”Satu, dua, ti…ga,” ucapku bersamaan dengan lampu halte yang akhirnya mati.
Aku menghela napas tipis, sedikit kecewa, mengapa lampu itu harus padam. Entah apa alasannya lampu itu padam, mungkin ia tak mau lagi menemaniku, sama seperti mereka yang telah aku bantu, lepas itu pergi begitu saja. Meski mereka pergi, aku tak memusingkannya. Sebab, ada yang masih tinggal dan menemaniku. Mereka adalah Bay yang kerap datang saat siang dan Ang yang setia menemaniku di malam hari.
Bay dan Ang adalah temanku yang sangat setia. Mereka selalu dekat denganku, tak peduli saat aku terpuruk ataupun sedang berbahagia. Meski Bay dan Ang tak banyak berbicara, mereka selalu hadir saat aku membutuhkannya. Dan yang lebih uniknya lagi, mereka suka menghilang lalu muncul secara tiba-tiba, seperti saat ini. Saat lampu halte tiba-tiba mati, Ang seketika menghilang.
”Ang, Ang,” aku memperhatikan sekeliling, mencari Ang yang tiba-tiba hilang saat lampu halte padam, ”Kamu di mana Ang?”
Ang tidak menjawab dan masih menghilang.
Aku pun akhirnya beranjak, berjalan sedikit keluar dari halte untuk mencari Ang. Saat aku berada di tepian jalan, aku dikagetkan Ang yang seketika muncul.
”Ang!” Teriakku sambil mengelus dada setelah menemukan Ang yang ternyata sedang berbaring di jalan raya, ”Kamu ngapain rebahan di sana Ang?”
Seperti biasa, Ang hanya diam, tak menjawab pertanyaanku.
”Atau jangan-jangan kamu lelah, ya, Ang?” tanyaku.
Ang masih diam, tak menjawab.
Melihat Ang tampak nyaman, aku pun memutuskan duduk di trotoar jalan, dekat dengan Ang. Bersamaan dengan aku yang memutuskan untuk duduk, Ang seketika bangkit dan ikut duduk.
”Ang, kamu sama Bay kenapa tidak pernah muncul bersamaan sih?” tanyaku.
Ang masih terdiam, tidak menjawab pertanyaanku lagi.
”Padahal, kalau kita kumpul bertiga, seru loh Ang. Kita bisa makan bersama-sama, bepergian bersama-sama, bahkan mandi juga bisa bersama-sama.” Aku tertawa, membayangkan semua yang barusan aku ucapkan. ”Tapi, meski kita enggak bisa bersama-sama, aku cukup bahagia Ang. Sebab, bisa berteman denganmu dan juga Bay.” Aku tersenyum, merasa bahagia memiliki teman seperti Bay dan Ang.
Akan tetapi, senyum bahagia yang tadi aku keluarkan seketika sirna. Aku tiba-tiba merasakan kesepian yang teramat dalam—meski ada Ang yang duduk tak jauh dariku. Aku meringkuk, menyembunyikan wajahku, dan memeluk kedua kakiku.
Sesaat, aku ingin menangis lepas. Tapi, aku tak bisa mengeluarkan tangisanku. Hingga akhirnya rasa kesepian itu seketika pergi dan menghilang, atau lebih tepatnya kembali bersembunyi di dalam diriku.
Aku angkat wajahku dan melepas pelukanku pada kaki. Kuhirup napas dalam-dalam dan aku embuskan perlahan. Kini, senyuman kembali menghiasi wajahku walau tak sama seperti senyuman sebelumnya.
”Ang,” aku memanggil Ang.
Ang diam, tak menjawab.
Aku menghela napas tipis, lalu menatap langit, memandangi rembulan.
Baca juga: Bayang-bayang Mas Mono
”Kau itu bagai rembulan yang menenangkan kala aku terpukul jatuh, Ang. Dan Bay, seperti matahari yang terus menyemangatiku, saat aku mulai bangkit. Tapi Ang,” aku menoleh ke Ang. ”Kira-kira, apakah aku bisa memiliki teman lagi? Seperti bintang yang menemani rembulan dan awan yang menemani matahari.”
Saat aku sedang menunggu jawaban Ang, yang sudah dipastikan ia tidak akan menjawab, tiba-tiba ada seekor kucing putih berbulu lebat menyundul-nyundul kakiku sambil mengeong lembut. Sontak aku mengelusnya, dan ia pun memutari kaki kananku.
Satu menit lebih dia memutari kakiku, dari kanan ke kiri atau pun sebaliknya, akhirnya kucing putih berbulu lebat itu duduk dan memandangiku. Aku pun tersenyum, dan kucing putih itu mengedipkan matanya pelan.
”Hey, apakah kamu mau berteman denganku?” tanyaku.
Kucing putih itu mengeong lembut dan menatapku, lalu kembali mengedipkan matanya pelan.
”Kalau begitu, aku akan memberimu nama,” aku diam sejenak, memikirkan nama yang cocok, ”Rembu. Ya, namamu Rembu,” ucapku.
Rembu mengeong lembut dan kembali mengedipkan matanya pelan.
***
Akbar hendriana putra, lahir di Jakarta, 21 April 1995. Menamatkan kuliah di BSI Margonda, Depok, pada 2018. Anak kedua dari tiga bersaudara ini memiliki teman sejati, yaitu secangkir kopi. Sejak SMA sudah suka dengan menulis, tetapi wujud tulisannya baru berani ditunjukkan di tahun 2021. Sekarang sibuk mewujudkan mimpi sambil membantu memasak di usaha katering ibunya.