Gerakan Coblos Tiga Calon, Bagaimana Aturan Hukumnya?
Gerakan coblos tiga paslon jadi wacana kontroversial di pilkada. Pendukungnya berharap ”blank vote” bisa jadi suara sah.
Oleh
YOHAN WAHYU
·4 menit baca
Boleh tidaknya mengajak pemilih untuk menggunakan hak pilihnya ataupun tidak menggunakan hak pilihnya untuk memilih terletak pada metode ajakannya. Potensi pidana muncul jika cara-caranya disertai pemaksaan atau intimidasi serta ada imbalan.
Isu terkait ini muncul seiring dengan makin maraknya gerakan dukungan untuk memilih kotak kosong, terutama di pilkada yang jumlah pasangan calonnya hanya satu alias tunggal. Wacana ini kemudian makin menguat dengan tuntutan sejumlah kelompok masyarakat agar kotak kosong juga diberlakukan di pilkada yang jumlah pasangan calonnya lebih dari satu alias tidak tunggal.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Tuntutan ini kemudian diwujudkan dengan pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi. Dalam rilisnya pada 5 September 2024, ketiga advokat yang mengajukan uji materi ini, yakni Heriyanto, Ramdansyah, dan Muhammad Raziv Barokah, memandang bahwa keputusan partai politik yang mengajukan pasangan calon tanpa mengakomodasi keinginan masyarakat cukup mengkhawatirkan.
Ketiganya menyebut soal peluang lahirnya fenomena none of the above (NOTA), yakni metode pemungutan suara yang membuka peluang bagi pemilih untuk menunjukkan sikap tidak setujunya terhadap calon yang ada. Di Indonesia, metode ini dikenal dengan mencoblos kotak kosong di kertas suara dan diberlakukan di pilkada yang hanya diikuti satu pasangan calon.
Uji materi ke MK ini mengharapkan NOTA atau dikenal juga sebagai blank vote ini bisa diterapkan di seluruh pilkada, tidak hanya di pilkada dengan pasangan calon tunggal. Pendek kata, ketiga advokat ini berharap MK bisa membuat suara blank vote ini sebagai suara sah.
Sejauh ini sikap politis warga yang menolak calon yang ada umumnya tidak hadir ke TPS sebagai bagian dari protes. Kalaupun pergi ke TPS, mereka tidak ingin memilih pasangan calon yang ada dalam surat suara. Misalnya dengan mencoblos semua pasangan calon yang mengakibatkan suara mereka akan hangus karena tidak sah.
Fenomena inilah yang terjadi di Jakarta saat ini dengan munculnya gerakan coblos tiga paslon sebagai wadah bagi ekspresi pemilih yang menolak pasangan calon yang ada.
Seperti diketahui, gerakan ini memang bentuk perlawanan dari langkah parpol yang tidak mengakomodasi aspirasi pemilih Jakarta. Setidaknya, jika mengacu survei Litbang Kompas, dua nama yang berada pada posisi teratas dalam tingkat keterpilihan sebagai gubernur Jakarta, yakni Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama, gagal masuk sebagai kontestan.
Jadi, gerakan coblos tiga paslon di Jakarta ini menjadi bagian penolakan terhadap tiga pasangan calon yang sudah mendaftar di KPUD Jakarta. Tentu gerakan ini pada akhirnya membuat surat suara yang nantinya mereka coblos menjadi tidak berharga karena hangus akibat masuk kategori suara tidak sah.
Munculnya fenomena gerakan coblos semua di Jakarta ini pada akhirnya membuka diskursus soal bagaimana regulasi yang mengatur soal ini.
Pasal 187A Ayat (1 dan 2) dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada menyebutkan bahwa upaya memengaruhi pemilih untuk memilih ataupun tidak memilih itu sah-sah saja selama tidak disertai pemaksaan, intimidasi, apalagi ada unsur pemberian materi atau uang.
Di Ayat (1) pasal di atas disebutkan, menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada warga negara Indonesia, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk memengaruhi pemilih agar tidak menggunakan hak pilih, menggunakan hak pilih dengan cara tertentu, sehingga suara menjadi tidak sah, memilih calon tertentu, atau tidak memilih calon tertentu, dikenai ancaman pidana penjara dan denda.
Ancaman pidana penjaranya tidak main-main, yakni di rentang 36 hingga 72 bulan atau 3-6 tahun. Demikian juga dengan ancaman dendanya, yakni di rentang Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar.
Ancaman ini tidak hanya berlaku terhadap si pemberi janji atau uang dan barang kepada pemilih untuk memilih ataupun tidak memilih. Aturan ini sekaligus berlaku ancaman pidana penjara dan denda yang sama kepada pemilih yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menerima pemberian atau janji tersebut.
Artinya, jika mengacu pada aturan di atas, selama ajakan memilih ataupun tidak memilih tidak disertai ancaman, intimidasi, janji akan diberikan uang dan barang atau adanya politik uang, mestinya ajakan memilih atau tidak memilih tersebut sah-sah saja dilakukan.
Riuhnya gerakan coblos tiga paslon di Jakarta bisa jadi berimbas juga ke daerah-daerah, terutama di pilkada calon tunggal yang memang menyediakan fasilitas NOTA, yang diwujudkan dengan adanya kotak kosong di surat suara.
Lihat saja, hal ini sudah terjadi di Kota Surabaya yang pilkadanya hanya diikuti satu pasangan calon yang merupakan pasangan petahana Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya. Di kota ini sudah muncul juga gerakan coblos kotak kosong yang pernah melakukan aksi pada 17 September 2024 lalu. Unjuk rasa ini merupakan bentuk protes dan perlawanan terhadap para pemimpin partai yang telah gagal menyerap aspirasi rakyat.
Di Jatim sendiri, selain Surabaya, empat daerah lainnya juga melahirkan pilkada melawan kotak kosong, yakni Pilkada Kabupaten Trenggalek, Ngawi, Gresik, dan Kota Pasuruan. Semua pasangan calon pilkada dengan satu pasangan calon ini adalah kepala daerah petahana.
Pada akhirnya, gerakan coblos tiga paslon yang ada di Jakarta dan berpotensi juga lahir di daerah-daerah lainnya ini adalah cerminan aspirasi masyarakat yang dijamin undang-undang. Selama hal tersebut dilakukan secara damai, tidak dilakukan dengan cara-cara pemaksaan, intimidasi, apalagi disertai politik uang.
Upaya gugatan uji materi ke MK agar ekspresi politik ini bisa diakomodasi dalam surat suara dan blank vote bisa masuk kategori suara sah seperti yang dipraktikkan di pilkada dengan pasangan calon tunggal tentu bisa mengubah konstelasi politik yang ada.
Namun, dengan diakuinya blank vote sebagai suara sah, hal itu setidaknya bisa membuka kesempatan bagi siapa saja yang kecewa dengan proses politik untuk tetap bisa diakui hak politiknya dalam suara sah di pilkada. (LITBANG KOMPAS)