Suara Tangis di Malam Lebaran
Hampir tengah malam. Sebuah mobil berjalan pelan. Berhenti di sisi jalan. Seorang lelaki memandang bocah kecil itu.
Bulan, aku mau lebaran. Aku ingin baju baru,tapi tak punya uang. Ibuku entah di mana sekarang,sedangkan ayahku hanya bisa kubayangkan.Bolehkah, bulan, kupinjam bajumu barang semalam?Bulan terharu: kok masih ada yang membutuhkanbajunya yang kuno di antara begitu banyakwarna-warni baju buatan. Bulan mencopot bajunyayang keperakan, mengenakannya pada gadis kecilyang sering menangis di persimpangan jalan.Bulan rela telanjang di langit, atap paling rindangbagi yang tak berumah dan tak bisa pulang.
**
”Ceritakanlah tentang kesedihan yang tak pernah sia-sia?” pintanya sambil menatap laut yang jauh. Di cottage kecil menghadap ke laut. Ujung laut yang hanya segaris panjang. Biru menghadang, hamparan yang maha luas. Angin bergesek di batang pohon kelapa, gemuruh. Juga ombak yang terus berdatangan, menyimpan sisa perjalanan dari laut lepas.
”Apakah tanda kesedihan? Air mata? Adakah harapan-harapan setelah ia berlalu? Ketika pintu waktu terus membuka, seperti ada penolong yang menjemput untuk sekadar mencerai-beraikan segala yang pernah silam.”
Dan lelaki itupun mulai bercerita:
Siapakah seorang anak lelaki kecil yang menangis itu? Air mata yang terus saja berjatuhan. Isak yang tertahan. Masa lalu yang terjerat di sekujur tubuhnya. Saat gema takbir terus menggema di udara. Ketika senja baru saja habis dan gelap malam datang. Suara takbir terus bersahut-sahutan di udara.
Bulan puasa memasuki hari terakhir, baru saja Menteri Agama membacakan penetapan jatuhnya satu syawal besok. Besok, lebaran. Besok orang-orang akan berkerumun di lapangan, di masjid-masjid, saling menggemakan takbir: ”Allahu akbar! Allahu akbar! Allahu akbar! Wa lillahil hamdu...” Rumah-rumah berbenah, mengecat dinding dan menyiapkan banyak toples untuk kue. Harum kuah opor ayam melayang. Ketupat-ketupat dihidangkan dan masing-masing orang saling bersalaman.
Apakah tanda kesedihan? Air mata? Adakah harapan-harapan setelah ia berlalu?
Tapi malam melayang dengan lambat. Jalanan kota terasa makin sesak. Lalu-lalang kendaraan. Di antara suara petasan bergemuruh, beduk yang bertalu-talu. Binar cahaya kota menyala lebih terang dari malam-malam sebelumnya. Di depan rumah yang berdinding papan, anak lelaki kecil duduk seorang diri. Umurnya kira-kira delapan tahun. Di pinggir jalan. Dipandangnya binar cahaya yang terus berpijar. Kota menjadi nyala api kecil yang bergembira. Tetapi tidak dengan dirinya.
Ia terus saja menunduk, air matanya masih mengalir tanpa tercegah. Barangkali hampir habis. Matanya masih berkaca. Ia masih sendiri saja. Bajunya kumal, rambutnya kusam berwarna pirang apabila tertimpa cahaya, warna kulitnya cokelat kehitaman. Seperti ingin mengatakan sesuatu dan ucapannya lirih terdengar, ”Pada siapa aku mengadu? Orang tua sudah tiada, paman dan tante tak ada lagi yang peduli padaku. Besok lebaran. Aku tak punya siapa-siapa lagi. Tak punya baju baru. Tak ada tempat tinggal. Semua orang berbahagia, tapi diriku?” Seseorang, mungkin dijemput malam. Menangis di gamang takbir yang rintih. Seperti keriap gerimis. Mengukir teritis. Tapi hujan tak datang malam lebaran ini. Hanya bocah lelaki kecil itu, sendirian. Menangis tersedu. Lelaki kecil itu menggumam:
Bau air mata itu menggenang. Jalanan lengang, pada siapa biji mimpi ditanam
Sedangkan taman-taman telah lama kering, tak mampu dibawa hujan
Siang dan malam
Seseorang, barangkali adalah aku
Menangis di runcing takbir. Langit mengatup, tertidur
Sungguh betapa kuat bahasa cinta yang terdampar di langit malam
Walau tinggal kelam yang hitam
Baca juga: Baju Baru
**
Beratus tahun yang lalu, Kanjeng Nabi Muhammad bersiap menyambut Idul Fitri. Bulan Ramadhan telah berlalu. Rasulullah berjalan menyambut pagi Idul Fitri. Pagi yang cerah, udara yang segar. Nabi terus berjalan untuk melaksanakan Shalat Idul Fitri. Melintasi kerumunan anak bocah. Saling bermain. Berlarian. Begitu ceria wajah mereka. Senyum yang lepas tanpa beban. Tapi ada satu anak yang sendirian, menangis. Anak lelaki itu tidak ikut bermain bersama. Ia berdiam di sudut dengan linangan air mata yang terus saja mengalir dari kedua bola matanya. Air mata yang terus luruh, membasahi pipinya. Hingga matanya sembab.
Rasulullah terkejut mendapati anak kecil itu. Semestinya ia ikut bermain bersama teman-temannya. Lalu menghampirinya. ”Apa yang membuatmu menangis, wahai anak kecil?”
Dan anak kecil itupun menceritakan:
”Ayahku telah meninggal beberapa waktu yang lalu ketika ikut berperang bersama Rasulullah SAW. Ibuku menikah dengan lelaki lain dan tak memedulikanku. Ibuku pun pergi mengambil rumah dan harta peninggalan Ayahku. Kini aku sendiri, tidak memiliki baju apa pun yang bisa kupakai di hari raya. Perutku lapar dan tidak tahu mesti tinggal di mana. Di hari raya ini, ketika anak-anak lain bisa mengenakan baju yang baru. Ketika semua orang bergembira. Sementara aku hanya sebatang kara.”
Tangisannya makin panjang. Ia tersedu-sedu. Dan anak kecil itu tak tahu jika sesungguhnya ia sedang bercakap dengan Rasulullah sendiri. Kemudian Rasulullah memeluk anak kecil itu dan berkata, ”Maukah kamu jika aku menjadi ayahmu, Aisyah menjadi ibumu, Fatimah menjadi saudaramu, Ali menjadi pamanmu, dan Hasan serta Husain menjadi sudaramu?”
Anak kecil itu terperajat. Raut wajahnya mendadak ceria. ”Bagaimana aku mungkin menolak menjadi bagian dari keluarga Rasulullah.” Oleh Nabi Muhammad, anak itu dituntunnya pulang, diberikan baju baru dan diberikan makan hingga kenyang. Lalu ia keluar lagi, dengan wajah yang bahagia, bermain dan tertawa lepas bersama teman-temannya. Ia begitu senang dan gembira.
Ia ikut bertakbir menyambut Idul Fitri. Seperti ada cahaya di wajahnya.
Baca juga: Melati dan Minyak Kayu Putih
**
Hampir tengah malam. Sebuah mobil berjalan pelan. Berhenti di sisi jalan. Seorang lelaki memandang bocah kecil itu. Ia mendekati. Bercakap beberapa saat. Ia ikut duduk di pinggir jalan. Menemani bocah itu. Duduk bersama bocah lelaki itu. Merangkulnya. Memeluknya. Lelaki itu merasa dadanya penuh sesak dengan kesedihan. Ia merasa iba. Di kepalanya, sebagai lelaki dewasa dirinya sendiri tak akan sanggup memanggul kesedihan yang dirasakan bocah itu.
Di langit suara takbir masih menggema. Begitu panjang.
Bocah lelaki itu tak lagi sendiri. Seorang lelaki yang kebetulan melintas membawa mobil mewah mendapati dirinya sedang sesenggukan di pinggir jalan. Mengajaknya ikut bersama ke rumahnya. Ia memakaikan dirinya baju dan kain sarung baru. Lelaki itu menggenggam tangan si bocah. Jam enam pagi mereka baru saja selesai sarapan ketupat dengan opor ayam. Mata sang bocah berbinar bahagia. Ia diangkat menjadi anak oleh lelaki yang ditemuinya semalam. Ia kini memiliki rumah yang baru. Ibu dan kakak lelaki.
Mereka berangkat menuju tanah lapang. Berkerumun dengan orang-orang lainnya untuk shalat Idul Fitri bersama. Ia melangkah dengan dada yang penuh dengan buncah kebahagiaan. Wajah yang tersenyum tanpa ada air mata.
Allahu akbar
Allahu akbar
Allahu akbar
Wa lillahil hamdu
Catatan:
- Diambil dari puisi Joko Pinurbo ”Baju Bulan”
- Kisah tentang Nabi Muhammad SAW bersama anak yatim disadur dari kisah yang diambil dari https://islami.co/kisah-idul-fitri-rasulullah-dan-yatim/
Alexander Robert Nainggolan, lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di media cetak dan daring. Bukunya yang telah terbit Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, Penerbit Pensil 324 Jakarta, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, Nulis Buku, 2012), Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, Nulis Buku, 2012), Silsilah Kata (kumpulan puisi, Penerbit basabasi, 2016), dan Dua Pekan Kesunyian (kumpulan puisi, Penerbit JBS, 2023).