Putusan MK Geser Konstelasi Pilkada di Sumatera
Perubahan aturan pilkada pascaputusan MK mengubah peta politik di Sumatera.
Tidak hanya di Jawa, perubahan aturan main pilkada pascaputusan Mahkamah Konstitusi juga ikut mengubah peta politik di Sumatera. Di pengujung masa pendaftaran, muncul poros-poros baru di luar ekspektasi dari proses konsolidasi sebelumnya. Pergeseran konstelasi ini pun membuat pertarungan kian menarik untuk diperhatikan.
Di Pulau Jawa, konstelasi politik mengalami perubahan besar pasca-Putusan MK Nomor 60 dan 70 yang akhirnya menjadi dasar dari aturan main pilkada tahun ini.
Pemilihan gubernur Jawa Timur yang sebelumnya diperkirakan hanya akan diikuti oleh satu pasangan calon, misalnya, kini mempertarungkan tiga pasangan.
Situasi yang mirip juga terjadi di Jakarta. Pasangan Ridwan Kamil-Suswono yang diusung koalisi besar Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebelumnya diperkirakan hanya akan melawan pasangan calon independen, Dharma Pongrekun-Kun Wardana. Namun, kini mereka juga ditantang oleh pasangan calon dari PDI-P, Pramono Anung-Rano Karno.
Pergeseran skenario, utamanya di luar lingkar KIM plus, ternyata juga muncul di provinsi-provinsi di Pulau Sumatera. Sebelumnya, dengan tingginya ambang batas pencalonan, rekatnya kohesi partai-partai di dalam KIM membuat calon di luar koalisi ini sulit untuk bisa ikut berkontestasi. Walhasil, beberapa daerah pun terancam melangsungkan kontestasi dengan kotak kosong.
Baca juga : Banyak Daerah Calon Tunggal, Parpol Enggan Ubah ”Tiket” Pencalonan
Manuver PDI-P
Jika ditarik benang merah, partai yang menggeliat di percaturan politik daerah-daerah di Pulau Sumatera pascaputusan MK ini adalah PDI-P. Salah satu daerah dengan pergeseran peta politik yang menarik untuk dilihat ialah Sumatera Selatan. Sesaat sebelum putusan MK keluar, konsolidasi partai-partai di daerah ini tampak telah mengkristal ke arah dua kubu politik.
Di satu sisi, mayoritas partai yang tergabung dalam KIM plus, seperti Gerindra, Golkar, Gelora, PAN, dan PKB, serta partai lain, termasuk PKN, Hanura, Garuda, dan PPP, sepakat untuk mengusung pasangan Mawardi Yahya-Anita Noeringhati (Matahati). Lawannya, pasangan calon Herman Deru-Cik Ujang diusung oleh Nasdem, PKS, PBB, Demokrat, PSI, dan Perindo.
PDI-P yang saat itu belum menentukan pilihan dipandang sebagai penentu arah angin politik di daerah tersebut. Namun, alih-alih memberikan dukungan kepada kedua pasangan calon yang sudah muncul, partai ini justru mengusung calonnya sendiri.
Dengan kursi sebesar 12 persen dan suara sebanyak 9 persen, partai ini berhak untuk mencalonkan kandidatnya berdasarkan putusan MK terbaru. Menariknya, sosok yang diusung ialah Eddy Santana, kader dari Partai Gerindra yang masih menjabat sebagai anggota DPR.
Cerita serupa juga terjadi di Lampung. Di provinsi ini, peta politik memang relatif lebih cair dibandingkan Sumatera Selatan, di mana hanya ada satu kandidat, yakni Ketua DPD Gerindra Lampung Rahmat Mirzani Djausal, yang sedari awal memiliki jalan relatif mulus menuju pendaftaran di KPU. Dengan proses konsolidasi yang tampak lancar dengan PKB, duet antara Gerindra dan PKB sudah terbaca jauh sebelum loket pendaftaran dibuka.
Sementara beberapa sosok lain, seperti petahana Arinal Djunaedi, Hanan Rozak, dan Umar Ahmad, tampak kesulitan mendapat dukungan dari partai. Bahkan, di Golkar, muncul dualisme dukungan. Muncul dua surat keputusan penugasan kepada Hanan Rozak dan Arinal Djunaedi secara bersamaan.
Di luar dugaan, di tikungan terakhir, Arinal yang merupakan Ketua DPD Partai Golkar justru diusung oleh PDI-P. Memiliki kekuatan kultural di basis-basis agrikultural Lampung, munculnya duet antara petahana dan PDI-P ini menjadi tantangan serius bagi pasangan Mirza-Jihan. Meski di atas kertas pasangan calon ini mendulang dukungan yang lebih kuat dari 12 partai.
Meskipun tampak paling diuntungkan, nyatanya bukan hanya PDI-P yang ikut diberi kesempatan dengan munculnya putusan MK ini. Hal ini terlihat pada peta pilkada di Jambi.
Sebelum adanya putusan tersebut, hanya ada satu calon dari koalisi partai yang menonjol, yakni pasangan Al Haris-Abdullah Sani. Pasangan calon ini didukung oleh koalisi yang sangat gemuk, berisikan 12 partai baik dari poros KIM plus maupun PDI-P.
Dengan koalisi sebesar itu, lebih dari 90 persen kursi DPRD Provinsi Jambi, mustahil bagi partai lain untuk bisa ikut masuk ke dalam gelanggang.
Namun, berkat putusan MK, Partai Nasdem bersama dengan partai nonparlemen, seperti Gelora, PKN, dan PSI, bisa mencalonkan pasangan Romi Hariyanto-Sudirman. Walhasil, kontestasi di daerah ini menjadi lebih dinamis dan terlepas dari bencana kotak kosong.
Baca juga: Cegah Kampanye Hitam, Kejaksaan Tunda Proses Hukum Calon di Pilkada
Peta tak berubah
Meskipun sejumlah daerah di Sumatera bergerak secara dinamis, masih ada beberapa wilayah yang tidak banyak terpengaruh dengan putusan MK. Salah satu wilayah yang relatif stabil ialah Kepulauan Riau. Di provinsi ini, muncul dua kubu yang cukup seimbang.
Kubu pertama adalah petahana Ansar Ahmad yang berpasangan dengan Nyanyang Haris Pratamura. Mereka diusung oleh empat partai, yakni Golkar, Gerindra, Perindo, dan PKS.
Kekuatan empat partai ini setara dengan 27 persen dari kursi di legislatif provinsi tersebut. Adapun di kubu kedua terdapat pasangan Muhammad Rudi dan Aunur Rafiq. Mereka diusung oleh Nasdem yang menguasai 29 persen kursi parlemen daerah.
Daerah lain yang sebelum putusan MK sudah dinamis adalah Riau. Dukungan politik dari partai di provinsi ini terbagi cukup merata ke tiga poros. Poros pertama diisi oleh calon yang diusung 10 partai, yakni Muhammad Nasir dan Muhammad Wardan. Meski banyak, komposisi 10 partai tersebut hanya mencakup sepertiga dari kursi legislatif daerah.
Di poros kedua muncul duet antara petahana Syamsuar dan tokoh agama Mawardi Saleh yang diusung Golkar dan PKS. Dua partai ini saja menduduki 20 kursi atau 31 persen dari total kursi di parlemen Provinsi Riau.
Di poros ketiga ada pasangan Abdul Wahid dan Hariyanto yang diusung PKB, PDI-P dan Nasdem dengan kekuatan 23 kursi atau 35 persen dari porsi kursi legislatif Riau.
Selain itu, konstelasi politik juga tidak terlalu banyak bergeser di Sumatera Utara dan Sumatera Barat. Di Sumatera Utara, head to head antara poros KIM plus yang diwakili oleh pasangan calon Bobby Nasution-Surya dan poros PDI-P, yakni Edy Rahmayadi dan Hasan Basri Sagala, sudah tampak sejak beberapa waktu lalu.
Sementara di Sumatera Barat, kabar soal kemungkinan pertarungan antara poros petahana dan KIM, yakni pasangan calon Mahyeldi-Vasko Ruseimy dan Epyardi Asda-Ekos Albar dari PAN pun sudah beredar beberapa bulan sebelum pendaftaran dibuka.
Pada akhirnya, munculnya putusan MK sedikit banyak pasti memengaruhi angin konsolidasi yang sebelumnya telah begitu kencang bertiup ke arah KIM.
Putusan yang mengagetkan ini secara langsung menghidupkan lagi kartu-kartu yang sebelumnya dianggap mati dalam kontestasi pilkada ke depan.
Tentu, dengan makin banyaknya pilihan dalam kertas suara, proses demokrasi dalam kontestasi pemilihan kepala daerah mendatang pun akan makin meriah. (LITBANG KOMPAS)