Ada Tuhan di Bioskop
Lamat-lamat kulihat Tuhan muncul dengan bahasa indah dari layar—dari tulisan ”credit title”. Dia tersenyum padaku.
Aku buru-buru ke gedung bioskop. Pukul 19.30 teng film akan diputar. Sejujurnya aku tidak tahu mau menonton film apa. Yang aku tahu, hari ini ada pemutaran perdana sebuah film yang kata muncung para pengamat serta kritikus film akan meledak; membeludak, melimpah ruah serupa bah pada zaman Nuh.
Sudah sepuluh tahun aku tidak menonton di bioskop. Terakhir kali aku menonton: ya, itu benar-benar momen terakhir aku dengan kekasihku. Setelahnya dia mendadak mati tanpa sebab. Aku patah hati; hancur lebur, gila, dan begitu ingin mati.
Kusumpahi diri sendiri, kumarahi semua keluarga, saudara, juga teman-temanku. Bahkan kubenci Tuhan. Dan hari ini, tiba-tiba saja aku teringat kembali kepada Tuhan yang sudah lama aku benci; sudah lama aku lupakan.
Ya, hari ini aku memang berencana mengajak Tuhan menonton; menonton di bioskop. Maka, sesampainya di bioskop langsung aku pesan dua tiket: satu untukku, satu untuk Tuhan. Untung aku masih kebagian tiket, padahal yang ingin menonton, sungguh tak terhitung mata dan jari-jariku. Jangan-jangan Tuhan sudah mulai ikut campur kembali dengan hidupku?
Ya, hari ini aku memang berencana mengajak Tuhan menonton; menonton di bioskop.
Bukan tanpa sebab dan alasan aku mendadak mengajak Tuhan menonton. Selain karena belakangan aku sering kepikiran Tuhan, aku juga jatuh kasihan kepada Tuhan: sejak Ia mulai berkehendak menciptakan sesuatu sampai hari ini, sungguh Dia tidak pernah libur atau cuti. Jadi aku kira Tuhan tentulah membutuhkan refreshing.
Bukan apa-apa, sebagai manusia pada umumnya, aku dulu (sewaktu aku begitu mesra dengan Tuhan) selalu meminta apa saja kepada Tuhan. Kadang seisi dunia tanpa sadar aku minta. Bayangkan berapa jumlah manusia yang sama sepertiku. Tapi pernahkah Ia protes atau marah pada manusia? Maka saat menonton nanti, aku ingin memberinya kejutan: aku akan meminta Dia untuk meminta sesuatu padaku. Mungkin saja aku bisa kupenuhi keinginan Tuhan.
Baca juga: Teman Perjalanan
¤ ¤ ¤
Aku sudah duduk di kursi No 5F, kursi No 6F untuk Tuhan yang sudah aku pesan sebelumnya. Berdebar aku menunggu Tuhan datang dan akhirnya menonton bersamaNya. Sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan kepada Tuhan. Cuma pertanyaan itu sepertinya baru akan aku tanyakan kalau aku mampu memenuhi keinginanNya.
Malu juga selalu bertanya, pun melulu meminta padaNya. Ditambah lagi, inikan momen pertama aku kembali mencoba dekat kepadaNya setelah sekian tahun aku meninggalkannya; melupakannnya. Habis Dia pun tega sekali mengambil kekasihku di saat aku begitu sangat mencintai kekasihku. Ah, tak baik membuka luka lama. Bukankah pertemuan ini juga kumaksudkan semacam permohonan maaf, serta ajang pembelajaranku menerima semua takdir yang telah Ia tetapkan kepadaku; kepada kekasihku.
Namun sudah 25 menit film diputar, Tuhan belum juga datang. Apa mungkin Tuhan bertemu kemacetan? Atau ada hal besar yang harus segera Ia selesaikan? Tapi siapa juga yang berani menahan laju Tuhan sekiranya jalanan benar macet. Lantas, hal besar macam apa yang tidak bisa Tuhan selesaikan? Sungguh, aku jadi bertanya-tanya; aku gelisah. Kesudahannya aku pun tak menonton film besar tahun ini; mungkin juga abad ini.
Lantas, hal besar macam apa yang tidak bisa Tuhan selesaikan?
Ulang berulang aku perhatikan layar ponselku: melihat kondisi jalanan apa benar-benar macet. Berita-berita juga aku baca sepintas lalu (judulnya saja) untuk memastikan peristiwa besar apa yang terjadi hari ini. Sungguh tak ada macet di luar sana, pun peristiwa yang amat besar selain perang antara dua kubu yang rakus mengejar dunia fana. Mengapa aku katakan kedua kubu rakus? Coba tanyakan ke dalam diri sendiri, mengapa bisa sampai terjadi perang kalau kesemuanya itu tiada lain bermula dari kerakusan manusia. Kemudian manusia yang kerasukan rakus itu telah pula menyebarkan kerakusannya, memodifikasinya menjadi seolah-olah semacam perkara- perkara membela diri, perkara eksistensi, dan perkara lain-lain. Lalu kesudahannya manusia merasa perlu mempertahankannya, atau merebutnya. Padahal semua itu senyatanya palsu, semata-mata hanya perkara kerakusan belaka. Sungguh tak jauh selain dari K E R A K U S A N itu sendiri.
Lelah tak menemukan alasan masuk akal Tuhan belum datang, aku tonton juga film yang aku pesan tiketnya dengan buru-buru tadi. Astaga, baru aku sadar, film yang aku tonton (yang rencana awalnya bersama Tuhan) ternyata film bertemakan perang. Dan ajaibnya lagi, perang dalam film yang kutonton begitu mirip dengan berita- berita yang kubaca baik dari media sosial atau laman media online.
Dahsyat sekali perang dalam film yang kutonton: bayi dan anak-anak mati tertimpa reruntuhan rumah dan gedung. Istri-istri, pun suami-suami menangis kehilangan orang terkasih. Bahkan dalam satu adegan kulihat seekor kucing bersedih melihat seekor anjing yang (aku menduga anjing itu teman bergelut dan bermain si kucing) separuh badannya terbakar. Mungkin sebelumnya anjing itu terkena roket atau bom.
Baca juga: Lintah
Perang macam apa ini? Bukankah perang telah mengatur hal-hal yang tidak boleh dihancurkan atau dibunuh. Tapi mengapa perang ini begitu mengerikan, menjijikkan; kejam sekali. Untuk inikah manusia diciptakan? Oh, Tuhan cepatlah datang, Kau lihatlah sendiri film ini. Sungguh ini telah merendahkan martabat manusia dan kemanusian. Binatang saja tidak akan pernah sampai sekeji ini. Dan kalau pun binatang terkesan keji, itu tak lain sesungguhnya hanya usaha untuk bertahan hidup dari lapar dan bahaya yang mengancam. Sedangkan film ini, oh Tuhan, lihatlah.....lihatlah Tuhan. Aku mohon segeralah datang; menonton bersamaku kehinaan ini. Betapa lemah aku menyaksikannya sendiri.
Beberapa saat aku tak sadarkan diri. Mungkin aku tertidur atau lemas karena tak kuat menonton kebrutalan dalam film itu. Ya aku tahu itu film, hanya film. Tapi bukankah film dibuat sutradara-sutradara besar berangkat dari pengalaman juga kadang dari peristiwa yang sungguh benar terjadi? Tentu saja unsur dramatik wajib ditambahi agar menghasilkan sebuah karya seni tingkat tinggi. Akan tetapi, sumpah, film yang kutonton ini senyata tak membawaku pada pemahaman yang tinggi akan sebuah karya seni adiluhung. Film yang kutonton ini senyata hanya membuat aku mau mual, dan ingin muntah.
¤ ¤ ¤
Aku coba kembali mengecek kondisi jalanan—aku tidak mau lagi melihat atau membaca media sosial—mana tahu sekarang benar-benar macet, sehingga Tuhan terlambat datang.
O, tidak! Jalanan senyata lengang. Kendaran-kendaran seperti tidur di kandang mereka masing-masing. Apa mungkin semua yang memiliki kendaraan sedang menonton film yang aku tonton? Kalau begitu, benarlah hebat analisis pengamat dan kritikus film; tak seinci pun mereka meleset.
Lima menit lagi film ini akan usai, seperti yang tertera di tiket. Oh, Tuhan, apakah Kau tidak jadi datang?
Aku bersiap-siap keluar dari gedung bioskop. Sebagian penonton sudah ada yang mulai keluar. Namun anehnya, wajah mereka tiada yang menerbitkan kesedihan. Malah samar kudengar tertawa menceritakan ulang adegan kucing yang sedih melihat seekor anjing yang separuh tubuhnya terbakar. Oh, Tuhan, tidakkah kau ingin menyaksikan kegilaan ini?
Baca juga: Kisah Wanita-Wanita Tanpa Nama
Di antara perasaan kesal bercampur sedih, lamat-lamat kulihat Tuhan muncul dengan bahasa indah dari layar—dari tulisan credit title. Dia tersenyum padaku.
Tak kuasa rinduku padaNya, aku balas senyum Tuhan. Dalam hati aku berucap, datang juga akhirnya Dia. Takut lupa, takut terbawa suasana setelah menonton film brutal tadi, langsung aku tanya Dia, ”Tuhan apa yang Kau minta dariku malam ini? Mana tahu aku bisa mengabulkannya. Mintalah, jangan sungkan Tuhan. Aku akan berusaha sekuat tenaga dan jiwa memenuhinya.”
Lagi-lagi Tuhan tersenyum. Demi apapun yang pantas disembah dan itu tentunya adalah Dia, indah nian senyum Tuhan kepadaku. Kemudian dengan bahasa indah Tuhan berkata, ”Bisakah kau menghentikan perang? Agar pada kesempatan lain, kita bisa nonton bareng lagi.”
Aku terdiam. Sungguh tak menyangka dengan permintaan Tuhan kepadaku. Setelah kurasakan jiwaku sudah sepenuh tenang, aku pun memberanikan diri menjawab,”Bisa, tapi aku mohon lahirkan aku kembali di tanah Palestina, di tanah para nabi-nabi. Maka akan kucegah perang dengan cinta kasihMu. Maukah kau mengabulkannya, Tuhan?”
Tuhan tersenyum, indah sekali.
Akasia, 2023
Ilham Wahyudi, Lahir di Medan, Sumatera Utara. Ia salah seorang Fuqara di Amirat Sumatera Timur, menjadi seorang Fundraiser di Adhigana Fundraising. Beberapa cerpennya ada yang dimuat dan banyak yang ditolak redaksi. Buku kumpulan cerpennya, Kalimance Ingin Jadi Penyair, tidak akan diterbitkan.