Soal Alzheimer, Publik Minim Edukasi
Publik minim teredukasi tentang penyakit alzheimer. Penderita alzhemier terancam diurus tanpa penanganan memadai.
Minimnya pengetahuan publik tentang penyakit alzheimer tergambar dari jajak pendapat Kompas yang diselenggarakan pada 19-21 Agustus 2024. Sebagian besar responden (71,7 persen) menyebutkan tidak mengetahui apa itu penyakit alzheimer.
Dengan hanya 28,3 persen yang mengaku mengetahuinya, tecermin minimnya pengetahuan publik mengenai alzheimer. Padahal, alzheimer tidak dapat dipandang sebelah mata.
Penyakit ini merupakan penyebab paling umum demensia, yakni penurunan kemampuan mental dengan gejala paling menonjol penurunan daya ingat. Sekitar 60-80 persen kasus demensia disebabkan oleh alzheimer. Tak hanya itu, sifat penyakit ini juga progresif, yaitu keadaan yang memburuk seiring berjalannya waktu.
Tak hanya sifat penyakitnya yang berbahaya, kasus alzheimer diproyeksikan meningkat dalam tahun-tahun ke depan. Alzheimer’s Indonesia (Alzi) memproyeksikan sedikitnya kasus demensia akibat alzheimer mencapai 4 juta kasus pada tahun 2050. Jika dihitung kenaikannya, terjadi kenaikan sekitar 82.000 kasus tiap tahun.
Menjadi problematik ketika kasusnya berpotensi meningkat, tetapi kesadaran masyarakat terhadap penyakit ini sangat minim. Tingginya proporsi responden yang tidak mengetahui alzheimer dipengaruhi oleh faktor keterpaparan edukasi. Mayoritas responden (89,8 persen) merasa belum mendapatkan edukasi yang cukup terkait alzheimer.
Mayoritas responden yang tidak mengetahui penyakit alzheimer didominasi oleh kelompok responden berlatar belakang berpendidikan dasar dan menengah. Pada kelompok responden dengan tingkat pendidikan dasar, hanya 7,6 persen yang mengetahui apa itu alzheimer.
Sementara itu, 92,4 persen responden kelompok ini tidak tahu penyakit alzheimer. Hal yang mirip juga terjadi pada kelompok responden dengan tingkat pendidikan menengah. Hanya satu dari 10 responden kelompok ini yang tahu apa itu alzheimer.
Akan tetapi, situasi yang berbeda terjadi pada kelompok responden dengan pendidikan tinggi. Pada kelompok responden ini, tingkat pengetahuan mengenai alzheimer mencapai 53 persen. Artinya, pada kelompok responden berpendidikan tinggi relatif lebih banyak yang memiliki pengetahuan tentang alzheimer.
Tidak hanya faktor pendidikan, tempat tinggal responden juga memengaruhi pengetahuannya tentang alzheimer. Bagi responden yang tinggal di wilayah perkotaan, terdapat 38,6 persen yang terpapar edukasi tentang alzheimer.
Sementara itu, responden yang tinggal di perdesaan hanya sekitar 17,5 persen yang mengetahui penyakit ini. Dengan kata lain, alzheimer belum banyak diketahui di antara kalangan masyarakat berpendidikan dasar dan menengah serta mereka yang tinggal di perdesaan.
Baca juga: Bahaya Alzheimer Merenggut Daya Pikir Manusia
Merasa khawatir
Berdasarkan dua variabel yang telah disebutkan, yakni tingkat pengetahuan dan keterpaparan edukasi, tecermin bahwa alzhemier belum familiar di telinga masyarakat Indonesia. Edukasi terkait alzhemier belum berjalan maksimal sehingga masyarakat belum memahami seluk-beluk penyakit ini.
Di sisi lain, gejala-gejala mengarah pada kasus demensia yang disebabkan oleh alzheimer masih mendapatkan pemakluman di antara masyarakat sebagai penyakit bawaan orang-orang yang sudah memasuki masa lansia. Penurunan daya ingat atau pikun ditambah dengan sulitnya fokus untuk mengerjakan sesuatu dipandang sebagai hal yang lumrah terjadi pada kelompok lansia.
Meskipun belum familiar dengan penyakit alzheimer, penurunan daya ingat sebagai salah satu gejala alzhemier menjadi hal yang mengkhawatirkan bagi responden. Tak kurang dari 82,3 persen responden menunjukkan kekhawatiran akan mengalami pengurangan ingatan di masa tua. Bahkan, hampir sepertiga dari jumlah tersebut merasa sangat khawatir mengalami penurunan daya ingat.
Kekhawatiran ini tidak hanya berdasarkan pembayangan responden, tetapi juga berdasarkan pengamatan sehari-hari. Terdapat setidaknya 35,6 persen responden mengaku melihat adanya orang-orang terdekat mereka yang mengalami gejala-gejala yang berpotensi mengalami gangguan ingatan dan kesulitan untuk fokus yang menjadi ciri-ciri awal alzheimer.
Baca juga: Pengidap Alzheimer Tetap Bisa Aktif Berkat Deteksi Dini
Perlu penanganan medis
Meskipun dalam pengamatannya sepertiga responden mengaku memiliki orang di sekitarnya yang bergejala alzheimer, tampak belum ada penanganan medis memadai. Sebanyak 72,4 persen responden menilai mereka yang menderita alzheimer, atau setidaknya yang memiliki gejala mengarah kepada penyakit ini, belum mendapatkan penanganan medis yang tepat.
Hal ini mengindikasikan bahwa penderita alzhemier, terutama kelompok lansia, sering diurus oleh keluarga terdekatnya tanpa ada penanganan khusus terkait alzheimer. Padahal, sebagai sebuah penyakit, alzheimer semestinya ditangani secara medis untuk mengurangi gejala-gejala yang muncul makin parah.
Jika mengacu proyeksi kasus alzheimer yang akan terus meningkat di Indonesia, kondisi ini memerlukan intervensi khusus. Masyarakat perlu mulai mendapat edukasi yang tepat bahwa penurunan daya ingat dan gejala demensia lainnya besar kemungkinan disebabkan alzheimer.
Dengan kurangnya pemahaman ini, terbuka kemungkinan juga bahwa kasus alzheimer yang sebenarnya terjadi lebih besar jumlahnya dibandingkan dengan yang tercatat.
Selain mengancam penderita, problem sosial dalam keluarga juga berpotensi muncul. Ketika penderita alzheimer tinggal bersama dengan keluarga terdekatnya, sangat mungkin gesekan-gesekan terjadi.
Pasalnya, dalam kondisi yang parah, alzheimer bisa membuat seseorang lupa dengan siapa suami, istri, juga anak-anaknya. Jika orang-orang terdekat tidak memahami problem kesehatan yang sedang dialami penderita alzheimer, kesalahpahaman dalam berbagai tingkatannya sangat mungkin terjadi.
Akhirnya, potret ini menuntut adanya aksi dari dua pihak. Pertama, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan perlu meningkatkan kesadaran dan pemahaman akan penyakit alzheimer.
Kedua, masyarakat perlu menjaga pola hidup sehat sebagai langkah pencegahan. Hal positif yang tampak dalam jajak pendapat ini, 60,3 persen responden mengaku telah menerapkan pola hidup sehat demi mencegah penyakit termasuk alzheimer. (LITBANG KOMPAS)