Mata Harimau
Margaretha menari, meliuk-liuk di depanku, menirukan gerakan mudra dalam ritual Siwa Tantra dengan rambut hitamnya dibiarkan liar tergerai—menyerupai Betari Durga. Bagiku, tariannya tidak terlalu memukau, tetapi magis.

-
Namaku Maung Lodra. Usiaku sudah sangat tua. Selama ratusan tahun aku melintasi zaman demi zaman, mengarungi ruang dan waktu.
Aku berasal dari masa yang jauh dan barangkali tak terperikan bagi manusia-manusia zaman kini. Lebih dari seribu tahun silam di barat Jawadwipa ini berdiri sebuah kerajaan agung. Di Galuh itulah aku bermula. Pada saat itu yang berkuasa di sana Prabu Linggasakti.
Seorang empu menatah ragaku sesuai pesanan seorang pangeran. Jadilah aku arca harimau perunggu yang tengah merunduk waspada seukuran kucing dewasa. Aku lalu diberi singgasana sebuah meja jati pinggala berlapis candani di dalam kamar sang pangeran yang wangi dupa. Sejak itu aku menjadi saksi berbagai perkara dalam lintasan sejarah. Mataku melihat semuanya. Di tubuhku tersimpan berlaksa ingatan akan keping-keping peristiwa yang terpatri seiring perjalananku menembus zaman.
Aku ada di sana tatkala sang pangeran bercinta gila-gilaan di atas balai-balai berlapik sutra nilakandi dengan putri rupawan yang masih sepupunya. Turut kudengar kisah-kisah sedih dan gembira yang diceritakan wanodya itu di antara tangis dan tawa.
Namun, sang pangeran kemudian jatuh cinta kepada ibu tirinya dan berupaya menggodanya. Tentu saja itu sama dengan bunuh diri. Sang pangeran malang dihukum pancung oleh ayahnya yang berkuasa. Aku pun berpindah dari tangan ke tangan.
Hampir tiga abad kemudian aku dimiliki seorang maharaja. Prabu Guru Darmasiksa memerintah dua negara bersaudara yang dipersatukan, yakni Galuh dan Sunda. Beliau berkuasa dengan adil selama seratus dua puluh dua tahun hingga wafat pada awal abad ketiga belas Saka. Pada masa pemerintahannya, tak hanya manusia, binatang, tetumbuhan, dan lelembut, tetapi air, angin, cahaya, udara, dan bumi pun merasa senang dalam pengayomannya.
Sang Prabu memiliki putra mahkota bernama Rakeyan Jayadarma yang berkedudukan di Pakuan—purasaba saat itu. Dia anak dari istri ketiga sang Prabu, yakni Dewi Supraba, putri yang berasal dari Sriwijaya, kerajaan besar di tanah seberang.
Jayadarma adalah menantu Mahisa Campaka, cucu Ken Angrok dan Ken Dedes dari Singhasari di bagian timur Jawadwipa. Lelaki gagah gajendra itu berjodoh dengan Dyah Lembu Tal yang mewarisi cahaya sang Prajna Paramita.
Aku dianugerahkan sang Prabu kepada putra mahkotanya sebagai bagian dari hadiah perkawinan. Dari pernikahan agung itu lahirlah Nararya Sanggramawijaya Jayawardana atau Raden Wijaya. Dia dilahirkan dan dibesarkan di Pakuan.
Kelak, ketika Raden Wijaya mendirikan Majapahit di Trowulan, aku diboyong ke istananya. Kerajaan di wetan itu berkembang hingga mencapai puncak kejayaannya dan menguasai Nusantara. Namun, pamornya lalu redup akibat karma banjir darah di Bubat yang menggelapkan sejarah. Majapahit bahkan sirna dari muka bumi hanya dua abad setelah kelahirannya.
Begitulah, aku melanglang buana meskipun tak bisa terbang. Seperti kata seorang pujangga dari tanah seberang, luka dan suka kubawa berlari. Berderu menjelajahi ruang dan waktu. Biar debu zaman menyelimuti tubuhku, aku tak peduli. Aku telah hidup seribu tahun dan masih akan hidup seribu tahun lagi!
Dapat kubaca pertanyaan yang terlintas di kepalamu: bagaimana mungkin arca bisa berpikir dan merasa?
Jika kau mengira benda-benda yang seakan tak bernyawa itu tak punya jiwa, tak bisa merasa, dan tak sanggup bercerita, kau sungguh keliru. Aku memang tak bisa bicara, tetapi aku bisa bercerita.
Selama ratusan tahun aku telah menyimak jiwa-jiwa berbisik—dari kitab ke kitab, dari satu benda ke benda lain. Maka, izinkan aku mengatakan bahwa jiwaku menyerupai jiwa para brahmana yang mengajarkan serat dan sutra: sehalus cahaya, selembut bunga.
Bahkan, perasaanku sedemikian peka sehingga mampu merasakan apa yang tak terkatakan oleh bahasa dan yang tak terbisikkan oleh suara paling lirih sekalipun, ketika terang ataupun saat gelap. Pengalaman hidup seribu tahun telah membuatku mampu memahami banyak bahasa, baik bahasa manusia, binatang, tetumbuhan, maupun benda-benda; bahkan bahasa para lelembut sekalipun.
Kukabarkan kepadamu sebuah rahasia: ada banyak hal di alam semesta yang tak terpahami oleh manusia. Akal mereka yang sederhana tak mampu menjangkau seluruh rahasia. Apalagi manusia cenderung sok pintar dan keras kepala. Mereka mengira telah menguasai dunia. Tetapi, sesungguhnya mereka justru merusak mayapada. Hanya kasih sayang Sang Maha Pencipta yang dapat menyelamatkan mereka dari binasa.
Baiklah, kulanjutkan ceritaku. Pada suatu hari, lebih dari lima abad setelah diciptakan, aku terdampar di sebuah ruangan gelap yang pengap entah di negeri mana. Aku dapat merasakan kesedihan dan derita yang terpenjara di tempat itu selama berpuluh tahun.
Secercah cahaya pucat perlahan menyusup masuk melalui kisi-kisi jendela yang telah rapuh, menerangi selubung debu dari masa lalu di dalam ruangan itu. Dapat kulihat benda-benda yang terserak di sana-sini. Salah satunya sebuah kitab tebal bersampul kadru yang terbuat dari kulit lembu. Rupanya itu kitab suci yang dibawa orang Peranggi ke tanah ini.
Orang-orang Peranggi dari selatan buana utara menjelajahi Nusantara sejak awal abad keenam belas tarikh Almasih. Mereka menemukan jalan menuju timur jauh untuk mencari rempah yang berharga tinggi di negeri mereka.
Mereka lalu diizinkan Prabu Siliwangi mendirikan tugu batu tanda persahabatan yang mereka sebut padrao di Kalapa, pelabuhan utama Kerajaan Sunda masa itu. Namun, beberapa tahun kemudian kota pelabuhan itu ditaklukkan oleh pasukan putih dari Cirebon dan Demak yang dipimpin Sunan Gunung Jati dan berganti nama menjadi Jayakarta.
Kelak kota itu direbut oleh orang-orang Peranggi dari sisi barat buana utara. Mereka menjadikannya purasaba dan menamainya Batavia.
Orang-orang Peranggi yang tamak begitu haus memperluas kekuasaan mereka demi meraih keuntungan sebesar-besarnya. Mereka tak segan membantai dan menjarah demi rempah-rempah, seperti yang mereka lakukan di Banda. Mereka berupaya memecah-belah dan menaklukkan kerajaan-kerajaan di Nusantara. Namun, tak semua rela takluk begitu saja.
Setengah abad setelah keruntuhan Majapahit, berdirilah sebuah kerajaan Islam di pusat Jawadwipa yang dipimpin oleh Sutawijaya. Dia bergelar Panembahan Senopati. Namun, kesultanan bernama Mataram itu baru mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Raden Mas Jatmika yang bergelar Sultan Agung—cucu Sutawijaya.
Takdir yang ganjil membawaku ke balairung Sultan Agung. Sang Sultan tampaknya menyukaiku. Terkadang bila sendirian setelah bersemadi di sepertiga terakhir malam, dia mengajakku berbicara. Dia menamaiku Macan Wesi.
Saat dia bersenandika mencurahkan isi hati dan kepalanya di depanku, tentu saja aku tak mampu menyahut. Namun, aku dapat merasakan getaran energinya yang kuat. Dia memang raja yang waskita sekaligus senapati yang jatmika.
Aku ada di sana tatkala dia bersemadi bermalam-malam mencari wangsit saat dua kali mencoba menyerang Batavia yang telah bertahun-tahun dikuasai oleh Murjangkung dan balatentara Peranggi. Sayangnya, upaya itu tak berjalan sesuai rencana.
Aku turut merasakan suasana duka yang menyelimuti semesta saat Sang Sultan mangkat karena sakit, dua windu setelah kegagalannya menaklukkan Peranggi. Pada saat kematiannya, Sultan Agung yang dihormati kawan dan lawan adalah penakluk terbesar di Nusantara sejak zaman Majapahit. Kala itu kekuasaan Mataram meliputi hampir seluruh Jawadwipa, termasuk wilayah tapal kuda di ujung timur. Pengaruh kekuasaannya juga sampai ke pesisir Swarnadwipa dan Borneo, bahkan hingga ujung selatan Sulawesi.
Tiga puluh tahun kemudian aku jatuh ke tangan gadis kulit putih bernama Suzanne. Dia mendapatkanku sebagai hadiah ulang tahun dari ayahnya, Tuan Moor—seorang pejabat tinggi Peranggi—yang membelinya dari pedagang barang langka di Amsterdam. Pedagang Yahudi itu menebusku dari seorang bekas lanun di Selat Malaka.
Tuan Moor yang tinggal di Batavia memiliki seorang budak muda yang dia dapatkan dari kawannya, Kapiten Van Baber, opsir Kompeni yang kaya raya dari hasil korupsi. Van Baber membeli budak itu saat masih kanak-kanak di sebuah pasar budak di Makassar. Budak itu ternyata membawa keberuntungan bagi Tuan Moor sehingga dinamai Untung. Sejak memelihara si budak jelata yang berasal dari Bali, pangkatnya lekas naik dan hartanya bertambah berlipat-lipat. Maka, sebagai ungkapan syukur, Untung diberi tugas ringan, yakni melayani keperluan Suzanne yang sebaya dengannya.
Namun, lama-kelamaan pergaulan Suzanne dan Untung kian intim. Untung yang tak kenal takut telah memikat Suzanne yang molek. Meski disekat oleh perbedaan kasta, cinta berkuasa. Secara diam-diam mereka menjalin asmara.
Tuan Moor yang telah menjabat sebagai pemuka Dewan Rahayat akhirnya mengetahui percintaan rahasia mereka. Dia sungguh murka. Untung yang lancang melanggar tabu dan mencoreng muka majikannya ditangkap dan disiksa, lalu dijebloskan ke dalam penjara.
Sementara itu, Suzanne yang tengah mengandung diasingkan ke satu pulau di lepas pantai Batavia. Dia kemudian melahirkan seorang bocah lelaki. Malangnya, setelah persalinan, Suzanne tutup usia. Bayinya yang tak diakui oleh kakeknya sendiri kemudian dipungut sebagai anak oleh keluarga Jacob van Reijn dan diberi nama Robert.
Bumi terus berputar. Aku terus menjelajahi ruang dan waktu. Satu ketika, lewat dua abad setelah kematian Suzanne, aku terpajang di sebuah kedai barang antik milik seorang tauke Tionghoa di kawasan Meester Cornelis, pinggiran Batavia. Nasib yang penuh liku membawaku berada di sana. Tak perlu kuceritakan secara rinci bagaimana aku bisa sampai terdampar di tempat itu. Bukankah nasib adalah kesunyian masing-masing?
Pada suatu hari yang cerah seorang wanita jelita datang ke kedai antik itu. Dia berkeliling mencari-cari barang yang menarik. Di depanku wanita berbusana dewangga itu terdiam lama. Dia mengelus dan menimangku, lalu menatap lekat mataku dengan sepasang nayanika cokelat muda.
Setelah ditebus dengan harga tinggi, aku dibawanya ke sebuah rumah besar di tepi kanal di Rijswijk. Belakangan kuketahui pemilik baruku itu Margaretha Zelle—istri seorang opsir. Margaretha senang menari, meliuk-liuk tanpa busana di depanku. Dia menirukan gerakan mudra dalam ritual Siwa Tantra dengan rambut hitamnya dibiarkan liar tergerai—menyerupai Betari Durga. Bagiku tariannya tidak terlalu memukau, tetapi ada aura magis yang menggetarkan dalam sinar mata dan gerak tubuhnya.
Kelak dunia lebih mengenalnya sebagai wanita candala berjuluk Mata Hari. Saat perang raya pertama meletus, dia mati di negeri jauh di depan regu algojo yang menghujaninya timah panas atas tuduhan menjadi telik sandi musuh. Padahal, kesalahannya hanyalah tidur dengan banyak lelaki penting dari beragam bangsa yang membuat dia berbahaya karena memegang kartu rahasia mereka. Hidup ini memang tidak selalu adil dan manusia bisa sangat kejam dan licik terhadap sesamanya.
Setelahnya, aku sempat tiga kali berganti pemilik. Setahun sesudah perang raya usai di buana utara, seorang maling durjana menggondolku dari rumah pemilikku yang terakhir—haji tua kedekut keturunan Hadramaut di Kwitang yang suka mengoleksi barang antik.
Pencuri aneh itu sebenarnya dermawan yang senang membagikan uang hasil penjualan barang jarahannya kepada orang-orang miskin. Namun, jahanamnya, dengan semena-mena dia menguburku di tanah kosong yang ditumbuhi badasa liar dekat gubuknya di luar Batavia. Mungkin dia berencana menyembunyikanku untuk sementara sebelum menemukan pembeli dengan harga tertinggi.
Sungguh sial, aku terkubur di sana hingga berpuluh, bahkan beratus tahun. Barangkali bedebah itu keburu mati atau bernasib apes ditangkap opas. Aku pun terbuang dan dilupakan. Namun, aku tidak pernah mati. Suatu saat aku akan bangkit dari kubur.
Anton Kurnia, menulis tiga kumpulan cerpen, antara lain Insomnia (2004)—telah diterjemahkan ke bahasa Inggris dan bahasa Arab. Kumpulan cerpen terbarunya yang akan segera terbit adalah Nostalgia: Kisah-kisah Ganjil tentang Maut dan Cinta. Novelnya, Majnun, terbit tahun ini.
Triyadi Guntur Wiratmo, lulusan Desain Komunikasi Visual ITB pada 1998 serta Pascasarjana Seni Rupa dan Desain pada 2005. Lalu, pada 2014 sekolah di The Reinwardt Academy, bagian dari Amsterdam University of the Arts. Selain mengajar di almamaternya, dia juga aktif menjadi ilustrator di media massa, penerbit buku, dan BUMN. Setidaknya pernah tiga kali pameran solo ataupun gabungan di Singapura dan Jepang.