Pilkada Jatim, Mampukah Melawan Ketokohan Khofifah-Emil?
Penantang Khofifah pada Pilkada Jatim 2024 akan berhadapan dengan unsur ketokohan yang kuat dan mesin koalisi KIM plus.
Khofifah Indar Parawansa yang saat ini maju sebagai petahana gubernur Jawa Timur (2019-2024) dan masih menjabat sebagai Ketua Umum Muslimat Nahdlatul Ulama memiliki pamor terbesar di mata pemilih Jatim. Bersama Emil Elestianto Dardak sebagai wakil gubernur petahana, mereka maju tanpa pecah kongsi dan menciptakan kekuatan politik yang sulit dicari tandingannya; sebelum keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (20/8/2024).
Hal itu terindikasi dari dukungan 15 partai politik dalam Pilkada Jatim 2024 kepada pasangan Khofifah-Emil, yaitu dari Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PKS, PSI, PPP, Nasdem, dan Perindo. Kemudian Partai Gelora, Partai Buruh, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), Partai Garuda, dan Partai Prima.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Dukungan itu setara dengan 72 kursi dari total 120 kursi DPRD Jatim atau 60 persen. Hanya tersisa kursi milik PDI-P (21 kursi) dan PKB (27 kursi) yang belakangan mengajukan calonnya masing-masing, yaitu Tri Rismaharini dan Luluk Tri Handayani.
Selain itu, dalam survei Kompas yang dilakukan pada 20-25 Juni 2024 dengan 500 responden dan angka simpangan ± 4,9 persen, terekam nama Khofifah masih mendominasi baik dalam popularitas, tingkat kesukaan maupun elektabilitas maksimum. Angka popularitas Khofifah mencapai 92,4 persen dan tingkat kesukaan mencapai 82,8 persen. Semua pertanyaan diajukan tanpa nama pasangan cawagub.
Dari segi potensi keterpilihan, dukungan kepada Khofifah mencapai 78,4 persen dengan tingkat kepastian memilih atau strongvoters mencapai 31,6 persen. Ini artinya, di atas kertas, pada Juni 2024 saja, Khofifah sudah mengantongi potensi keterpilihan hampir sepertiga pemilih kuat (strong voters). Proporsi tersebut untuk memenangi Pilkada Jatim sudah sangat menjanjikan.
Sementara jika menggunakan ukuran elektabilitas atas pertanyaan top of mind, elektabilitas Khofifah sudah mencapai 26,8 persen. Survei Kompas pada Juni 2024 belum memiliki angka elekabilitas dalam bentuk pasangan calon. Angka ini jika diekstrapolasi (menghilangkan jawaban tidak tahu/jawab), bahkan mencapai 54,7 persen.
Tak heran, hingga jelang pendaftaran peserta pilkada 25 Agustus 2024 ada kekhawatiran bahwa Pilkada Jatim berpotensi melawan kotak kosong, meski hal itu ditepis PDI-P dan PKB yang akhirnya mengajukan calon gubernur dari kadernya masing-masing.
Popularitas Khofifah di Jatim
Kekuatan sosok Khofifah di Jatim dibangun tidak dalam waktu singkat. Sosok ini sudah membangun kapital politik sejak 1992 saat menjadi anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan dan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan/Kepala BKKBN (1999-2001). Berlanjut menjadi Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (2004-2006) dan menjadi Menteri Sosial (2014-2018) di era Presiden Joko Widodo.
Yang menonjol, Khofifah menjabat Ketua Muslimat NU sejak tahun 2000 hingga saat ini, alias sudah 24 tahun atau berperiode berturut-turut. Hal ini menjadikan dirinya sebagai ketua umum terlama kedua setelah kepemimpinan sebelumnya oleh Mahmudah Mawardi yang memimpin Muslimat NU selama 29 tahun.
Muslimat NU merupakan badan otonom di bawah Nahdlatul Ulama. Gambaran kekuatan organisasi ini pada politik Jatim bisa dilihat pada 10 perempuan yang menjabat kepala daerah di Jatim baik di kabupaten, kota, maupun gubernur pada Pilkada 2018. Mereka semua merupakan Pengurus Pusat Muslimat NU. Jumlah itu bahkan bertambah lagi jika dihitung pula posisi wakil kepala daerah.
Tengoklah pernyataan Masruroh Wahid, Ketua Muslimat NU, sesaat setelah kemenangan Khofifah Indar Parawansa pada Pilgub Jatim 2018. ”Saya tidak peduli kami dari PPP-kah, PKB-kah, PDI-P-kah, saya tidak peduli itu. Muslimat NU tidak melihat partai. Yang penting Ibu Khofifah ketua umum kami,” tegasnya.
Pernyataan Masruroh Wahid itu dimuat di sebuah laman media berita daring (online) edisi 9 Juli 2018. Saat itu, pasangan Khofifah-Emil baru saja ditetapkan Komisi Pemilihan Umum memenangi Pilgub Jatim dengan meraih 53,55 persen suara (10.465.218), sedangkan pasangan Saifullah Yusuf-Puti Guntur Soekarno meraih persentase 46,45 persen atau 9.076.014 suara.
Dari total 32 juta anggota Muslimat NU, mayoritas berdomisili di Jatim. Tak ayal, Muslimat NU dipandang telah berkembang dari sekadar organisasi sosial keagamaan menjadi sebuah jaringan organisasi perempuan yang solid, militan, dan efektif dengan kesadaran serta partisipasi politik yang tinggi.
Baca juga: Survei Pilkada Jawa 2024: Membedah Profil Pemilih Khofifah, Siapa Mereka?
Banyak pihak mengakui kehebatan organisasi ini dalam kemampuan bergerak dan menyentuh akar rumput hingga akhirnya mengantarkan para pemimpinnya memenangi kontestasi pilkada.
Kekuatan politik Muslimat NU juga terlihat dari jumlah pengurus cabang di Jawa Timur yang lebih banyak dari total kabupaten/kota di provinsi itu. Di Jawa Timur yang terdiri dari 38 wilayah administratif (29 kabupaten dan 9 kota), Muslimat NU memiliki 42 cabang. Dengan begitu, bisa diperkirakan bagaimana mendalamnya pamor Khofifah di Jatim dalam format kepemimpinan apa pun.
PKB manfaatkan basis massa
Meski memiliki daya tarik elektabilitas yang besar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai ”rumah kedua” Khofifah tak meliriknya menjadi kandidat gubernur. Pisah jalan Koalisi Indonesia Maju (KIM) plus dengan PKB akhirnya terjadi setelah selama berminggu-minggu publik Jatim menunggu apakah nama besar Khofifah yang seakan sudah menjadi ”jaminan kemenangan” akan bergabung dengan PKB.
Dalam masa pendaftaran calon gubernur, Rabu (28/8/2024), PKB akhirnya mengusung kadernya, Luluk Nur Hamidah dan Lukmanul Khakim, sebagai pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di Pilkada Jatim 2024. Luluk merupakan anggota Komisi VI DPR dan anggota Badan Legislasi DPR periode 2019-2024 dari daerah pemilihan Jawa Tengah IV dengan beragam pengalaman organisasi. Sementara Lukmanul Khakim merupakan anggota DPR RI dari Fraksi PKB mewakili dapil Jatim IX dan merupakan aktivis di PKB dan NU.
Dari survei Litbang Kompas pada Juni 2024, kedua nama kader PKB tersebut belum muncul di jawaban responden. Dari sini tampak bahwa DPP PKB berupaya menyolidkan barisan pemilih PKB dengan bersandar pada tingkat loyalitas pemilih PKB. Hal ini terkait kemenangan PKB di Jawa Timur pada Pemilu Legislatif 2024 yang mencapai 4.517.228 suara (17,61 persen suara sah) dan meraih 27 kursi dari total 120 kursi DPRD Jatim.
Seperti halnya di Pileg 2024, PKB tampaknya cukup percaya diri dengan dukungan suara yang jika mampu mengulang pileg, akan digalang dari kalangan NU kultural, kiai, dan ulama berpengaruh, loyalitas caleg PKB dan daya tarik identitas kepartaian PKB sebagai partainya orang NU.
Menurut Wakil Ketua Umum DPP PKB Jazilul Fawaid, penunjukan Luluk-Lukmanul adalah untuk memberikan kejutan bagi publik Jatim. ”Kita ingin pemimpin di Jawa Timur pemimpin yang fresh, PKB menyajikan itu. Pemimpin yang juga bersih dari korupsi, punya pengalaman, masih muda. Insya Allah pasangan Luluk-Lukman ini lebih berenergi, lebih muda, dibandingkan pasangan yang ada, yang lain,” kata Gus Jazil, Rabu (28/8/2024), di berbagai tayangan media.
Dasar dari pemisahan PKB dan Khofifah ini tampaknya tak lepas dari friksi politik antara PKB dan PBNU.Dengan format peta politik seperti itu bisa dipahami bahwa posisi politik PKB dan Khofifah yang didukung koalisi pemerintah menjadi berseberangan.
PKB mengajukan pasangan Luluk-Lukmanul tersebut dengan dalih masyarakat Jatim memerlukan pemimpin baru. Selain itu, menurut cawagub Lukmanul Khakim, ”PKB memiliki modal yang cukup kuat karena PKB sekarang menjadi partai pemenang pemilu di Jawa Timur dan itu modal yang tidak dimiliki oleh partai-partai lain di Jawa Timur.”
PDI-P manfaatkan wilayah Mataraman
Meskipun elektabilitas Pilkada Jatim seolah sudah ”dimonopoli” Khofifah, ternyata tak menyurutkan PDI-P mengajukan kadernya sendiri sebagai kandidat di Pilkada Jatim. Setelah putusan MK tentang ambang batas suara pilkada yang diikuti PKB dengan mengajukan calonnya sendiri, PDI-P akhirnya menjawab teka-teki kandidat gubernur Jatim dengan mengajukan Tri Rismaharini, Menteri Sosial dan mantan Wali Kota Surabaya dua periode (2010-2020). Dalam pencalonan ini, Risma berpasangan dengan Zahrul Azhar Asumta (Gus Hans).
Gus Hans merupakan pengasuh Pondok Pesantren Queen Al Azhar Darul Ulum Jombang, Jawa Timur, putra dari KH As’ad Umar dan Azah As’ad. Dia merupakan akademisi, tokoh agama, sekaligus kader Partai Golkar. Gus Hans merupakan tokoh pemuda NU dan pernah menjadi juru bicara tim kampanye Khofifah-Emil saat Pilgub Jawa Timur 2019.
Baca juga: Risma Maju Pilkada Jatim, Bagaimana Potret Pemilihnya?
Dalam survei Kompas, Juni 2024, elektabilitas Risma menempati posisi kedua di bawah Khofifah dengan angka top of mind sebesar13,6 persen. Popularitas Risma juga di peringkat kedua dengan 63,2 persen mengenalnya dan 56,2 persen menyukainya. Sementara potensi keterpilihan Risma mencapai 62,6 persen dengan strong voters sebanyak 19,8 persen.
Dengan majunya Risma-Gus Hans secara mandiri, PDI-P tampaknya mengandalkan kekuatan mesin politik PDI-P di Jatim yang sudah terbangun selama ini. Meski di Pileg 2024 PDI-P berada di peringkat kedua, secara faktual PDI-P merupakan parpol kuat di Jatim dan menang di Pileg 2019.
Bagi PDI-P, wilayah-wilayah Mataraman yang berbatasan dengan Jawa Tengah, mulai dari Ngawi, Madiun, menyusur ke selatan, seperti Kediri, Tulungagung, Trenggalek, Blitar, Malang, Lumajang, Banyuwangi, dan kawasan perkotaan, seperti Mojokerto, hingga Surabaya, merupakan basis kemenangan PDI-P.
Sebelum peristiwa batalnya revisi Undang-Undang Pilkada, 22 Agustus 2024, publik memperkirakan bahwa PDI-P akan bergabung dengan PKB untuk menyatukan jumlah kursi DPRD demi mengusung kandidat gubernur Jatim. Salah satunya adalah format koalisi Khofifah-Eri Cahyadi (Wali Kota Surabaya) yang menggambarkan dua kekuatan politik besar Jatim, yaitu Islam dan nasionalis.
Hal itu terekam dalam pertemuan tertutup antara Khofifah, Eri Cahyadi, dengan Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto dan pengurus DPD PDI-P Jatim pada 10 November 2022. Saat itu, awak media menanyakan apakah pertemuan itu membahas koalisi, tetapi saat itu dibantah. Selepas pertemuan dua tahun itu, kini sudah banyak dinamika politik terjadi, di antaranya pergerakan parpol-parpol yang ramai-ramai berkoalisi mengusung Khofifah.
Perebutan basis massa pemilih Jatim
Berbeda dengan pilkada daerah lain yang berkontestasi antartokoh, di Jatim ada warna pertarungan basis massa khususnya antara massa nasionalis (PDI-P) versus basis massa Islam (PKB). Khofifah-Emil tentu mengandalkan faktor ketokohan, historis-tradisional dan basis massa muslimat NU. Namun, itu tentu akan dikikis pula oleh Luluk-Lukmanul yang tampaknya juga bakal mengandalkan basis massa NU ditambah pemilih PKB di Pileg 2024.
Basis pemilih pemilih Islam, misalnya, wilayah ”tapal kuda”, seperti Kabupaten Situbondo, Bondowoso, Jember, Pasuruan, Sidoarjo, hingga kawasan pantai utara, seperti Gresik, Lamongan, Tuban, Bojonegoro, ataupun seluruh wilayah Madura. Wilayah-wilayah itu kebanyakan beririsan dengan antara pemilih PKB dan NU tradisional. Oleh sebab itu, perebutan basis massa Islam bakal lebih ”menghangat” dalam pilkada kali ini, terutama antara Khofifah-Emil dan Luluk-Lukmanul.
Di sisi lain, Risma-Gus Hans tampaknya akan banyak memanfaatkan kekuatan basis massa PDI-P di wilayah Mataraman Jatim. Masih kuatnya pengaruh PDI-P di wilayah Jawa Timur Mataraman tecermin dari keunggulan elektoral PDI-P selama pemilu era reformasi. Istilah ”Mataraman” merujuk pada suatu wilayah di Jawa Timur yang berada di bawah pengaruh budaya kerajaan Mataram Islam era abad ke-16 yang umumnya meliputi bekas wilayah Keresidenan Madiun dan Keresidenan Kediri.
Wilayah eks Keresidenan Madiun mencakup Kabupaten Madiun, Kota Madiun, Kabupaten Magetan, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Pacitan, dan Kabupaten Ponorogo. Sementara eks Keresidenan Kediri mencakup Kota Kediri, Kabupaten Kediri, Nganjuk, Tulungagung, Blitar, dan Trenggalek.
Dari 16 wilayah yang termasuk Mataraman, 11 wilayah di antaranya mampu dimenangi PDI-P pada Pemilu 2019. Dari 11 wilayah Mataraman tersebut, empat daerah, yaitu Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Blitar, Kabupaten Kediri, dan Kabupaten Malang, merupakan wilayah loyalis yang dimenangi PDI-P secara terus-menerus selama lima kali pemilu era reformasi. Kemenangan yang dimaksud disini adalah raihan suara tertinggi dalam ajang pemilu legislatif untuk penghitungan suara tingkat DPR RI.
Adapun di Pemilu 2024, wilayah kemenangannya terutama di wilayah Malang raya, Blitar, Tulungagung, dan Kota Surabaya. Bila dilihat di peta geopolitik pemilu era reformasi, kekuatan PDI-P di wilayah Mataraman masih relatif kuat tetapi mulai konsisten berhasil direbut oleh PKB dan Gerindra di beberapa pemilu terakhir.
Baca juga: Survei Pilkada 2024: Menguji Geokultural Pemilih Jatim
Pada akhirnya, tiga pasang kandidat Pilgub Jatim 2024 akan membuktikan bagaimana kontestasi perebutan basis suara kaum nahdliyin dan basis suara nasionalis akan berlangsung di tengah kuatnya faktor ketokohan Khofifah.
Kubu Khofifah-Emil tampaknya tak bisa lagi berleha-leha mengandalkan pamor saat ini karena baik basis massa, unsur ketokohan, hingga mesin partai kini menjadi arena perebutan oleh kubu Luluk-Lukmanul dan Risma-Gus Hans. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Pemilih Jatim Terbuka, Calon Gubernur Semua Perempuan