
”Sokawati, perbuatlah seperti yang kau mau. Asal kau tahu saja, kita pasti dianugerahi anak lelaki seperti yang kau impi-impi.” Begawan Swandagni tahu, istrinya sering mempunyai kemauan yang tak ia mengerti, dan ia terpaksa menerimanya, karena ia sangat menyayanginya. Ia pun lalu tersenyum memandangi istrinya.
”Sokawati, ingatlah, kegembiraan kita belum selesai. Setelah selesai semua upacara penyucian kandunganmu ini, lupakah kau akan idaman yang paling kau inginkan, ketika kau mulai mengandung?” kata Begawan Swandagni.
”Tidak, Begawan. Tak mungkin aku melupakannya, karena demi idamanku itu aku mau tinggal dalam kesepianku sampai tujuh bulan usia kandunganku. Mana pisang emas itu, mengapa belum juga kau berbuat sesuatu dengannya dalam upacara penyucian ini? Seluruh seleraku kutahan selama ini, sekarang ingin aku segera memuaskannya. Bolehkah aku segera mengambilnya dan menyantap pisang emas itu, Begawan,” kata Dewi Sokawati, sambil matanya bersinar memandang bahagia pisang emas yang ada di pucuk sajian tumpeng di hadapannya.
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra:
”Sokawati, inilah puncak dari upacara penyucian kandunganmu. Lewat perjalanan panjang, disertai keraguan apakah aku akan mendapatkannya, tanpa aku tahu bagaimana kesudahannya, akhirnya kudapatkan pisang emas yang kauidamkan itu. Biar kuambilkan sekarang pisang emas itu bagimu, Sokawati.” Begawan Swandagni segera mengambil pisang emas itu dan memberikannya kepada istrinya.
Dewi Sokawati menerimanya dengan suka hati. Ketika ia mengelus-elus pisang yang indah itu, ia terkejut. Ia serasa melihat kembali kelebatan sepasang golek kencana yang dulu masuk ke dalam dirinya, saat ia bercinta bersama suaminya di malam indah pertapaan Jatisrana. Ia merasa nikmat malam itu kembali datang, dan membayangkan, betapa langit terang dengan bintang-bintang bunga kenanga, dan pohon-pohon bambu berdenyit, merintihkan suara nikmat seorang perempuan yang terbenam dalam asmara.
”Begawan, aku merasa bukan buah pisang yang kupegang. Di dalamnya serasa ada gelora yang kurasa, ketika kita berdua telanjang di malam indah Jatisrana,” kata Dewi Sokawati sambil tak berhenti mengelus-elus pisang emas itu. Karena kata-kata Dewi Sokawati, Begawan Swandagni pun terlarut dalam bayangan malam itu, saat dirinya terlepas dan membiarkan cinta memaksanya untuk tak lagi menahan berahi. Dipandangnya dengan nikmat jari-jari indah Dewi Sokawati yang terus mengelus-elus pisang emas idaman hatinya. Benar, Begawan Swandagni pun sungguh merasakan dalam buah pisang yang kini dalam genggaman Dewi Sokawati itu ada gelora diri dan tubuhnya yang tak mungkin ditahannya. Gelora itu hanya memberi rasa nikmat yang tak terkira. Begawan Swandagni hampir tak ingat diri lagi. Namun ia segera sadar, ia sedang melakukan upacara penyucian bagi diri istrinya. Tak pantaslah rasanya bila ia membiarkan dirinya tergoda oleh gelora hati dan gejolak raganya di tengah batinnya harus tenang melakukan upacara suci.
”Sokawati, jangan kau berlama-lama memainkan pisang emas itu dengan lentik jari-jarimu. Makanlah segera buah itu, dan sesudah kau santap isinya, jangan kau lupa untuk mengunyah juga kulitnya. Betapapun manisnya pisang emas itu, pastilah sepat kulitnya. Tapi tahanlah, kunyahlah terus, karena pesan Dewi Luhwati kepadaku, kau harus menghabiskan kedua-duanya, baik isi maupun kulitnya,” kata Begawan Swandagni.

”Begawan, pisang emas ini terlalu indah untuk kukupas. Biarlah kumakan bersama-sama, isi dan kulitnya. Keindahannya membuat aku merasa, tak mungkin sepat kulitnya, malah aku yakin, kulitnya akanlah semanis isinya. Kau telah membawa pulang apa yang kuinginkan. Dalam buah pisang emas itu kurasakan satu-satunya idamanku ketika aku mengandung bayiku. Seperti dikatakan Dewi Luhwati padamu, tak mungkin idamanku itu kupisahkan jadi isi dan kulitnya. Aku ingin memiliki keduanya, Begawan, karena keduanya adalah satu idamanku,” ujar Dewi Sokawati dengan penuh keyakinan dan kepastian.
”Sokawati, buatlah seperti kau mau. Apa pun caranya, toh memang kau harus memakan buah pisang itu seluruhnya, baik isi maupun kulitnya,” sahut Begawan Swandagni.
Dewi Sokawati memandang pisang emas itu. Hatinya bergetar. Ia tak tahu, mengapa ia merasa seakan harus menelan terang dan gelap sekaligus. Ia tak mau berlama-lama larut dalam perasaan yang menggetarkan itu. Maka dikunyahnya pisang itu, kulit dan isinya bersamasama. Terdengar di pepohonan, burung kutilang berkicau riang, namun pada saat yang sama burung walik bersuara seperti tangis yang mengiris-iris. Mengapa kegembiraan dan kesedihan datang bagai pasangan tak terpisahkan seperti isi dan kulit pisang? Dewi Sokawati mengunyah terus pisang, manis dan sepat rasanya bercampur menjadi satu. Ia tak memedulikan, apakah rasa manis itu karena isinya, dan rasa sepat karena kulitnya. Dan tiba-tiba ia merasa hatinya harus menerima, kelahiran itu tak ubahnya kematian. Tak bisa ia berpikir, kelahiran itu manis dan kematian itu sepat. Keduanya adalah satu, entah manis entah sepat, seperti pisang emas yang sedang dikunyahnya, buah bersama kulitnya.
Sokawati, kau habiskan sudah pisang emas itu. Semoga kau lega karena telah kaupuaskan idaman hatimu. Tak tega aku melihatmu harus mengunyah pula kulit pisang emas itu. Tiadakah kau merasakan sepatnya?
Dewi Sokawati tak bisa memahami itu semuanya, ia hanya bisa menerima dan merasakannya. Dan ia sungguh bahagia, ia merasa alam pun menyatu dalam kebahagiaannya. Di sana tiada lagi suara riang burung kutilang, atau tangis sedih burung walik. Dewi Sokawati memandang ke langit, sejenak ia melihat, di sana ada berkas terang dan gelap, berganti-ganti datangnya, lalu menghilang menjadi pelangi yang tak terkatakan lagi apa warnanya. Tanpa terasa, Dewi Sokawati telah mengunyah habis pisang emas itu. Ia tersadar, ia seakan baru saja mengunyah kehidupan dan kematian sekaligus.
”Sokawati, kau habiskan sudah pisang emas itu. Semoga kau lega karena telah kaupuaskan idaman hatimu. Tak tega aku melihatmu harus mengunyah pula kulit pisang emas itu. Tiadakah kau merasakan sepatnya?” tanya Begawan Swandagni yang lega melihat Sokawati telah menghabiskan pisang emas itu.
”Aku tak merasakan sepat atau manis, Begawan. Aku hanya ingat, anak dalam kandunganku menginginkan pisang emas itu seluruhnya, buah dan kulitnya.” Dewi Sokawati menjawab singkat. Tak mungkin rasanya ia menjelaskan segala pengalaman dan perasaannya ketika ia mengunyah pisang emas itu. Rasanya, ia harus menyimpan semuanya itu di dalam hatinya sendiri. Walau pada saat itu ia tahu, mungkin ia harus menderita karena segala pengalaman yang tak terkatakan itu.