. Segehan: segehan (persembahan untuk para butha kala)
14. Ida Betara: utusan Tuhan sebagai pelindung umat manusia dalam keyakinan Hindu
15. Tonya: makhluk halus
16. Canang: sesajen yang dibuat dari janur berisi bunga berbentuk bulat
17. Beli: suami
____________
I Wayan Kerti, lahir di Sibetan, Karangasem, 29 Juni 1967. Berprofesi sebagai guru, tulisan-tulisannya pernah dimuat di media cetak/online, seperti; Bali Post, Pos Bali, Pustaka Ekspresi.com, Kompasiana.com, dan lain sebagainya. Beberapa buku fiksi dan nonfiksi pernah diterbitkan. Karya fiksi terjemahan yang berjudul Ngelekadang Mémé (2020) dan Pohon Keramat di Kebun Kakek Dompu (2022) diterbitkan oleh Balai Bahasa Provinsi Bali. Buku cerita anak Ogoh-ogoh Kecil Berkain Belang dan Gulali Nenek diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (2023).