Paus Fransiskus, ”Fratelli Tutti”, dan Masalah Pengungsi
Di bagian dua ”Fratelli Tutti”, Paus Fransiskus menyerukan perlunya perhatian pada orang-orang yang terasing di jalan.
Paus Fransiskus mengeluarkan ensiklik Fratelli Tutti tertanggal 3 Oktober 2020. Ensiklik merupakan surat edaran yang dikeluarkan Paus dan ditujukan kepada para uskup untuk diteruskan kepada umat Katolik di seluruh dunia.
Melalui ensiklik Fratelli Tutti, Paus Fransiskus menyerukan tentang pentingnya persaudaraan dan persahabatan sosial. Meskipun ensiklik merupakan dokumen Gereja, Paus menujukan Fratelli Tutti kepada semua orang yang berkehendak baik, terlepas apa pun keyakinan agamanya.
Dalam bab II dokumen ini, Paus Fransiskus secara khusus menunjukkan perhatian terhadap orang-orang yang terpinggirkan. Bab ini diberi judul ”A Stranger on The Road” atau seorang asing di jalan. Membaca bagian latar belakang bagian ini Paus mengajak pembacanya untuk mengingat bahwa perseteruan antarsaudara sejak awal mewarnai sejarah kehidupan manusia.
Dalam Kitab Kejadian yang merupakan kisah-kisah awal penciptaan manusia, terdapat kisah kain yang membunuh Habel saudaranya. Kisah ini selayaknya tidak dipandang dalam kerangka pembenaran atas ketidakpedulian antarsaudara.
Sebaliknya, kisah ini mendorong manusia untuk berefleksi adanya kebudayaan baru yang dapat diciptakan, yakni mengatasi permusuhan dan memperhatikan satu sama lain. Namun, benarkah permusuhan dan ketidakpedulian sudah mampu di atas oleh peradaban kini?
Baca juga: Paus Fransiskus dan Seruan untuk Lebih Menghargai Makanan
Perang dan pengungsi
Dalam dunia modern yang makin menjunjung tinggi pembelaan terhadap hak-hak manusia, nyatanya perang masih terjadi dengan alasan-alasan primordial seperti latar belakang suku, keyakinan dan agama. Padahal, perjuangan hak asasi manusia dalam semangatnya membela kemanusiaan dalam tataran universal melewati batas-batas keyakinan, agama, hingga suku.
Tak hanya dalam skala perang, pada konflik-konflik sosial lebih kecil pun problem diskriminasi akibat suku dan agama masih kerap terjadi. Seakan-akan kesamaan suku, agama, ataupun eksklusivitas lainnya dapat menjadi label yang mengasingkan orang lain dan menempatkannya sebagai liyan(others).
Dampak dari adanya konflik dan perang salah satunya adalah masalah kepengungsian. Akibat persekusi yang dialami, para pengungsi terpaksa keluar dari negaranya menuju tempat lain yang diharapkan lebih aman. Pengungsi sesuai dengan Fratelli Tutti merupakan orang-orang asing di jalan yang terluka dan terpinggirkan.
Upaya untuk membela hak-hak para pengungsi internasional sebenarnya sudah dilakukan pasca-Perang Dunia II. Tepatnya pada tahun 1951 ditandatangani konvensi tentang status para pengungsi. Dalam konvensi ini terdapat setidaknya 27 negara yang menandatangani. Vatikan menjadi salah satunya.
Dalam Pasal 1 Konvensi 1951 disebutkan bahwa pengungsi merupakan mereka yang terpaksa keluar dari negaranya disebabkan persekusi yang diterima dengan alasan ras, agama, kebangsaan, dan keanggotaannya terhadap kelompok sosial tertentu, serta pandangan politiknya. Persekusi yang dialami menimbulkan ancaman nyawa yang serius sehingga para pengungsi kehilangan perlindungan yang memadai di negaranya tinggal.
Secara prinsip, Konvensi 1951 mengakomodasi status pengungsi dari berbagai wilayah. Akan tetapi, dokumen ini masih terbatas pada akibat dari peristiwa seputar Perang Dunia II. Barulah dokumen ini dilengkapi dengan Protokol 1967 dengan batasan yang lebih luas, yakni peristiwa-peristiwa setelah Perang Dunia II yang menimbulkan persekusi.
Artinya, meskipun tidak terkait dengan Perang Dunia II, ketika persekusi dalam konflik baru yang muncul menyebabkan orang terpaksa meninggalkan negaranya, Konvensi 1951 dan Protokol 1967 berlaku untuk mengakui dan berpihak kepada pengungsi. Akan tetapi, upaya-upaya ini tampak tidak menghentikan perang-perang dan konflik yang terus menimbulkan masalah kepengungsian.
Baca juga: Lima Abad Garda Swiss Menjaga Keselamatan Sri Paus
Masalah kemanusiaan
Melihat data UNHCR tentang statistik pengungsi, pada akhir tahun 2023 terdapat setidaknya 117,3 juta orang yang terusir dari tempat tinggalnya.
Sebanyak 37,6 juta orang di antaranya berstatus sebagai pengungsi internasional. Apabila dilihat secara tren, terjadi peningkatan dari tahun ke tahun. Bahkan, dibandingkan dengan tahun 2000, jumlah pengungsi telah meningkat dua kali lipat.
Secara lebih khusus, wilayah Timur Tengah menjadi penyumbang terbesar jumlah pengungsi. Masih dari catatan UNHCR, Afghanistan dan Syria menjadi dua negara terbesar sebagai asal pengungsi. Sebanyak 6,4 juta pengungsi berasal dari Afghanistan. Dengan jumlah kurang lebih sama, 6,4 juta pengungsi berasal dari Syria.
Dua negara ini telah mengalami konflik internal sejak tahun 2000-an. Problem utamanya salah satunya akibat perang saudara. Gerakan Taliban menyebabkan terusirnya warga Afghanistan akibat pengucilan agama yang dianut.
Selain dua negara tersebut, masalah yang mirip juga terjadi di Sudan Selatan. Ketegangan etnis, perselisihan agama, hingga konflik perebutan sumber daya mengakibatkan setidaknya 2,3 juta orang Sudan Selatan harus mengungsi keluar dari negaranya.
Perkara ketegangan politik tak ketinggalan menyebabkan masalah kepengungsian. Hal ini setidaknya tampak dari jumlah pengungsi dari Venezuela yang mencapai 6,1 juta orang serta pengungsi dari Ukraina yang tak kurang dari 6 juta orang.
Problem kepengungsian menjadi masalah kemanusiaan tak hanya dalam jangka pendek, tetapi juga jangka panjang. Dari data yang sama, terdapat hingga 40 persen atau sekitar 47 juta dari mereka yang terusir dari tempat tinggalnya merupakan anak-anak berusia di bawah 18 tahun.
Tak hanya itu, setidaknya ada 2 juta bayi yang lahir sebagai pengungsi. Dari angka ini tampak bahwa masa depan anak-anak yang terpaksa menjadi korban persekusi tidak menentu. Perkara pendidikan, kesehatan, hingga kemandirian hidup menjadi problem lanjutan dari soal kepengungsian.
Undangan Paus Fransiskus
Di tengah situasi dunia yang tak berhasil menghentikan perang, undangan Paus Fransiskus untuk memperhatikan orang asing di jalan menjadi relevan. Dalam Bab II poin 65 Fratelli Tutti secara sederhana Paus Fransiskus membongkar problem ketidakpedulian manusia. Banyak orang yang menemukan sesamanya ”diserang” di jalan berlagak seolah tidak melihat apa pun.
Paus juga menambahkan, ”Karena kita semua sangat terpusat pada kebutuhan kita sendiri, melihat saja seseorang yang menderita sudah mengganggu kita, merisaukan kita, karena kita tidak ingin membuang-buang waktu dengan masalah orang lain.”
Dari fenomena yang sederhana ini, masalah kepengungsian yang kini menjadi masalah global bukan tidak mungkin bersumber dari ketidakpedulian tiap-tiap orang.
Karena itu, untuk keluar dari masalah kemanusiaan, prinsip yang dipegang selayaknya tidak perlu rumit, sebaliknya dari hal sederhana, yakni kepedulian terhadap sesama. Dalam Hari Pengungsi Sedunia 20 Juni 2024, Paus Fransiskus mengundang semua untuk memberikan perlakukan lebih baik kepada pengungsi.
Kala itu Paus mengatakan, ”Kita semua dipanggil untuk menyambut siapa saja yang mengetuk pintu kita. Saya berdoa agar negara-negara berusaha keras memastikan kondisi yang manusiawi bagi para pengungsi.” (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Paus, Arti Penting Indonesia