Pilkada 2024: Sang Pemenang Ditantang Membawa Jakarta Sukses Mendunia
Ide dan gagasan kontestan Pilkada Jakarta dinanti untuk meyakinkan warga bahwa mereka mampu membawa Jakarta mendunia.
Tampilnya ”pemain” baru di pemilihan kepala daerah atau pilkada mendatang mengundang tanya, siapakah yang akan mampu menaklukan hati warga Jakarta? Lantas, siapa juga yang akan membawa Jakarta sukses mendunia di tengah berbagai tantangan yang menyertainya? Jakarta akan selalu tampak memesona meskipun tanpa gelar ibu kota.
Walaupun isu pemindahan aparatur sipil negara (ASN) ke Ibu Kota Nusanara (IKN) yang dijadwalkan pada bulan September 2024 diundur, perayaan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Ke-79 Republik Indonesia (HUT Kemerdekaan Ke-76 RI) di IKN pada Agustus 2024 lalu menunjukkan bahwa transisi menuju ibu kota baru tampaknya akan benar direalisasikan. Hal ini kian menegaskan bahwa Jakarta tidak lagi menjadi ibu kota yang menjadi sentral kegiatan pemerintahan pusat.
Meskipun demikian, Jakarta tetaplah Jakarta. Dengan atau tanpa tugas sebagai ibu kota, segala hal yang terjadi di Jakarta tetap selalu menarik perhatian. Tak terkecuali kontestasi pemilihan gubernur yang kini kian memanas. Ditambah lagi kehadiran para ”pemain baru” di Pilkada Jakarta.
Setelah masa pendaftaran berakhir, bisa dipastikan bahwa Jakarta akan memiliki tiga pasangan calon gubernur dan wakil gubernur (cagub dan cawagub) yang akan berlaga pada pilkada November mendatang. Dua pasangan kandidat, yaitu Pramono Anung-Rano Karno dan Ridwan Kamil-Suswono, mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Jakarta di hari kedua pendaftaran, 28 Agustus 2024.
Baca juga: ”Jakarta Menyala” atau ”Jakarta Baru Jakarta Maju”, Utamanya Bukan Jargon
Kedua pasangan tersebut berangkat atas dukungan partai politik (parpol). Ridwan Kamil-Suswono mengantongi dukungan mayoritas parpol yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju plus yang terdiri dari 15 partai. Sementara itu, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) hadir tanpa sokongan partai koalisi dengan mengerahkan dukungan kuat kepada dua kadernya, Pramono Anung dan Rano Karno sebagai penantang.
Yang tak kalah menarik perhatian, Dharma Pongrekun dan Kun Wardana Abyoto tak gentar untuk melangkahkan kaki ke KPU di hari terakhir pendaftaran dan turut serta dalam konte stasi politik di Jakarta meski sama sekali tak berbekal dukungan partai. Mereka menjadi satu-satunya calon perseorangan di Pilkada DKI Jakarta pada tahun ini.
Bekal pengalaman
Kesamaan dari ketiga pasang kandidat ini adalah semuanya ”pemain baru” di Pilkada Jakarta. Tak ada sama sekali yang pernah menduduki jabatan sebagai pemimpin pemerintahan Jakarta. Semuanya mengandalkan bekal pengalaman yang dimiliki sebelumnya dalam mengemban tugas masing-masing.
Di pemerintahan pusat, misalnya, Pramono Anung adalah sekretaris kabinet pemerintahan 10 tahun terakhir. Kiprahnya di dunia pemerintahan tak sebatas hanya pada lembaga eksekutif, tetapi juga legislatif. Sebelumnya, Pramono pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014. Sementara itu, Suswono adalah mantan Menteri Pertanian periode 2009-2014. Ia juga pernah menjadi anggota DPR periode 2004-2009 dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Baca juga: Pilkada Bakal Berlangsung Sengit
Di bidang pemerintahan daerah, nama Ridwan Kamil dan Rano Karno tentu tak asing lagi. Mereka memiliki bekal pengalaman sebagai gubernur di provinsi penyangga Jakarta. Ridwan Kamil di Jawa Barat dan Rano Karno di Banten. Tak hanya di tingkat provinsi, keduanya juga pernah menjabat sebagai kepala daerah tingkat kabupaten dan kota. Pengalaman itu tentu menjadi modal kuat bagi Ridwan dan Rano lantaran sudah memiliki pemahaman tentang cara mengelola dan memimpin suatu daerah.
Tak bisa dianggap sepela, Dharma-Kun yang tidak berafiliasi dengan partai mana pun bukanlah orang sembarangan. Dharma Pongrekun adalah komisaris jenderal polisi bintang tiga yang memulai masa dinasnya sejak 1988. Ia juga pernah menjabat sebagai Wakil Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) periode 2019-2021.
Sebagai perwira Polri, Dharma pernah menerima penghargaan Bintang Bhayangkara Pratama pada akhir tahun 2019. Sebelum pensiun, ia menjabat sebagai Perwira Tinggi Lembaga Pendidikan dan Latihan Polri sejak awal 2024.
Pasangannya, Kun Wardana, pun tak main-main. Dosen dan politikus dari Partai Amanat Nasional ini disebut-sebut memiliki kecerdasan luar biasa dengan intelligence quotient atau IQ di atas rata-rata. Kun juga menguasai sejumlah bahasa asing, seperti bahasa Inggris, Jerman, dan Belanda. Ia juga dikenal sebagai pemerhati ketenagakerjaan dan hubungan industri.
Baca juga: Pilkada di Depan Mata, Koalisi Indonesia Maju Bakal Solid di Jawa?
Konsekuensi tak jadi ibu kota
Terlepas dari apa pun latar belakang para kandidat tersebut, semua bekal pengetahuan, kekuatan, dan pengalaman harus dikerahkan untuk menaklukkan Jakarta beserta beban berat yang menyertainya. Apalagi, saat Jakarta tak lagi menyandang status sebagai ibu kota.
Dari sisi administrasi, dapat dikatakan bahwa beban Jakarta relatif akan lebih ringan. Sebab, saat menjadi ibu kota, Jakarta memiliki fungsi dan peran yang penting dan khusus dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya, dengan ditanggalkannya tugas sebagai ibu kota, Jakarta memiliki kewenangan penuh untuk mengatur dirinya.
Akan tetapi, beberapa konsekuensi harus ditanggung Jakarta. Pertama, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jakarta akan berkurang karena tak lagi memiliki hak istimewa sebagai ibu kota. Hal ini terutama pendapatan transfer dari pusat. Selama ini, total pendapatan Provinsi Jakarta selalu menjadi yang tertinggi. Nilainya di kisaran Rp 70 triliun-Rp 82 triliun per tahun. Dari total pendapatan tersebut, sekitar 25 persen adalah pendapatan transfer dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional atau pusat. Angka tersebut cukup besar. Sebab, selain sebagai ibu kota, Jakarta juga menjadi episentrum ekonomi dan bisnis di Indonesia.
Artinya, Jakarta harus mempersiapkan diri untuk mampu mengerek angka pendapatan asli daerah (PAD). Merujuk data SMART Planning Budgeting Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta, PAD Jakarta sepanjang 5 tahun terakhir sekurang-kurangnya mencapai Rp 50 triliun per tahun.
Nilai tersebut bisa jadi tidak lagi dengan mudah bisa dikumpulkan jika pemerintahan pusat di IKN sudah benar-benar beroperasi. Dengan berpindahnya ibu kota negara ke Kalimantan Timur, jumlah warga Jakarta pun akan berkurang karena ikut pindah ke IKN, terutama ASN pemerintahan pusat. Dengan demikian, potensi PAD Jakarta yang bertumpu pada pajak daerah berpotensi turun. Seperti dari pajak kendaraan bermotor dan bea balik nama kendaraan bermotor yang selama ini menjadi tumpuan penerimaan pajak di Jakarta.
Baca juga: Transportasi Umum, Tantangan Jakarta Menjadi Kota Global Berskala Dunia
Bukan hanya pendapatan, ekonomi Jakarta secara keseluruhan pun disebut-sebut akan penuh tantangan. Sejumlah penelitian menyebutkan, laju pertumbuhan ekonomi Jakarta berpotensi turun sekitar 1 persen saat tak lagi menjadi ibu kota negara.
Tak dapat dimungkiri, selama menyandang status sebagai ibu kota negara, hampir semua aktivitas pemerintahan pusat memang terselenggara di Jakarta. Beragam kegiatan, seperti seminar, konferensi, dan jenis pertemuan lain, mendorong permintaan jasa akomodasi di Jakarta cukup tinggi. Tahun 2022, rata-rata tingkat hunian berbintang di Jakarta sekitar 60 persen. Aktivitas kembali menggeliat setelah dihantam badai pandemi Covid-19 yang memuncak di dua tahun sebelumnya (Kompas, 30 Juni 2024).
Dengan berpindahnya ibu kota, berbagai belanja pemerintahan pusat tersebut berpotensi menyusut. Dampaknya, bisa menurunkan kinerja bidang jasa yang selama ini menjadi tumpuan ekonomi Jakarta.
Visi mendunia
Tantangan lain bagi para cagub dan wakilnya yang ingin menaklukkan Jakarta adalah branding baru megapolitan ini yang mengarah menjadi Kota Dunia selepas masa ”jabatannya” sebagai ibu kota. Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta disebutkan, Kota Global adalah kota yang menyelenggarakan kegiatan internasional di berbagai bidang perdagangan, seperti investasi, bisnis, pariwisata, kebudayaan, pendidikan, dan kesehatan. Serta menjadi pusat produksi produk strategis internasional sehingga menciptakan nilai ekonomi yang besar, baik bagi kota yang bersangkutan maupun bagi daerah sekitar. Otomatis pekerjaan rumah pun bertambah.
Dari sisi ekonomi, bisa dikatakan Jakarta punya bekal yang cukup kuat. Selama ini, Jakarta sudah menjadi tumpuan ekonomi nasional yang menyumbang sekitar 16,8 persen perekonomian Indonesia. Keterlibatan pada perdagangan dunia pun cukup besar dengan aktivitas ekspor impornya. Hampir seperempat ekspor nasional tahun 2023 terkirim dari Pelabuhan Tanjung Priok yang terletak di utara Jakarta.
Begitu pula dengan aktivitas impor. Dari total impor Indonesia tahun 2023 sebesar Rp 221,9 miliar dollar AS, sebanyak Rp 82,9 miliar dollar AS masuk melalui Pelabuhan Tanjung Priok. Sektor jasa lainnya, seperti jasa keuangan, asuransi, dan jasa perusahaan, juga cukup menggeliat di Jakarta. Laju pertumbuhan dan kontribusinya pada ekonomi Jakarta terpantau menguat dari waktu ke waktu. Kondisi ini menggambarkan bahwa dari sisi bisnis dan ekonomi, Jakarta siap lepas landas untuk mendunia.
Akan tetapi, pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan keseharian masyarakat dirasa masih sangat kurang. Seperti salah satunya dalam aspek lingkungan. Selama ini, Jakarta sudah masuk dalam radar penilaian kota-kota di dunia oleh sejumlah lembaga. Salah satunya oleh The Mori Memorial Foundation yang bermarkas di Jepang dalam Global Power City Index (GPCI).
Baca juga: Apa Kabar Ekonomi Jakarta Tanpa Status Ibu Kota?
GPCI 2023 menunjukkan, Jakarta menduduki peringkat ke-45 dari 48 kota yang diteliti. Dari enam dimensi yang dipantau, dimensi lingkungan dan aksesibilitas Jakarta mencatatkan performa terburuk, yakni menduduki peringkat ke-47.
Dalam dimensi lingkungan, salah satu indikator penyebab rendahnya performa Jakarta adalah kualitas airnya. Dari skor maksimal 100, Jakarta sama sekali tak mendapatkan poin pada indikator tersebut, alias nol. Nilai rendah lainnya datang dari tingkat pengelolaan sampah. Seperti diketahui, tumpukan sampah memang masih menjadi salah satu persoalan utama di Jakarta. Ditambah lagi dengan minimnya penghijauan, buruknya kualitas udara, hingga komitmen untuk mengatasi perubahan iklim yang sekarang sedang menjadi sorotan dunia.
Selanjutnya, pada dimensi aksesibilitas, kemacetan menjadi salah satu faktor penyebabnya. Termasuk di dalamnya penggunaan transportasi umum yang masih minim. Empat dimensi lainnya adalah ekonomi (peringkat ke-40), penelitian dan pengembangan atau R&D (46), interaksi budaya (40), dan kelayakan huni (25). Ringkasnya, dapat dikatakan bahwa sejatinya performa Jakarta masih cukup tertinggal.
Masih kurang bersaingnya Jakarta di ranah global juga terkonfirmasi dari performa Jakarta dalam penilaian The Global Cities 2023. Laporan yang disusun oleh lembaga konsultan internasional AT Kearney tersebut mencatat bahwa Jakarta menempati peringkat ke-74 dari 156 negara yang diteliti.
Jakarta berada di bawah kota-kota besar lainnya di Asia Tenggara, seperti Singapura yang berada di urutan ke-7, Bangkok ke-45, Manila ke-70, dan Kuala Lumpur peringkat ke-72. Artinya, di region Asia Tenggara saja, Jakarta masih relatif tertinggal. Bukan hanya itu, peringkat Jakarta justru semakin menurun. Padahal, di tahun 2015 Jakarta sudah berhasil menduduki peringkat ke-54.
Anjloknya peringkat ini terjadi di semua aspek penilaian, baik di aktivitas bisnis, sumber daya manusia (SDM), pertukaran informasi, pengalaman kebudayaan, maupun keterlibatan politik. Penurunan terbesar terjadi pada aspek SDM. Jumlah penduduk dengan gelar akademik dan populasi pelajar internasional dinilai masih sangat minim.
Tampak bahwa Jakarta masih memikul beban berat untuk bertransformasi menjadi Kota Dunia. Ide dan gagasan riil para calon pemimpin yang akan berlaga di pilkada mendatang dinanti untuk meyakinkan warga bahwa mereka mampu membawa Jakarta sukses mendunia. (Litbang Kompas)