Polemik Catra dan Upaya Merawat Ikatan Spiritual Borobudur
Inisiatif pemasangan catra penguat spiritualitas Borobudur dinilai bertentangan dengan prinsip konservasi cagar budaya.
Pemasangan catra atau struktur payung pada puncak Candi Borobudur menuai polemik. Inisiatif pemerintah untuk menguatkan nilai spiritualitas Candi Borobudur ini dinilai bertentangan dengan prinsip konservasi situs cagar budaya.
Candi Borobudur beberapa waktu belakangan menjadi perhatian nasional. Kali ini bukan tingkat kunjungan pariwisata yang melonjak atau pelaksanaan acara besar-besaran yang menjadi sebabnya, melainkan polemik rencana pemasangan catra pada puncak struktur candi.
Wacana memasang catra di stupa induk Candi Borobudur sejatinya sudah terdengar sejak lama, yakni pada medio 2008. Lantas, pada 2017 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyatakan bahwa catra dapat segera dipasang karena merupakan bagian inti yang tidak terpisahkan dari Candi Borobudur. Selain itu, ia menegaskan bahwa sudah ada hasil penelitian yang menyatakan bahwa catra yang ada adalah bagian otentik dari Candi Borobudur (Kompas.id, 31/12/2017).
Mengapa polemik?
Namun, para pakar arkeologi menolak rencana pemerintah itu. Berdasarkan kajian yang dilakukan, para ahli meyakini Candi Borobudur sejatinya tidak memiliki catra. Sebagaimana diungkapkan dosen Arkeologi Universitas Gadjah Mada, Aditya Revianur, kesimpulan ini diperoleh melalui perbandingan dengan relief dan struktur candi lainnya yang sezaman. Ia menambahkan, struktur Candi Borobudur yang tak bercatra itu menandai kekhasan arsitektur candi di Nusantara yang mempertimbangkan faktor kerawanan bencana (Kompas.id, 12/9/2024).
Keraguan atas otentisitas ini dipertegas melalui hasil penelitian Museum dan Cagar Budaya (MCB) Unit Warisan Budaya Dunia Borobudur. Mereka menemukan bahwa hanya 42 persen dari seluruh batu penyusun catra yang merupakan batu asli dari sekitar Candi Borobudur. Kajian teknis dan detail engineering design (DED) dari tim ahli Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pun menyimpulkan diperlukan studi lebih mendalam terkait otentisitas catra.
Baca juga: Pemasangan Ditunda, Catra di Candi Borobudur Tak Disusun Kembali
Sedianya, pemasangan catra akan diresmikan Presiden Joko Widodo pada 18 September 2024 nanti. Namun, keaslian catra yang masih diragukan akhirnya membuat pemerintah menunda pemasangan catra di stupa induk Candi Borobudur.
Karena Candi Borobudur merupakan situs cagar budaya nasional dan warisan budaya dunia, perubahan struktur Candi Borobudur dalam bentuk apa pun wajib mematuhi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Konvensi Warisan Dunia 1972. Salah satu aspek yang wajib dijaga oleh pemerintah dan masyarakat adalah keaslian wujud dan bentuk dari situs.
Apa itu catra?
Persoalan mengenai catra ini pada mulanya berawal dari motivasi pemerintah untuk memperkuat nilai spiritualitas Candi Borobudur. Hal ini pernah diungkapkan oleh Muhadjir bahwa sejumlah tokoh agama Buddha dari dalam dan luar negeri telah mendesak supaya catra segera dipasang di Candi Borobudur (Kompas.id, 31/12/2017).
Tujuan itu dinyatakan kembali oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas bahwa pemasangan catra pada Candi Borobudur dapat mendorong potensi wisata religi yang sangat besar (Kompas.id, 21/7/2023). Terlebih lagi, sejak 2023 pemerintah telah menggencarkan program pengembangan Candi Borobudur sebagai destinasi utama wisata religi agama Buddha di Indonesia dan dunia.
Baca juga: Pemasangan Catra Candi Borobudur Perlu Memperhatikan Aspek Religi
Catra memang merupakan simbol nilai spiritualitas agama Buddha yang sangat mendalam. Catra berasal dari bahasa Sanskerta yang secara harfiah berarti payung atau pelindung. Melansir dari situs Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha Kementerian Agama, catra merupakan simbol kesatuan unsur, kesucian tahapan spiritualitas, dan keberanian dalam agama Buddha. Karenanya, catra sebagai payung mulia akan selalu ditemukan dalam praktik harian persembahan mandala seorang praktisi Buddhis.
Dalam buku The Stupa: Buddhism in Symbolic Form (2010), Jay G Williams, profesor studi keagamaan dari Hamilton College, menjelaskan bahwa catra adalah elemen arsitektur berbentuk kerucut yang biasa terdapat pada puncak sebuah stupa. Menurut dia, penempatan catra di puncak struktur bangunan menjadi simbol atas puncak perjalanan spiritual manusia, yakni pencerahan.
Spiritualitas sejati Candi Borobudur
Meski jamak ditemui di berbagai arsitektur Buddha lainnya, banyak pihak memandang bahwa ketiadaan catra pada Candi Borobudur tidak serta-merta mengurangi nilai spiritualitasnya. Salah satu yang mengungkapkan hal ini adalah Sucoro (73), tokoh masyarakat sekaligus penggagas kegiatan kebudayaan Ruwat Rawat Borobudur.
”Spiritualitas Borobudur adalah energi yang dapat membangun jiwa manusia kepada kesempurnaan dan menghubungkannya dengan sesama, alam, dan Tuhannya,” ungkapnya pada Selasa (13/8/2024). Menurut dia, pancaran energi Candi Borobudur tecermin melalui keagungan arsitektur bangunan dan kitab kehidupan yang terlukis secara visual dan bersifat universal. Dengan demikian, semua orang dapat merasakan keterhubungan dengan Sang Pencipta dan sekitarnya terlepas dari latar belakang agama dan kepercayaannya.
Bagi Sucoro, persoalan yang lebih penting terkait nilai spiritualitas Candi Borobudur bukan pada pemasangan catra, melainkan menjaga dan merawat ikatan spiritual antara Candi Borobudur dan masyarakat sekitar serta setiap orang yang mengunjunginya. ”Ini terutama setelah puluhan tahun kebijakan terkait Candi Borobudur terlalu berorientasi pada pembangunan pariwisata yang mengejar keuntungan,” kata Sucoro.
Dampaknya, nilai-nilai dalam masyarakat tidak lagi berlandaskan spiritualitas dan keluhuran ajaran Candi Borobudur, tetapi mulai diukur melalui capaian ekonomi semata. Selain itu, perputaran ekonomi pariwisata yang sangat terpusat di dalam pagar candi pun menimbulkan rasa ketidakadilan di tengah masyarakat.
Keprihatinan inilah yang mendorongnya menggagas gerakan Ruwat Rawat Borobudur sejak tahun 2003. ”Melalui Ruwat Rawat Borobudur, kami terpanggil untuk melestarikan situs warisan budaya Borobudur dengan memperhatikan budaya spiritual,” tuturnya.
Baca juga: Timbulkan Kontroversi, Pemasangan Catra di Candi Borobudur Ditunda
Tidak heran, rangkaian kegiatan Ruwat Rawat Borobudur dipenuhi dengan kegiatan rakyat yang mengusung tradisi dan kebudayaan spiritual setempat. Sucoro percaya, tradisi keagamaan setempat merupakan prasasti sosial yang mewarisi berbagai nilai filsafat, pengetahuan, dan spiritualitas dari masyarakat pendiri Candi Borobudur. Ia berharap, dengan melestarikan tradisi dan budaya setempat, nilai-nilai spiritualitas Candi Borobudur dapat terselamatkan dan terus hidup di tengah masyarakat di tengah gerusan efek negatif pariwisata.
Maka dari itu, selain merayakannya dalam kegiatan Ruwat Rawat Borobudur, Sucoro beserta Komunitas Brayat Panangkaran juga rajin menginvetarisasi ragam tradisi spiritual lokal. Menurut data yang berhasil dihimpun, terdapat sedikitnya 274 kegiatan tradisi yang ada dan masih berkembang di sekitaran Kawasan Borobudur. Sejumlah di antaranya adalah Sedekah Kedong Winong, Saparan Candirejo, dan Jamasan Pitutur.
Selain itu, Sucoro sejak 2023 telah menambahkan agenda Kongres Borobudur yang berisikan pembahasan ratusan naskah opini dari berbagai pihak terkait pengelolaan nilai-nilai spiritualitas Candi Borobudur. Agenda ini melibatkan berbagai akademisi, budayawan, tokoh agama, juga bekerja sama dengan BRIN.
Ruwat Rawat Borobudur yang telah digelar selama 22 tahun menjadi bukti nyata bahwa upaya penguatan spiritualitas situs warisan budaya tidak dapat meninggalkan masyarakat yang berada di sekitarnya. Ketika upaya penambahan struktur bangunan menuai polemik, pelestarian tradisi spiritual lokal dapat menjadi cara paling efektif dalam menguatkan nilai-nilai spiritualitas Candi Borobudur.
Dengan demikian, pemerintah diharapkan semakin berkolaborasi dengan seluruh warga masyarakat sekitar situs warisan budaya. Pasalnya, hanya dengan melibatkan dan memberdayakan masyarakat sekitar secara penuh, pengembangan Candi Borobudur sebagai destinasi wisata religi tidak hanya akan mendatangkan keuntungan ekonomi, tetapi juga dapat memancarkan secara lebih terang cahaya kebajikan universal yang terkandung di dalamnya kepada seluruh umat manusia. (LITBANG KOMPAS)