Polemik Wacana Skema Subsidi Tiket KRL Jabodetabek Berbasis NIK
Transportasi publik seperti KRL menjadi moda andal perkotaan di masa depan. Idealnya, aksesnya harus murah dan banyak.
Megapolitan Jakarta tumbuh dengan beragam kegiatan dan usaha yang pesat, mulai dari sektor ekonomi, jasa, sosial, hingga pendidikan. Perkembangan ini turut menumbuhkan wilayah penyangga Jakarta atau Jabodetabek, terutama untuk hunian atau perumahan. Salah satu penanda dinamika perkembangan wilayah Jabodetabek ialah mobilitas warga yang tinggal di wilayah penyangga Jakarta.
Publikasi Statistik Komuter Jabodetabek 2023 menunjukkan, pada 2023 ada 29,6 juta penduduk Jabodetabek yang melakukan perjalanan komuter atau pergerakan harian dengan melewati batas administrasi kabupaten/kota tempat tinggalnya.
Hasil survei komuter tersebut memperlihatkan mayoritas (80 persen) komuter Jabodetabek berlatar belakang buruh, karyawan, atau pegawai. Dalam hal menempuh perjalanan komuter, sebagian besar (67 persen) komuter Jabodetabek mengaku mengalami kemacetan parah.
Fenomena ini memperlihatkan megapolitan Jakarta yang akan bertransformasi menjadi kota global masih belum selesai dengan permasalahan klasiknya, yaitu kemacetan dan polusi. Hingga saat ini, menurut IQAir Jakarta memiliki kualitas udara terburuk ke-4 di dunia. Bahkan, Jakarta konsisten dari tahun 2018-2023 memiliki indeks kualitas udara yang berkisar di angka 35,1-50 atau 7-10 kali lipatnya dari panduan yang disarankan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Tak heran jika transportasi publik seperti KRL menjadi moda andal perkotaan Jabodetabek di masa depan. Jakarta dan wilayah penyangganya memerlukan sarana dan prasarana mutakhir pendukung angkutan massal. Penyediaan sarana transportasi massal ini perlu dilakukan untuk menjawab kebutuhan jumlah komuter yang terus bertambah dan semakin tidak mampu ditampung oleh sarana jalan di Jakarta.
Rendahnya minat warga
Berdasarkan data Perkembangan Transportasi Jakarta dari Januari 2023-Januari 2024, pengguna transportasi umum mengalami tren peningkatan. Tercatat dari periode tersebut total penumpang transportasi massal cepat (MRT) mengalami peningkatan sebesar 3,54 persen.
Transjakarta juga mengalami penambahan total penumpang hingga sebanyak 6,83 persen selama periode tersebut. Sementara itu, kereta ringan (LRT) juga turut mengalami peningkatan total penumpang hingga sebanyak 96.840 orang atau bertambah lebih dari 20.000 penumpang sejak awal Januari 2023.
Untuk transportasi umum andalan Jabodetabek, yakni kereta komuter atau commuter line, juga mengalami kenaikan jumlah penumpang selama periode 2023 hingga sebanyak 290,89 juta penumpang atau naik 35 persen dari tahun sebelumnya. Meski demikian, peningkatan jumlah itu belum mencapai jumlah penumpang sebelum pandemi, yaitu sebesar 336,27 juta penumpang pada 2019.
Fenomena tersebut menunjukkan minat masyarakat untuk menggunakan transportasi umum masih tergolong rendah. Pada 2022, hanya sebesar 21,7 persen masyarakat yang mau menggunakan transportasi publik. Selebihnya memilih menggunakan kendaraan pribadi.
Survei penumpang tahun 2021 yang dilakukan Ditjen Perkeretaapian dengan jumlah responden 6.841 orang dari Bogor, Bekasi, Serpong, dan Tangerang menunjukkan mayoritas pengguna moda transportasi KRL 45-57 persen melakukan perjalanan dengan tujuan aktivitas kerja.
Melalui data proyeksi tingkat okupansi KRL tahun 2023 dan 2024, saat peak hour rata-rata kapasitas angkut berada di atas rata-rata penumpang harian. Oleh karena itu, kepadatan penumpang selalu terjadi saat arus berangkat dan balik jam kerja.
Kepadatan saat peak hour itu menjadi permasalahan yang perlu segera diselesaikan. Kepadatan yang terjadi saat jam-jam sibuk banyak dikeluhkan oleh pengguna transportasi KRL. Pasalnya, menimbulkan sejumlah dampak negatif, seperti ketidaknyamanan dan membahayakan keselamatan penumpang akibat berdesak-desakan.
Cara tumbuhkan minat warga
Ada sejumlahcara yang dilakukan PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) bersama pihak lainnya untuk menarik minat warga agar menggunakan transportasi umum, khususnya KRL. Salah satunya berupa integrasi akses transportasi KRL dengan transportasi umum lainnya, seperti Transjakarta, MRT, dan LRT. Selain itu, pembangunan infrastruktur bantuan, seperti perbaikan sistem, fasilitas penunjang, dan integrasi sistem pembayaran.
Tak hanya perbaikan dan penambahan infrastruktur fisik yang dilakukan oleh PT KCI, tetapi ada pula beberapa skema perjalanan yang ditambahkan di peak hour untuk mengurangi arus kepadatan.
Baca juga: Subsidi Tarif KRL Berdasarkan NIK, Pengguna Transportasi Umum Merasa Dianaktirikan
Untuk meningatkan frekuensi perjalanan, PT KCI juga berencana menambah rangkaian kereta untuk meningkatkan kapasitas penumpang dan sekaligus peremajaan unit-unit operasional. Rencana ini memicu munculnya sejumlah polemik, terutama terkait dengan opsi impor kereta dari luar negeri.
Ada usulan untuk mendatangkan kereta bekas dari Jepang, tetapi mendapat penolakan karena dinilai akan menghabiskan anggaran perawatan. Ada pula skenario membeli unit kereta baru dari industri dalam negeri. Meskipun mahal, unit baru ini akan menghemat biaya perawatan dalam jangka panjang.
Sejumlah polemik itu muncul menyusul adanya rencana memensiunkan 29 rangkaian kereta secara bertahap hingga tahun 2024 karena telah melewati batas usia pemakaian. Pokok permasalahan yang tak kunjung menemukan ujung penyelesaian tersebut turut membawa dampak pada lonjakan penumpang pascapulihnya arus perjalanan penumpang setelah pandemi.
Baru-baru ini, muncul polemik kembali terkait commuter line setelah adanya rencana perubahan skema subsidi harga tiket KRL berbasis NIK. Wacana kebijakan yang muncul pada catatan RAPBN 2025 memicu perbincangan hangat dan penolakan oleh sebagian masyarakat serta pengguna KRL.
Skema yang dibuat untuk mengelompokkan kelas sosial tertentu yang mampu membayar lebih untuk naik KRL dianggap bukan solusi yang tepat guna mengurai kepadatan penumpang. Menurut Nurcahyo, warga yang juga bagian dari Komunitas KRL Mania, hal tersebut justru berpotensi menurunkan minat pengguna KRL dan beralih pada kendaraan pribadi.
Polemik skema subsidi KRL berbasis NIK
Wacana kebijakan perubahan skema subsidi Commuter Line Jabodetabek (KRL Jabodetabek) berbasis NIK menuai polemik dari berbagai pihak, terutama dari konsumen setianya. Rencana yang tertulis pada Buku II Nota Keuangan beserta Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tersebut menyebutkan bahwa hanya warga tak mampu yang berhak menerima subsidi KRL Jabodetabek.
Meskipun masih akan dikaji dan mencari pola yang tepat, kebijakan ini kemungkinan dapat berimplikasi pada turunnya minat masyarakat untuk menggunakan transportasi umum. Seperti yang disampaikan oleh Nurcahyo, subsidi tersebut seharusnya berperan dalam mendorong penggunaan transportasi umum untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi sebagai sumber kemacetan dan polusi (Kompas, 2/9/2024).
Selain itu, wacana kebijakan tersebut bertolak belakang dengan dorongan dari Ketua DPR RI Puan Maharani kepada pemerintah untuk melakukan promosi penggunaan transportasi umum sebagai solusi mengatasi polusi udara di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Dalam pernyataan tertulisnya terkait menanggapi kebijakan work from home (WFH) bagi ASN Jakarta, Senin (21/8/2023), Puan menekankan pemerintah masih memiliki pekerjaan lain untuk meminimalkan pergerakan kendaraan bermotor penyumbang gas karbon dan memperbanyak promosi penggunaan transportasi umum (KRL, bus Transjakarta, LRT, dan MRT).
Rencana subsidi berbasis NIK itu akan cenderung kontraproduktif dengan sejumlah kegiatan yang dilakukan pemerintah untuk menarik minat masyarakat menggunakan transportasi massal. Misalnya saja, seperti kampanye penggunaan transportasi umum yang sudah dilakukan Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek dan bersinergi dengan lembaga lainnya untuk mencapai target 60 persen pergerakan penumpang angkutan umum pada 2029.
Selain itu, ada pula sejumlah kampanye lainnya di berbagai kanal informasi untuk meningkatkan kesadaran dan menciptakan ruang transportasi umum yang inklusif termasuk untuk penyandang disabilitas.
Baca juga: Polemik Kosong Tarif KRL Berbasis NIK
Perbaikan fasilitas dan layanan pun terus dilakukan secara bertahap demi menarik minat masyarakat agar mau beralih dari kendaraan pribadi. Dengan adanya rencana subsidi berbasis NIK itu, ada kemungkinan minat masyarakat terhadap transportasi publik akan surut.
Visi mengurangi tingkat polusi di Jakarta dengan misi meningkatkan minat pengguna transportasi umum hingga 60 persen di tahun 2029 perlu didukung dengan kebijakan yang sejalan. Wacana perubahan skema subsidi yang menjadi opsi solusi dalam RAPBN 2025 justru menciptakan ruang yang cenderung kurang inklusif. Potensi tersebut dapat berdampak pada keputusan masyarakat dalam menggunakan transportasi umum sebagai transportasi utama dalam beraktivitas. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Transportasi Umum, Tantangan Jakarta Menjadi Kota Global Berskala Dunia