Kompas Brief: Mengapa Alzheimer Perlu Mendapat Perhatian Serius?
Minimnya pemahaman soal penyakit alzheimer menjadi alarm bagi pemerintah untuk lebih serius melakukan upaya pencegahan.
Apa yang bisa Anda pelajari dari artikel ini:
1.Mengapa alzheimer perlu diwaspadai?
2.Bagaimana pengetahuan masyarakat Indonesia tentang penyakit Alzheimer?
3.Apa upaya pemerintah mengantisipasi meningkatnya penyakit Alzheimer?
Mengapa alzheimer perlu diwaspadai?
Penyakit alzheimer bagai fenomena gunung es. Akibat kurangnya pemahaman, terbuka kemungkinan bahwa kasus alzheimer yang sebenarnya terjadi lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan yang tercatat. Padahal, di dunia, termasuk Indonesia, kasusnya menunjukkan potensi peningkatan.
Hari Alzheimer Sedunia yang diperingati setiap 21 September menjadi pengingat bahwa penyakit alzheimer tidak dapat dipandang sebelah mata. Digelar sejak tahun 1994, hari peringatan itu bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan menantang stigma seputar penyakit alzheimer dan demensia lainnya.
Peringatan Hari Alzheimer Sedunia yang pada 2024 ini mengangkat tema ”Saatnya Bertindak terhadap Demensia, Saatnya Bertindak terhadap Alzheimer” merupakan kesempatan penting untuk meningkatkan kesadaran, mengatasi kesalahpahaman, dan meningkatkan pemahaman tentang penyakit ini.
Dari beragam macam penyakit yang ada, alzheimer tampaknya dapat dikatakan sebagai salah satu yang paling menyengsarakan umat manusia. Pasalnya, penyakit ini adalah penyebab utama sindrom demensia, yakni penurunan fungsi kognitif secara keseluruhan. Alzheimer Indonesia (Alzi) menyebutkan, penyakit alzheimer menyumbang 60-70 persen dari keseluruhan kasus demensia di dunia.
Penyakit yang pertama kali ditemukan oleh Alois Alzheimer pada 1906 ini dianggap berbahaya karena termasuk dalam kategori penyakit neurodegeneratif, yakni perusakan sel-sel otak secara progresif. Alhasil, seorang penderita alzheimer secara perlahan akan kehilangan kemampuan mengingat, berpikir rasional, disorientasi, bahkan hingga kesulitan berkomunikasi.
Pada fase awal, individu akan kehilangan ingatan yang bersifat ringan, tetapi pada fase akhir, individu akan kesulitan dalam merespons dialog dan menanggapi berbagai fenomena sekitarnya.
Alzheimer akan merusak sel-sel saraf secara perlahan sehingga daya kerjanya menjadi menurun. Dalam jangka panjang, kondisi ini akan mengganggu aktivitas sehari-sehari dari penyintas karena sifatnya yang progresif.
Selain merusak daya ingat dan kemampuan kognitif, penyakit alzheimer dan jenis demensia lainnya juga salah satu penyakit paling mematikan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, alzheimer dan penyakit demensia lain merupakan penyebab kematian paling tinggi ke-7 secara global pada 2019, mengalahkan diabetes melitus, penyakit ginjal, diare, sirosis hati, tuberkulosis, dan HIV/AIDS.
Ditaksir terdapat 1,63 juta kematian terjadi pada tahun tersebut akibat alzheimer dan demensia lainnya. Jumlah ini meningkat 181 persen dibandingkan pada 2000, tertinggi dari seluruh penyebab kematian yang lain.
Alzheimer dapat timbul dari kombinasi berbagai faktor dengan kadar yang berbeda-beda tiap orangnya. Salah satu faktor yang paling banyak dijumpai adalah usia tua.
Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menjelaskan, sekitar 90 persen penderita alzheimer berusia 65 tahun ke atas. Prevalensi alzheimer di kalangan kelompok lansia lebih dari 85 tahun, bahkan bisa mencapai satu pertiga dari total populasi.
Besarnya prevalensi alzheimer pada kalangan lansia inilah yang membuat penyakit ini dirasa semakin mengkhawatirkan. Apalagi, dunia tengah menghadapi penuaan populasi penduduk.
Sayangnya, sebagaimana dijelaskan National Institute on Aging (NIH), hingga saat ini belum diketahui secara pasti mengapa penyakit alzheimer mayoritas terjadi pada usia tua. Sebagian pakar meyakini hal ini memiliki kaitan dengan melambatnya mekanisme regenerasi sel tubuh secara alamiah seiring bertambahnya usia.
Di samping usia, faktor-faktor lain yang dapat meningkatkan risiko alzhemier adalah genetik, down syndrom, penyakit kardiovaskular, diabetes dan obesitas, hingga cedera pada otak. Di samping itu, gaya hidup tidak sehat juga ditengarai meningkatkan risiko alzheimer, antara lain merokok, kurang istirahat, kurang aktivitas fisik dan sosial, serta konsumsi alkohol berlebihan.
WHO menjelaskan dalam laporannya bahwa prevalensi sindrom demensia global pada umur 65-69 tahun berkisar di angka 3,9 persen. Angka ini terus meningkat sekitar 5 persen setiap lima tahun dan dapat mencapai 35,9 persen untuk usia di atas 90 tahun.
WHO memproyeksikan terdapat sekitar 55,2 juta orang penderita demensia berbagai tipe di seluruh dunia pada 2019. Seiring bertambahnya jumlah penduduk dan menuanya populasi dunia, jumlah penderita alzheimer dan tipe demensia lainnya dapat menyentuh angka 139 juta orang pada 2050.
Regio Asia Selatan dan Tenggara, termasuk Indonesia, menjadi wilayah dengan jumlah tertinggi, yakni sekitar 20,1 juta penderita. Alzi sendiri memperkirakan terdapat 1,2 juta penderita sindrom demensia di Indonesia pada 2016 dan dapat meningkat menjadi 4 juta orang pada 2050.
Baca juga: Bahaya Alzheimer Merenggut Daya Pikir Manusia
Bagaimana pengetahuan masyarakat Indonesia tentang penyakit alzheimer?
Sayangnya, ancaman meningkatnya penderita dan risiko alzheimer tak diimbangi dengan semakin ”meleknya” pengetahuan masyarakat. Pengetahuan masyarakat Indonesia pada penyakit alzheimer ini masih minim.
Hal ini tecermin dari hasil Jajak Pendapat Kompas yang diselenggarakan pada 19-21 Agustus 2024. Dari hasil jajak pendapat terpotret sebanyak 71,7 persen responden tidak mengetahui apa itu penyakit alzheimer dan hanya 28,3 persen yang mengaku mengetahuinya.
Menjadi problematis ketika kasusnya berpotensi meningkat, tetapi kesadaran masyarakat terhadap penyakit ini sangat minim. Tingginya proporsi responden yang tidak mengetahui alzheimer dipengaruhi oleh faktor keterpaparan edukasi.
Mayoritas responden (89,8 persen) merasa belum mendapatkan edukasi yang cukup terkait alzheimer. Sebaliknya, hanya sebagian kecil responden (9,5 persen) yang merasa telah mendapatkan edukasi memadai terkait penyakit ini.
Menjadi menarik ketika data jajak pendapat tentang pengetahuan responden mengenai alzheimer ditelisik lebih dalam. Mayoritas responden yang tidak mengetahui penyakit alzheimer didominasi oleh kelompok responden berlatar belakang berpendidikan dasar dan menengah serta tinggal di perdesaan.
Pada kelompok responden dengan tingkat pendidikan dasar, hanya 7,6 persen saja yang mengetahui apa itu alzheimer. Sementara itu, 92,4 persen responden kelompok ini tidak tahu penyakit alzheimer. Hal yang mirip juga terjadi pada kelompok responden dengan tingkat pendidikan menengah. Hanya satu dari 10 responden kelompok ini yang tahu apa itu alzheimer.
Tidak hanya faktor pendidikan, tempat tinggal responden juga memengaruhi pengetahuannya tentang alzheimer. Bagi responden yang tinggal di wilayah perkotaan, terdapat 38,6 persen yang terpapar edukasi tentang alzheimer. Sementara itu, responden yang tinggal di perdesaan hanya sekitar 17,5 persen saja yang mengetahui penyakit ini.
Dengan kata lain, alzheimer belum banyak dibicarakan di antara kalangan masyarakat berpendidikan dasar dan menengah serta mereka yang tinggal di perdesaan.
Sebaliknya, istilah alzheimer sedikit lebih akrab bagi mereka yang tinggal di perkotaan terutama yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi. Edukasi terkait alzhemier masih belum berjalan maksimal sehingga masyarakat belum memahami seluk-beluk penyakit ini.
Potret pengetahuan masyarakat pada penyakit alzheimer tersebut tentu menjadi ”pekerjaan rumah” pemerintah untuk memberikan perhatian yang lebih serius untuk mengatasinya. Apalagi, tak kurang dari 82,3 persen responden menunjukkan kekhawatiran akan mengalami pengurangan ingatan di masa tua.
Bahkan, hampir sepertiga dari jumlah tersebut merasa sangat khawatir mengalami penurunan daya ingat. Sebanyak 72,4 persen responden juga menilai mereka yang menderita alzheimer, atau setidaknya yang memiliki gejala mengarah kepada penyakit ini, belum mendapatkan penanganan medis yang tepat.
Baca juga: Soal Alzheimer, Publik Minim Edukasi
Apa upaya pemerintah mengantisipasi meningkatnya penyakit alzheimer?
Jika mengacu proyeksi kasus alzheimer yang akan terus meningkat di Indonesia serta tingginya kekhawatiran masyarakat, kondisi ini tentu memerlukan intervensi khusus dari pemerintah.
Meski sudah tersedia sejumlah terapi obat, pencegahan tetap merupakan langkah terbaik untuk menghadapi penyakit alzheimer. Salah satu kampanye pencegahan alzheimer yang paling gencar dilakukan adalah meningkatkan kesadaran bahwa mudah lupa, kesulitan berkomunikasi, hingga disorientasi bukanlah sesuatu yang alamiah dialami pada usia tua.
Masyarakat diharapkan segera berkonsultasi kepada dokter bila merasakan 10 gejala umum alzheimer pada diri sendiri atau orang di sekitar.
Lain dari itu, pola hidup sehat adalah ujung tombak mencegah terkena alzheimer dan penyebab sindrom demensia lain. WHO menyatakan, sejumlah tindakan yang dapat mencegah dan meringankan gejala sindrom demensia adalah aktif secara fisik dan sosial, mengonsumsi makanan sehat, tidak merokok dan minum alkohol, melakukan kebiasaan pencatatan/journaling, melatih kerja otak, dan lain sebagainya.
Penyakit alzheimer memang tidak serta-merta membunuh seseorang. Namun, ia merenggut hal paling dasar bagi kehidupan manusia, yakni ingatan, dan secara perlahan menurunkan kualitas kehidupan secara menyeluruh. Upaya penanganan medis dari tenaga kesehatan tentu perlu dibarengi dengan peningkatan kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan penyakit ini.
Di tengah tren menuanya populasi penduduk, pemerintah juga semakin menggencarkan program penanggulangan alzheimer dan penyakit demensia lainnya. Di Indonesia, alzheimer dan demensia mulai mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah sejak 2016. Hal ini ditandai oleh masuknya kedua penyakit tersebut dalam Rencana Aksi Nasional (RAN).
Selanjutnya, pada 2021, Kementerian Sosial (Kemensos) RI telah melakukan rencana kolaborasi dengan Alzheimer Indonesia untuk mengakomodasi kebutuhan kelompok lansia, termasuk risiko alzheimer dan demensia.
Melalui pertemuan daring antara Kemensos dengan Alzi pada 2021, pemerintah merencanakan tujuh rencana aksi yang akan dilakukan, yakni prioritas kesehatan publik, kesadaran dan kewaspadaan, pengurangan risiko, diagnosis pengobatan dan perawatan, dukungan pengasuhan, sistem informasi, serta riset dan inovasi.
Selanjutnya, pemerintah pun akan melakukan optimalisasi terhadap program Asistensi Rehabilitasi Sosial (Atensi) yang prioritasnya untuk klaster lansia.
Kemensos akan menyediakan prosedur standar operasi (SOP) untuk kaum lansia dalam pengecekan kesehatan. Hal ini akan dikoordinasikan melalui balai rehabilitasi sosial yang ada di wilayah kerja Kemensos.
Terakhir, Kemensos pun akan berkoordinasi dengan DPR RI untuk melakukan revisi terhadap UU Nomor 13 Tahun 1998 untuk melakukan penyesuaian berbagai kebutuhan atas jaminan sosial ke depan.
Langkah-langkah ini dilakukan untuk mendorong percepatan dalam implementasi program sosial pemerintah, termasuk penanganan alzheimer dan demensia.
Dengan demikian, diharapkan masyarakat dapat menyongsong hari tua yang cerah, terlepas dari bayang-bayang kelam penyakit alzheimer. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Mengapa Alzheimer Dominan Terjadi di Negara Berkembang?