September Hitam yang Makin Legam
Sejumlah tragedi yang terjadi selama September dalam catatan sejarah bangsa ini tidak kunjung menemukan titik terang.
September 2024 ini tepat 20 tahun kasus pembunuhan Munir Said Thalib dan sampai hari ini masih menyisakan tanda tanya siapa auktor intelektualis di balik pembunuhan tersebut.
Tragedi pembunuhan Munir terpatri dalam catatan hitam bersama deretan peristiwa kelam lainnya yang tidak kunjung dituntaskan negara, bahkan justru bertambah. Penuntasan kasus dan pemulihan hak para korban kian berjalan dalam lorong gelap.
”Dari 20 tahun kasus pembunuhan Abah saya, tuntutan saya selalu sama, dari umur saya 2 tahun sampai sekarang umur 22 tahun,” ucap Diva Suukyi Larasati, putri Munir Said. Pernyataan itu Diva sampaikan dalam sebuah acara yang diselenggarakan sejumlah LSM beberapa hari lalu. Diva tidak sempat mengenal sosok ayahnya karena masih berusia 2 tahun ketika Munir meninggal dunia.
Bersama Diva, barisan aktivis yang bernaung di lembaganya masing-masing tidak kunjung lelah mengingatkan janji pemerintah untuk menuntaskan kasus pembunuhan Munir.
”September Hitam” menjadi tajuk tahunan yang tiap tahun disuarakan, berharap pemerintah dapat menuntaskan satu per satu. Namun, bukannya tuntas, catatan kelam justru makin bertambah di bulan yang sama.
Sayangnya, peringatan ”September Hitam” tahun ini tertutupi oleh gemuruh isu di media sosial. Fokus publik lebih terarah pada isu dugaan gratifikasi pesawat jet, isu dugaan akun media sosial lawas yang diduga milik Gibran Rakabuming Raka, kontestasi pilkada Jakarta, hingga calon menteri di kabinet pemerintahan baru.
Penuntasan kasus pembunuhan Munir sebenarnya masih berjalan dalam tiga tahun belakangan ini meskipun terbilang lambat. Pada 20 September 2022, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk tim ad hoc untuk melanjutkan penyelidikan. Selanjutnya, sejak Februari 2024, tim penyelidik tersebut telah melakukan pemanggilan dan pemeriksaan pro justitia terhadap sejumlah saksi.
Peristiwa September Hitam
Kejadian penting pertama ialah peristiwa 30 September 1965 atau yang dikenal sebagai G30S. Berawal dari terbunuhnya sejumlah perwira tinggi TNI dan anggota polisi yang kemudian disebut Pahlawan Revolusi. Tragedi ini menyeret masyarakat yang dituduh sebagai anggota ataupun terlibat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Akibatnya, lebih dari 2 juta orang mengalami penangkapan sewenang-wenang, penahanan tanpa proses hukum, penyiksaan, pemerkosaan, kekerasan seksual, kerja paksa, pembunuhan, penghilangan paksa, wajib lapor, dan lain sebagainya.
Dari hasil penyelidikan Komnas HAM, sekitar 32.774 orang diketahui telah hilang dan beberapa tempat diketahui menjadi lokasi pembantaian para korban. Penangkapan-penangkapan ini sebagian berakhir ke pembuangan di Pulau Buru.
Tragedi ’65 sudah memasuki tahun yang ke-59, tetapi pemerintah belum juga mampu memenuhi tanggung jawabnya untuk memberikan keadilan terhadap para korban.
Selain kemandekan pada proses hukumnya, hak-hak pemulihan yang seharusnya diterima korban juga tidak kunjung diupayakan secara maksimal. Kondisi ini menjadikan korban harus menderita selama masa hidupnya mengingat sudah banyak korban yang meninggal dunia karena sudah lanjut usia.
Kejadian kedua, yaitu Peristiwa Tanjung Priok yang terjadi pada Rabu, 12 September 1984. Peristiwa ini bermula dari permintaan seorang aparat kepada warga untuk mencopot baliho dan spanduk yang berisi kritik kepada pemerintah. Setelah bersitegang dan terjadi kekerasan antarkedua belah pihak, akhirnya empat warga ditangkap.
Demonstrasi dari warga lain pun muncul, menuntut pembebasan empat warga yang ditangkap itu. Akhirnya, serentetan timah panas menghujani peserta aksi agar membubarkan diri. Namun, 24 warga tewas akibat aksi penembakan oleh aparat dan 55 warga lainnya luka-luka.
Ketiga, Peristiwa Semanggi II yang terjadi pada 24 September 1999 ketika mahasiswa berdemonstrasi dan dibubarkan paksa oleh aparat. Aksi ini mengakibatkan tewasnya mahasiswa Universitas Indonesia bernama, Yap Yun Hap, di bilangan Semanggi, Jakarta. Tim Relawan Kemanusiaan mencatat 11 orang meninggal dan luka-luka 217 orang dalam peristiwa tersebut.
Keempat, terbunuhnya aktivis Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Munir Said Thalib. Peristiwa ini masih menyisakan tanda tanya besar penegakan HAM di Indonesia. Munir tewas dalam penerbangan Garuda GA-974 menuju Belanda, 7 September 2004, dan berdasarkan hasil autopsi, penyebabnya adalah racun arsenik.
Peristiwa terbunuhnya Munir sempat menghadirkan proses hukum, tetapi Kontras menilai pemerintah hanya menghukum pelaku lapangan tanpa menyentuh auktor intelektualis di belakangnya. Tim Pencari Fakta (TPF) bentukan mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah selesai bekerja, tetapi hingga saat ini dokumen TPF tersebut tidak kunjung dibuka ke publik.
Kelima, terbunuhnya Salim Kancil pada 26 September 1965 akibat dikeroyok sekitar 40 orang dengan menggunakan senjata tajam, batu, dan kayu.
Dalang pelaku pengeroyokan ini diduga justru melibatkan Kepala Desa Selok Awar-Awar, Kabupaten Lumajang, Haryono. Salim Kancil diduga dibunuh terkait aktivitasnya dengan kelompoknya, Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Selok Awar-Awar, yang memprotes penambangan pasir di desanya.
Para pelaku penganiayaan Salim dan kawannya, Tosan, telah ditangkap dan dua dalang pelaku pembunuhan dan penganiayaan hanya mendapat vonis kurungan 20 tahun penjara. Vonis tersebut tentu tidak sepadan dibandingkan dengan pembunuhan berencana yang terjadi. Para pemilik tambang-tambang pasir pun tidak pernah terungkap dalam pengadilan kasus pembunuhan Salim Kancil.
Keenam, di 24 September 2019 terjadi aksi demonstrasi besar di sejumlah wilayah akibat pemerintah mengajukan pembahasan Omnibus Law dan beberapa RUU tanpa melibatkan partisipasi publik.
Tindakan represi dari aparat berujung pada kekerasan kepada para peserta aksi. Dua mahasiswa di Sulawesi Tenggara, seorang warga, dan dua pelajar di Jakarta menjadi korban tewas dalam aksi unjuk rasa tersebut.
Ketujuh, pada 19 September 2020, Pendeta Yeremia yang berstatus pemimpin Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) di Hitapida, Papua, tewas terbunuh dengan luka tusuk dan tembakan.
Terakhir, peristiwa kekerasan atas nama pembangunan terhadap warga di Pulau Rempang yang menolak pengosongan lahan untuk Proyek Strategis Nasional Rempang Eco City pada 7 September 2023.
Belum tuntas
Catatan kelam peristiwa ”September Hitam” sebenarnya berada di lembar yang sama dengan tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Mei 1998.
Setidaknya ada lima peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi menjelang reformasi, yaitu Peristiwa Trisakti, Tragedi Semanggi I, Tragedi Semanggi II, penghilangan orang paksa 1997-1998, serta kerusuhan Mei 1998, termasuk pemerkosaan terhadap warga etnis Tionghoa.
Aksi Kamisan yang sudah berjalan selama lebih dari 17 tahun saat ini terus menjadi pengingat belum tuntasnya pelanggaran HAM oleh negara. Tidak hanya korban masa lalu saja yang bergerak, tetapi Aksi Kamisan juga mendapatkan simpati dari kalangan muda yang tidak mengalami langsung tragedi tersebut.
Pada 11 Januari 2023, Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Negara mengakui dan menyesalkan pelanggaran HAM berat di 12 peristiwa masa lalu setelah menerima rekomendasi Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) di Istana Merdeka, Jakarta. Setelah pengakuan ini, terbitlah Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023.
Inpres itu tentang Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM yang Berat. Selain Inpres No 2/2023, Presiden Jokowi juga mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 2023 tentang Tim Pemantau Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM yang Berat.
Penyelesaian pelanggaran HAM yang berat dengan cara non-yudisial ditempuh oleh pemerintah. Hal ini ditempuh karena pemerintah belum mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dengan cara pengadilan HAM ad hoc. Salah satu ganjalannya adalah belum cukupnya bukti yang diterima oleh Jaksa Agung sehingga beberapa kasus yang diajukan dikembalikan lagi oleh Jaksa Agung.
Dengan terbitnya Inpres dan Keppres HAM, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk memulihkan hak-hak para korban pelanggaran HAM, seperti pemulihan nama baik dan ganti rugi.
Namun, bagi keluarga korban pelanggaran HAM, cara-cara yang dilakukan oleh pemerintah masih belumlah cukup. Mereka masih menuntut pemerintah untuk meluruskan sejarah dan diadakan pengadilan HAM ad hoc secara yudisial.
Pada dasarnya, penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM dapat menjadi bukti atas hadirnya pemerintah dalam menjamin hak dasar hidup bagi tiap warga negaranya. Tidak tuntasnya kasus pelanggaran HAM di masa lalu justru rentan menjadi legitimasi pengulangan kejadian serupa di masa mendatang. Lantas, apa gunanya reformasi? (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Menolak Lupa dan Ketidakpahaman pada Aksi Kamisan