Kisah Sinta
Di situasi diam seperti itu, kebencian Darma kepada Mardi, kakak lelaki satu-satunya yang menjadi waria, semakin mengental. Mardi adalah pemilik salah satu salon kecantikan yang cukup sohor di kota mereka.

-
Tanpa memberi tahu Darma, Sinta menghilang begitu saja. Dia pindah rumah ke kota yang dirahasiakannya. Darma tak bisa menghubungi Sinta. Perempuan itu telah mengganti nomor teleponnya.
Lima bulan sebelumnya, Darma dan Sinta duduk berhadapan di sofa merah bermotif daun-daun emas. Keduanya duduk di ruang tamu dihalangi meja bertaplak strimin kuning nanas.
”Aku muak melihat waria yang memotong rambutmu tadi siang.” Darma berkata sinis. Rambutnya yang panjang sebahu disisir belah tengah. Matanya sedikit sipit. ”Kenapa kamu melarangku membenci waria?”
”Aku justru muak padamu,” kata Sinta. ”Aku sudah pernah mengatakannya, kamu tak berhak membenci siapa pun,” tambahnya.
Angin berembus dan masuk melalui celah pintu rumah Sinta. Angin itu meniupi wajah mereka berdua.
”Kamu kenapa, Sinta?”
”Kamu itu yang kenapa!”
”Aku benci waria."
”Jangan mudah membenci. Nanti kena karma.”
”Biarlah. Aku ingin menghabisi kakakku!”
”Katakan sekali lagi dan kamu boleh pergi dari sini!” Sinta memeloti Darma.
Darma menunduk. Dia tak berani menatap Sinta. ”Aku berjanji tak akan membahasnya lagi.” Darma berkata lirih. Matanya terasa perih.
Sinta cuma diam, Darma pun akhirnya demikian.
Di situasi diam seperti itu, kebencian Darma kepada Mardi, kakak lelaki satu-satunya yang menjadi waria, semakin mengental. Mardi adalah pemilik salah satu salon kecantikan yang cukup sohor di kota mereka. Orang-orang memanggilnya: Bunda, dan setiap kali Bunda Marni alias Mardi ada di rumah, Darma selalu menghajarnya tanpa alasan. Darma seperti tak butuh alasan untuk melakukannya. Setelah dihajar, Bunda Marni alias Mardi biasanya menangis di pojok kamar atau pergi menginap ke rumah kawan. Ibu mereka, yang sudah hampir pikun dan bertahan hidup dari uang pensiunan, tak bisa berbuat apa-apa kecuali menangis atau berdiam diri di ruang televisi. Sementara itu Ayah mereka, seorang polisi berpangkat Sersan Kepala, telah lama meninggal karena baku tembak dengan pimpinan rampok bernama Menawar.
Di situasi diam seperti itu, ingatan Darma tertuju pada alasan yang membuat Mardi jadi waria; benci dengan didikan ayahnya. Jika Darma patuh pada sang ayah, maka Mardi sebaliknya. Jika ayah mereka mengajak berlatih silat, maka Mardi keras menolak. Ketika Mardi menolak, sang ayah tak segan menghukumnya dengan sabetan ikat pinggang. Mardi menyeringai ketika ikat pinggang membentur paha dan pantatnya. Darma ingat, Mardi memang tak suka pelajaran silat, dia lebih suka pelajaran menjahit atau memasak yang diajarkan ibu mereka. Namun, dari satu alasan itu, Darma bergerak ke alasan lain; gagal dalam asmara. Begitulah, Mardi ditinggal kekasihnya dan sang kekasih kabur dengan lelaki lain.
Dulu, setahun yang lalu, Darma pernah berkata kepada Sinta, ”Aku ingin membunuh kakakku. Aku muak melihat seseorang yang berjakun tapi dadanya dibikin menonjol mirip payudara.” Mendengar perkataan Darma, Sinta pun marah besar. Mereka berdua bertengkar dan tak bertemu selama sebulan.
Angin kembali berembus dan masuk melalui celah pintu rumah Sinta. Darma memandangi Sinta dan mencoba mengajak kekasihnya itu membahas rencana pernikahan mereka. Darma berjanji pada Sinta untuk lebih giat bekerja.
”Tapi kamu terlalu santai, Darma,” kata Sinta sambil menatap lekat mata Darma. Sepasang mata Sinta terlihat belok, rambutnya panjang melebihi bahu, dan umurnya 31.
”Aku sedang berusaha, Sinta. Aku akan mewujudkannya.”
”Tapi yang kudengar selama ini hanya rencana-rencana. Bahkan kamu malas mencuci piring bekas makanmu sendiri.”
Darma terdiam. Dia memandang keluar. ”Hujan belum datang,” katanya.
”Dia tak akan datang sebelum kamu berhenti berbohong.”
”Kamu menyinggungku, Sinta.”
”Aku tak pernah menyinggungmu atau memaksamu melakukan sesuatu. Tapi sekarang aku harus melakukannya.”
Darma melenguh. Dia mengambil kotak rokok dan korek di saku baju lengan panjangnya. Rokok disulut. Asap mengepul dari liang mulut dan hidungnya. ”Aku mencintaimu, Sinta,” katanya. Dia meletakkan korek dan kotak rokok itu di meja.
”Kamu hanya perlu membuktikannya. Kita tak punya banyak uang. Terutama kamu, Sayang.”
”Kamu yakin pada Tuhan? Jika yakin, maka tak perlu dirisaukan.”
”Aku tak yakin padamu. Tuhan akan kecewa melihatmu.”
”Sinta ...”
”Aku tak mau mendengar kata-kata bijak.”
Darma kembali diam. Matanya perlahan terpejam.
Sementara itu di luar, matahari baru saja tenggelam.
Darma membuka mata. Dia menatap wajah Sinta. ”Gelap belaka,” bisiknya.
Sinta tak mendengarnya. Ia malah beranjak menghidupkan lampu di dalam dan di luar rumahnya. ”Gerah sekali,” katanya setelah duduk lagi.
”Aku mau ke masjid,” kata Darma. Dia mematikan rokok di asbak kulit kerang yang di bagian luarnya dilapisi kayu jambu batu. Lelaki itu berdiri, lalu pamit keluar.

Sinta juga berdiri dan tak berkata apa-apa. Dia melangkah, lalu menutup pintu rumahnya. Perempuan itu sempat mengintip Darma lewat sibakan tirai jendela.
Azan magrib berkumandang. Darma melangkah lamban.
Darma memang melangkah ke masjid yang ada di belakang rumah Sinta. Namun, begitu tiba di sana, dia hanya mencuci muka di tempat wudu dan melamun di samping pintu belakang masjid itu.
Sepuluh atau lima belas menit berikutnya, gerimis turun membasahi kanopi yang menaungi teras rumah Sinta. Di teras itu, motor bebek Darma dan mobil sedan Sinta melamun berdampingan.
Darma datang lagi ke rumah Sinta sambil berlari kecil beberapa menit kemudian.
Sinta membukakan pintu untuk Darma. ”Kuambilkan handuk?”
”Tidak usah.” Darma melangkah masuk. Dia kembali duduk.
”Kubuatkan kopi?”
Darma mengangguk. ”Pahit,” katanya.
”Tunggu sebentar.” Sinta melangkah ke dalam.
Gerimis di luar perlahan jadi hujan. Darma, dengan mata terpejam dan kepala menyandar ke sofa, kembali memikirkan rencananya untuk menghabisi Bunda Marni alias Mardi. Namun, tak lama kemudian, rencana Darma buyar oleh suara batuk Sinta.
Darma membuka mata.
Sinta datang membawa segelas kopi pahit dan beberapa potong donat yang dibelinya tadi siang. Dia menaruh suguhan itu di meja.
”Bagaimana kuliahmu?” katanya setelah menawari kopi dan donat kepada Darma.
”Sudah selesai. Tinggal ujian.” Darma menjawab enggan.
”Itu artinya belum selesai.”
”Menurutku sudah.”
”Semua selalu menurutmu. Tak pernah kamu mau mendengarkan orang lain.”
”Kita tak bisa mendengar suara kita sendiri kalau terlalu banyak mendengarkan orang lain.”
”Aku mohon, Darma, berhentilah mengutip kata-kata orang lain!”
”Kamu berubah, Sinta.”
”Memang harus berubah, Darma. Itu manusiawi. Dulu dan kemarin aku selalu memujimu. Aku selalu membanggakanmu. Aku tak mau kamu lelah. Aku mau, aku saja yang berusaha dan kamu tak usah melakukan apa-apa. Tapi setelah kupikir-pikir, itu sama sekali tak berguna; baik untukmu, juga untukku. Itu akan membuatmu lintuh dan rapuh. Kamu tahu, aku sudah tak punya bapak dan ibu.”
”Kamu tidak mencintai aku lagi.” Darma memungut korek gas biru juga sebatang rokok filter dalam kotak coklat yang berbaring di meja. Disulutnya ujung rokok itu. Jari-jarinya gemetar dan kedua telapak tangannya berkeringat dingin.
Darma menaruh kembali koreknya. Dia mengisap rokoknya. Menyesap kopinya. Rokok, korek, dan kopi yang didapatnya dari Sinta.
”Aku tak ingin kau menyesal dan hidup dalam sesal; bersamaku atau tidak bersamaku. Kamu paham itu?” Sinta tersenyum. Bibirnya bergetar dan sepasang matanya berkaca-kaca.
”Baiklah. Aku akan berusaha sekuat tenaga.” Darma memejam.
Sinta menghela napas panjang.
Di luar, hujan berangsur reda.
Darma mengisap kembali rokoknya. Menyesap kembali kopinya. Beberapa detik dia diam seperti fosil dalam museum purbakala.
”Aku rasa aku bodoh dan karena itu kita tidak jodoh.” Darma mengembuskan asap rokoknya.
”Pakailah otakmu. Orang bisa berubah suatu saat nanti. Aku yakin sekali.”
”Aku membencimu.” Darma menitikkan air mata.
”Aku mencintaimu.” Sinta berkata bangga. Dia mengangkat sedikit dagunya.
”Baiklah. Aku tak jadi membencimu, tapi membenci sikapmu.”
”Teruslah jadi laki-laki bodoh yang kuyu dan peragu.”
Baca juga : Kunang-kunang Mang Isa
Darma mematikan rokoknya ke mulut asbak. Asap terakhir meliuk di atas asbak itu. ”Aku tahu, sampai kapan pun, kamu lebih hebat dariku,” kata Darma sebelum menyesap kopinya.
”Itu pemikiran yang sentimentil, Sayangku.” Sinta memeluk Darma erat sekali.
”Aku mohon. Beri kesempatan sekali lagi,” kata Darma.
Sinta melepaskan pelukannya karena Darma yang meminta.
”Aku hampir bosan memberimu kesempatan,” kata Sinta. “Kamu hanya harus menjadi dirimu sendiri. Bukan orang lain.”
”Bagaimana kalau aku berubah menjadi dirimu?”
”Itu mengerikan, Sayangku.”
Darma menarik napas dalam-dalam, dan mengembuskannya pelan-pelan.
”Sekarang, pergilah dari sini.” Sinta menghapus bekas air mata di pipi Darma. ”Jangan temui aku sebelum kamu bisa berubah.” Dia mencium jidat Darma.
Darma tidak membalasnya.
Tanpa berkata-kata, tanpa memakan atau membawa pulang donat suguhan Sinta, setelah mengantongi rokok dan koreknya, Darma meninggalkan rumah bernomor 6 itu dengan mengendarai motor bebeknya.
Lima bulan berikutnya, tanpa memberi tahu Darma, Sinta menghilang begitu saja. Dia pindah rumah ke kota yang dirahasiakannya. Darma tak bisa menghubungi Sinta. Perempuan itu telah mengganti nomor teleponnya.
Sementara itu Darma, tanpa sedikit pun kehendak untuk mencari tahu dengan serinci-rincinya tentang keberadaan Sinta, memutuskan untuk membuka salon dan mengubah dirinya menjadi seorang wanita.
Tak hanya itu, tiga tahun berselang, setelah ibunya meninggal, setelah berdamai dengan Bunda Marni alias Mardi, setelah memiliki delapan pegawai dan ratusan pelanggan, Darma mengambil sebuah keputusan. Dia mengganti nama. Orang-orang memanggilnya: Sinta.
Lampung, 2019-2021
***
Yulizar Lubay, lahir di Lampung, 24 Juli 1986. Menulis cerpen sejak 2010. Cerpennya yang berjudul ”Ikan-Ikan dan Jalanan yang Berlubang” memperoleh juara ketiga dalam sayembara penulisan kreatif Mastera Malaysia, 7 Oktober 2021. Payung Dara adalah novela perdananya, (terbitan Lampung Literature, 2018). Sehari-hari bergiat di Kober (Komunitas Berkat Yakin) Lampung sebagai aktor teater.