Mengapa Pembatasan Usia Pelamar Kerja Termasuk Bentuk Diskriminasi?
Pembatasan usia dalam lowongan pekerjaan dinilai sebagai diskriminasi usia atau ”ageism”. Apa alasannya?
Apa yang bisa Anda pelajari dari artikel ini?
1. Mengapa perusahaan menetapkan batasan usia pada lowongan kerja?
2. Persyaratan batasan umur, mengapa digugat ke MK dan apa hasil putusannya?
3. Siapa yang dirugikan dengan adanya diskriminasi usia?
4. Bagaimana upaya negara lain menanggulangi diskriminasi usia?
Mengapa perusahaan menetapkan batasan usia pada lowongan kerja?
Pencantuman usia dalam lowongan kerja tampaknya lumrah ditemui di Indonesia, baik oleh perusahaan swasta maupun badan usaha milik negara atau BUMN. Kebanyakan lowongan pekerjaan memberikan syarat usia dengan batas maksimal sangat muda, yakni di kisaran 30 tahun atau bahkan 22-25 tahun untuk posisi entrylevel.
Sementara pada tingkatan yang lebih tinggi, pembatasan usia diterapkan dengan rentang usia yang beragam. Tak sedikit persyaratan ini juga diikuti dengan kriteria dan syarat keahlian tertentu untuk satu posisi kerja.
Lantas apa alasan perusahaan menerapkan pembatasan usia tersebut? Rupanya ada beragam alasan di balik persyaratan batasan usia itu. Salah satu alasan utamanya adalah untuk menghindari kemungkinan perusahaan mempekerjakan anak.
Merujuk pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 1 Ayat (26), anak adalah orang dengan umur di bawah 18 tahun. Dengan adanya batas umur minimal 18 tahun itu, perusahaan bisa menghindari mempekerjakan anak.
Pembatasan usia juga ditujukan untuk melindungi tenaga kerja, baik keselamatan, kesehatan, maupun moral pekerja. Terkait keselamatan kerja, banyak posisi yang membutuhkan tenaga prima. Usia produktif lebih dicari karena dinilai lebih bisa mengatur waktu, tenaga, serta bisa diandalkan dalam bekerja.
Sementara alasan perusahaan mencantumkan batas usia maksimal pelamar kerja adalah berkaitan dengan usia produktif. Mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), golongan usia produktif di Indonesia adalah 15 tahun sampai 64 tahun.
Selain itu, pembatasan usia melamar kerja sangat mungkin dilakukan karena alasan pragmatis pemberi kerja untuk mengurangi biaya perekrutan jika pelamar berjumlah banyak. Di samping itu, pekerja usia muda atau lulusan baru lebih cenderung mau menerima gaji yang lebih rendah dan lebih mudah dibentuk kultur kerjanya.
Batas usia ini juga menjadi cara pihak bagian sumber daya manusia (SDM atau HRD) agar lebih mudah menyaring pelamar sehingga jumlah pelamar juga tidak membeludak. Karena, jika dibandingkan dengan negara lain di luar sana, jumlah penduduk dan usia produktif di Indonesia ini sangat besar.
Ada juga sejumlah perusahaan yang merekrut karyawan muda yang berkisar di usia 20-an karena untuk branding perusahaan. Ada perusahaan yang memang mengkhususkan diri sebagai tempat berkumpulnya anak muda.
Persyaratan batasan usia, mengapa digugat ke MK dan apa hasil putusannya?
Dengan adanya persyaratan batas usia itu, peluang bagi pelamar kerja berusia di atas 30 tahun untuk mendapatkan tawaran pekerjaan kian sulit. Bahkan, penolakan dan kegagalan kerap membayangi para pencari kerja yang berusia di atas 30 tahun. Pembatasan usia ini pun dinilai sebagai bentuk diskriminasi usia.
Karyawan swasta asal Kota Bekasi, Jawa Barat, Leonardo Olefins Hamonangan, lantas menggugat batasan umur yang menjadi syarat untuk bisa bekerja ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam Sidang Perkara Nomor 35/PUU-XXII/2024 mengenai Pengujian Materiil Pasal 35 Ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (18/3/2024), Leonardo selaku pemohon mengaku keberatan dengan adanya pembatasan usia tersebut.
Menurut pemohon, isi Pasal 35 Ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 membuka pintu bagi potensi diskriminasi dan pemberi kerja dapat memilih tenaga kerja berdasarkan kriteria yang tidak relevan atau diskriminatif, seperti usia, jenis kelamin, atau latar belakang etnis. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip kesetaraan dan nondiskriminasi yang mendasari hukum ketenagakerjaan.
Pemohon juga menilai, Pasal 35 Ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 menciptakan ketimpangan generasi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa banyak perusahaan yang lebih menyukai merekrut pekerja usia muda. Banyak perusahaan menetapkan batas maksimal yang tidak wajar sehingga usia yang tidak memenuhi kualifikasi dapat dianggap tidak kompeten atau sudah uzur.
Pemohon juga membandingkan peraturan larangan diskriminasi dalam perekrutan di negara lain, seperti Amerika Serikat, Jerman, dan Belanda. Menurut dia, Jerman memiliki peraturan yang rinci dan jelas terkait persoalan batas maksimal usia, persyaratan, pengalaman kerja, dan lain-lain.
Namun, upaya tersebut tak berjalan mulus. Mahkamah Konstitusi menolak permohonan perkara terkait uji materiil Pasal 35 Ayat (1) UU Nomor 13 Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan yang dianggap berpotensi diskriminasi oleh pemberi kerja berdasarkan kriteria tidak relevan dan diskriminatif pada 30 Juli 2024.
MK menolak permohonan atas dasar diskriminasi bukanlah menjadi bagian lingkup diskriminasi menurut hasil putusan MK sebelumnya, yaitu putusan MK Nomor 024/PUU-III/2005 dan putusan MK Nomor 72/PUU-XXI/2023. Dalam aturan itu, tindakan diskriminatif didefinisikan sebagai pembedaan yang didasarkan pada agama, suku, ras etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, dan keyakinan politik.
Dalam pertimbangan hukum, Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan, hak asasi manusia dikatakan sebagai tindakan diskriminatif apabila terjadi pembedaan yang didasarkan pada agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Berdasarkan pertimbangan itu, batasan diskriminasi tersebut tidak terkait dengan batasan usia, pengalaman kerja, dan latar belakang pendidikan.
Baca juga: Diskriminasi Usia Para Pencari Kerja
Meski begitu, MK menegaskan, dalam penempatan tenaga kerja harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja serta pada saat yang bersamaan harus pula mempertimbangkan kebutuhan dunia usaha yang dapat mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Untuk mendukung hal tersebut, penempatan tenaga kerja dilaksanakan berdasarkan asas terbuka, bebas, obyektif, serta adil dan setara tanpa diskriminasi.
Selain itu, juga harus menempatkan tenaga kerja pada jabatan yang tepat sesuai dengan keahlian, keterampilan, bakat, minat, dan kemampuan dengan memperhatikan harkat, martabat, hak asasi, dan perlindungan hukum. Dengan demikian, pemberi kerja yang menentukan syarat tertentu, seperti batasan usia, pengalaman kerja, dan latar belakang pendidikan, bukanlah merupakan tindakan diskriminatif.
Dalam putusan itu, Hakim Konstitusi Guntur Hamzah menyatakan dissentingopinion atau beda pendapat. Menurut dia, MK dapat mengabulkan sebagian permohonan dari pemohon. Guntur mengatakan, syarat pekerjaan seperti syarat usia dan ”berpenampilan menarik” merupakan bentuk diskriminatif dalam lowongan pekerjaan.
Guntur berpandangan, adanya lowongan pekerjaan yang mensyaratkan adanya usia tertentu memang dapat menghambat masyarakat yang sejatinya memiliki kompetensi dan pengalaman lebih, tetapi terhalang usia.
Siapa yang dirugikan dengan adanya diskriminasi usia?
Terlepas dari keputusan yang telah diambil MK tersebut, normalisasi terhadap diskriminasi berbasis usia secara umum bisa berimbas pada seluruh angkatan kerja. Terutama pekerja yang sedari awal berada dalam posisi lebih rentan, seperti pekerja dengan status kontrak, akan merasakan dampak yang lebih besar.
Selain itu, batasan usia juga bakal lebih merepotkan bagi pekerja kontrak yang tidak punya kepastian akan dikontrak hingga berapa lama. Ketika usia tak lagi muda dan kontrak kerja berakhir, mereka akan lebih sulit melamar pekerjaan yang memiliki syarat usia maksimal.
Baca juga: Pengangguran Lulusan Perguruan Tinggi Meningkat
Padahal, pekerja kontrak memiliki keamanan kerja yang relatif rendah. Misalnya, mereka tidak pernah punya jaminan bahwa kontrak pekerjaan mereka akan terus diperpanjang. Kontrak yang habis masa berlakunya akan serta-merta menyebabkan pekerja tersebut langsung kehilangan pekerjaan.
Bayangkan, ketika pekerja habis masa kontraknya dalam usia yang tidak lagi ”muda”, batasan usia dalam lowongan kerja yang beredar akan menyulitkan pekerja untuk mencari pekerjaan baru. Padahal, kondisi pasar kerja Indonesia yang kian fleksibel selepas terbitnya Undang-Undang Cipta Kerja menyebabkan pekerja makin mudah dipekerjakan dengan kontrak tidak tetap.
Selain pekerja kontrak, pembatasan usia juga bisa berdampak pada pekerja perempuan. Banyak dari mereka berhenti bekerja sementara waktu setelah menikah, hamil, dan memiliki anak. Ketika mereka ingin kembali melamar kerja, usia mereka telanjur melewati batas yang disyaratkan.
Maka, tak heran jika jumlah angkatan kerja perempuan di Indonesia jauh lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Mengutip laman BPS, pada 2023 tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) laki-laki sebesar 86,97 persen, sementara perempuan hanya 60,18 persen.
Bahkan, menurut penelitian dosen Hukum Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati, soal ”Bias Gender dalam Ekonomi Gig”, perempuan yang kembali bekerja setelah vakum sering kali hanya bisa mendapat kerja di sektor informal. Ia mewawancarai para perempuan pengemudi ojek online dan rata-rata mereka mengaku terpaksa menarik ojek karena usianya tak lagi memungkinkan untuk kerja kantoran, padahal mereka masih berusia 30-40 tahun.
Bagaimana upaya negara lain menanggulangi diskriminasi usia?
Di banyak negara lain, praktik pembatasan usia dalam lowongan pekerjaan dapat dikategorikan sebagai diskriminasi berbasis usia (ageism). Ini terjadi ketika seseorang dirugikan secara tidak adil karena alasan, yang tidak dapat dibenarkan secara obyektif, terkait dengan usianya.
Mengutip laman Ageism.org, ageism adalah bias ketika seorang pekerja mendapat pandangan dan perlakuan berbeda terkait umurnya, seperti soal stigma penurunan produktivitas ketika seseorang mencapai usia tertentu. Dalam hal ini, pembatasan usia maksimal dalam iklan lowongan kerja merupakan salah satu bentuk ageism dan berpotensi melanggar hak pekerja.
Berbagai negara telah melarang praktik ageism di tempat kerja. Larangan ini didasari pemahaman bahwa usia merupakan indikator prediksi kinerja yang buruk dan sering kali tidak berhubungan dengan kemampuan kerja. Bisa tidaknya seseorang bekerja di suatu posisi seharusnya berdasar pada kompetensi, kualifikasi, dan keterampilan yang dimiliki orang tersebut.
Di kawasan ASEAN, Singapura telah menerapkan beberapa langkah untuk mencegah dan menanggulangi diskriminasi usia melalui kerangka kerja Fair Consideration Framework (FCF) yang dapat memberikan jaminan kesempatan kerja bagi semua orang.
Singapura juga memiliki regulasi hukum Retirement and Re-employment Act (RRA). Ada pula bentuk subsidi upah bagi pemberi kerja melalui Special Employment Credit (SEC), serta skema dukungan pelatihan bagi pekerja berusia 35 tahun ke atas melalui Workfare Training Support (WTS).
Filipina juga telah memiliki regulasi untuk menanggulangi isu diskriminasi usia kerja. Hal itu diatur dalam Republic Act No 10911 atau dikenal dengan Anti-Age Discrimination in Employ Act yang disahkan pada 2016.
Pemerintah Filipina juga melarang adanya iklan kerja berdasarkan usia, mencegah praktik perekrutan yang tidak adil, menerapkan perlakuan yang sama kepada tenaga kerja di segala usia, dan memberikan perlindungan terhadap pensiun paksa.
Sementara di negara-negara maju, sejak tahun 2000, Uni Eropa telah mengeluarkan larangan diskriminasi berdasarkan usia dalam pekerjaan dan jabatan. Kemudian, pada Juli 2008 Komisi Eropa mengusulkan arahan lain mengenai penerapan prinsip perlakuan yang sama kepada orang-orang tanpa memandang usia.
Begitu pun di Australia, The Age Discrimination Act (ADA) 2004 merupakan undang-undang yang melarang adanya diskriminasi dalam pekerjaan berdasarkan usia. ADA melindungi warga Australia, baik yang lebih muda maupun yang lebih tua, dari diskriminasi di bidang kehidupan publik lainnya, termasuk pendidikan, mendapatkan dan menggunakan layanan publik, atau menyewa dan membeli rumah.
Amerika Serikat juga telah melakukan beberapa tindakan penting untuk melindungi individu lanjut usia dari diskriminasi usia. Misalnya dengan memberlakukan The Age Discrimination in Employment Act of 1967 (ADEA).
Undang-undang ini melindungi orang yang berusia 40 tahun ke atas dari praktik ageism. Undang-undang ini menyatakan dengan tegas bahwa mendiskriminasikan seseorang berdasarkan usianya adalah tindakan ilegal.
Becermin dari negara-negara tersebut, Indonesia sudah semestinya turut memberikan perlindungan hukum terhadap praktik ageism sebab begitu banyak masyarakat yang merasa sangat dirugikan akibat persyaratan usia kerja ini. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Diskriminasi Pembatasan Usia Pencari Kerja Perlu Menjadi Perhatian Negara