Bagaimana Dampak Fenomena Generasi ”Sandwich” di Kalangan Generasi Z?
Sebagian kalangan generasi Z harus menanggung beban ekonomi dari generasi sebelumnya sekaligus membiayai hidupnya.
Sebagian kalangan generasi Z harus menanggung beban ekonomi dari generasi sebelumnya sekaligus membiayai hidupnya. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan perubahan demografis, tetapi juga memperlihatkan dinamika baru dalam struktur keluarga modern.
Fenomena generasi sandwich masih terus membayangi generasi produktif di Indonesia, termasuk generasi Z, hingga kini. Sebab, penduduk usia produktif harus menanggung beban ganda. Di satu sisi, mereka mesti memikul kebutuhan dirinya atau keluarganya, di sisi lain harus ikut menopang kehidupan generasi di atasnya, terutama orangtua atau keluarga lainnya.
Bisa dibayangkan, beban itu tersemat pada seorang pemuda berusia 25 tahun yang baru saja meraih ijazah dan mendapatkan pekerjaan pertamanya. Alih-alih merayakan kemandirian finansialnya, ia justru harus mengatur pengeluarannya secara ketat.
Sebagian penghasilannya harus disisihkan untuk menopang ekonomi keluarganya, baik orangtua, adik, atau sanak-saudara. Sementara di sisi lain, ia juga harus menabung untuk masa depannya sendiri. Kondisi tersebut membuat mereka tak memiliki kemandirian finansial. Yang ada justru kemungkinan besar pasak daripada tiang.
Istilah generasi sandwich sendiri pertama kali muncul tahun 1980-an oleh Dorothy A Miller, seorang profesor di Universitas Kentucky, Amerika Serikat. Fenomena ini merupakan istilah untuk mereka yang dinilai memiliki beban keuangan ataupun mental terjepit antara tanggung jawab kepada keluarga inti dan juga keluarga besar.
Baca juga: Dilema Moral Pemuda Generasi ”Sandwich”
Seperti apa generasi sandwich di Indonesia?
Di Indonesia, konsep generasi sandwich itu sebenarnya sudah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat. Bantuan ekonomi untuk orangtua, saudara kandung, dan keluarga besar dianggap sebagai suatu hal yang lumrah.
Bahkan, sebagian kalangan masyarakat menganggap bantuan ekonomi untuk keluarga merupakan sebuah kewajiban. Berbakti kepada orangtua karena sudah membesarkan dan merawatnya mendorong mereka untuk memberikan bantuan ekonomi kepada orangtua dan keluarga besarnya.
Di Tanah Air, jumlah generasi sandwich terhitung cukup besar. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020 menunjukkan 71 juta penduduk Indonesia termasuk dalam kategori generasi sandwich. Bahkan, 8,4 juta penduduk di antaranya harus menanggung biaya hidup anggota keluarga di luar keluarga inti mereka.
BPS memproyeksikan, pada 2025 akan ada 67,90 juta orang yang masuk dalam kelompok usia produktif (15-64 tahun). Angka yang setara dengan 23,83 persen dari total penduduk itu nantinya akan bertanggung jawab dan menanggung kelompok usia nonproduktif (0-14 tahun dan di atas 65 tahun).
Potret generasi sandwich Indonesia juga tertangkap dalam jajak pendapat Litbang Kompas pada Agustus 2022. Hasil jajak pendapat menunjukkan, 67 persen responden mengaku menanggung beban sebagai generasi sandwich. Jika diproporsikan dengan populasi usia produktif di Indonesia yang berjumlah 206 juta jiwa, diperkirakan ada 56 juta jiwa yang masuk kategori generasi sandwich.
Baca juga: Generasi ”Sandwich” Membayangi Semua Tingkatan Ekonomi
Dari sisi usia, generasi sandwich Indonesia tersebar di semua generasi, mulai generasi Z, Y, X, hingga baby boomers. Namun, fakta menunjukkan, proporsi terbesar berada di kelompok generasi Y (24-39 tahun), yakni 43,6 persen, diikuti generasi X (40-55 tahun) sebesar 32,6 persen.
Generasi sandwich juga ditemukan sebesar 16,3 persen di kalangan generasi Z (kurang dari 24 tahun), yang terkategori sebagai pekerja muda. Dengan jumlah generasi Z sebanyak 71,5 juta jiwa saat ini, maka mereka yang masuk kategori generasi sandwich diperkirakan mencapai 11,65 juta orang.
Bagaimana dampak menjadi generasi sandwich bagi generasi Z?
Situasi generasi sandwich itu dapat diibaratkan seperti menarik selimut yang terlalu pendek. Jika ditarik ke atas untuk menghangatkan bahu, kaki akan kedinginan. Jika ditarik ke bawah, bahu yang akan terpapar dingin. Mereka terus-menerus dihadapkan pada pilihan sulit: memenuhi kebutuhan keluarga atau mewujudkan impiannya di masa depan.
Kondisi tersebut terutama dirasakan oleh mereka yang berpendapatan rendah. Mereka dipaksa keadaan untuk bekerja keras tanpa pernah mencapai tingkat kesejahteraan yang memadai. Penghasilan mereka habis untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga besarnya.
Mereka tidak punya ruang untuk menabung atau berinvestasi. Bahkan, sebagian dari mereka tak punya dana rekreasi untuk lari sekejap dari kepenatan hidup. Tekanan hidup yang mereka hadapi kini makin kuat dengan naiknya berbagai kebutuhan pokok maupun maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang mengintai.
Sebagai gambaran, menurut data dari BPS, pendapatan bulanan dari sektor formal untuk generasi Z berada di kisaran Rp 1,7 juta hingga Rp 2,7 juta. Dengan pendapatan itu, mereka harus berakrobat mengatur uang agar bisa menopang hidupnya sendiri dan menyisihkan untuk kebutuhan orangtua, adik, anak, atau keponakan. Tak heran jika sebagian dari mereka terpaksa mengorbankan urusan pribadi.
Namun pada saat yang sama, mereka menyaksikan pameran gaya hidup di media sosial. Mereka juga pasti punya mimpi untuk mencicipi atau mengikuti sebagian gaya hidup seperti itu. Sayangnya, antara mimpi dan realitas hidup jaraknya amat jauh.
Akibatnya, banyak di antara mereka yang memanfaatkan utang untuk menopang biaya hidup mereka. Salah satu cara yang paling mudah adalah mengandalkan pinjaman daring (online). Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Maret 2024 ada 9,18 juta rekening pinjaman daring dari kelompok usia 19-34 tahun dengan nilai pinjaman mencapai Rp 28,80 triliun. Nilai pinjaman tersebut naik nyaris Rp 2 triliun hanya dalam setahun. Tingginya beban dan juga tuntutan kehidupan membuat sebagian generasi muda berutang demi memecahkan persoalan keterbatasan finansialnya.
Bahkan, ada banyak anak di bawah 19 tahun juga ikut terjerat pinjaman daring. Berdasarkan statistik OJK, sampai Maret 2024, rekening pinjaman daring di financial technology di kelompok usia ini sudah mencapai lebih dari 90.000 akun. Naik 28,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Dari data di atas terlihat jumlah rekening pinjaman daring orang berusia di bawah 19 tahun sempat mencapai puncak tertinggi pada September 2023, sekitar 178.000 rekening. Hal ini juga sejalan dengan total pinjaman yang mencetak nilai terbesar Rp 283,89 miliar. Pada periode Maret 2024, nilai pinjaman untuk usia di bawah 19 tahun ini mencapai Rp 211,43 miliar, dalam setahun nilainya sudah naik nyaris 60 persen dari Rp 132,25 miliar.
Besarnya tekanan keuangan dan juga melakoni peran sebagai generasi sandwich membuat mereka juga rentan mengalami berbagai masalah kesehatan mental, seperti stres, kecemasan, hingga depresi.
Kondisi tersebut terekam dalam hasil survei secara daring terhadap 472 responden gen Z di seluruh Indonesia pada 1 Agustus-22 Oktober 2023 yang dilakukan oleh DataIndonesia.id. Hasilnya, hampir separuh atau 46,3 persen generasi Z di Indonesia menjadi generasi sandwich. Mereka terimpit oleh beban keuangan lantaran punya tanggung jawab menghidupi diri sendiri, orangtua, dan anaknya dalam waktu bersamaan.
Baca juga: Generasi ”Sandwich” Perlu Dukungan
Akibat beban tersebut, 73,38 persen generasi Z yang menjadi generasi sandwich merasa bersalah jika tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Sebanyak 66,19 persen gen Z juga merasa khawatir terhadap masa depan diri sendiri.
Hasil survei juga menemukan sebanyak 51,8 persen gen Z yang menjadi generasi sandwich mengaku sulit memiliki tabungan pribadi atau keluarga inti. Lalu, 40,29 persen dari mereka mengalami stres dan burnout.
Kemudian, 21,58 persen gen Z mengalami keterbatasan dalam kesempatan kerja atau pengembangan karier karena menjadi generasi sandwich. Sebanyak 13,67 persen gen Z yang menjadi generasi sandwich pun merasa lelah dan mudah sakit.
Ada pula gen Z yang tak memiliki banyak waktu luang karena menjadi generasi sandwich. Persentasenya sebesar 10,07 persen dari 139 responden berusia 11-26 tahun yang menjadi generasi sandwich.
Bagaimana cara memutus rantai generasi sandwich?
Dengan fakta yang ada, menjadi generasi sandwich adalah bom waktu bagi mereka yang baru memasuki usia angkatan kerja. Oleh karena itu, perencanaan keuangan menjadi lebih terasa penting. Tujuannya jelas untuk memutus rantai generasi sandwich.
Di sisi lain, memutus rantai generasi sandwich bukanlah hal mudah yang dapat dilakukan begitu saja. Namun, di balik beban berat menjadi generasi sandwich, generasi Z dan juga generasi lainnya masih memiliki kesempatan untuk belajar dan berkembang untuk meringankan masalah ini.
Baca juga: Dilema Moral Pemuda Generasi ”Sandwich”
Secara finansial, ada beberapa cara yang dapat dilakukan generasi Z untuk mewujudkan impian tersebut. Dikutip dari OJK dan sumber lainnya, salah satunya dengan memiliki literasi keuangan yang baik agar bisa mengatur keuangannya.
Literasi keuangan, menurut OJK, yaitu ilmu, keahlian, dan keyakinan yang memengaruhi tingkah laku manusia sebagai bentuk peningkatan kualitas pengelolaan keuangan dan pengambilan keputusan sehingga tercapainya kesejahteraan hidup.
Kalangan gen Z perlu mendiskusikan rencana keuangan dan masa depan dengan keluarga mereka secara terbuka. Langkah ini dapat membantu mencegah kesalahpahaman dan memastikan bahwa setiap pihak memahami ekspektasi satu sama lain.
Generasi Z juga perlu secara teratur merencanakan keuangan mereka sejak dini dengan memiliki tabungan, membuat anggaran, dan berinvestasi untuk mencapai tujuan keuangan jangka panjang mereka. Tak kalah penting, mengurangi gaya hidup konsumtif dengan menentukan prioritas dan membedakan antara kebutuhan dan keinginan.
Dengan upaya pengelolaan uang yang tepat, diharapkan generasi sandwich bisa mencapai tujuan keuangan jangka panjang mereka yang lebih baik. (LITBANG KOMPAS)