Namun, dengan melihat struktur ekonomi Jakarta saat ini agaknya kontraksi takkan sebesar perkiraan. Mengapa demikian?
Jika mencermati data PDRB menurut 17 lapangan usaha yang rutin dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), struktur ekonomi Jakarta mengalami perubahan dari sebelum wacana pemindahan ibu kota ramai diperbincangkan. Perubahan struktur ekonomi ini terlihat paling tidak dalam 14 tahun terakhir, di mana teknologi digital berkembang sangat pesat dibarengi tren sektor tersier (jasa) yang semakin mendominasi.
Sebagai gambaran, pada 2010, tiga lapangan usaha penopang perekonomian Jakarta adalah perdagangan besar dan eceran dengan kontribusi 16,82 persen, dilanjutkan industri pengolahan (14,2 persen) dan konstruksi (14,02 persen). Sementara tahun 2023, sektor perdagangan besar dan eceran (15,69 persen), informasi dan komunikasi (13,74 persen), disusul industri pengolahan (11,36 persen).
Selama periode tersebut terjadi penurunan kontribusi dari sektor perdagangan besar dan eceran serta industri pengolahan kendati masih menempati posisi tiga besar dari total 17 lapangan usaha. Pendatang baru datang dari sektor informasi dan komunikasi yang naik signifikan, bahkan melampaui kontribusi sektor konstruksi dan jasa keuangan yang sebelumnya lebih unggul.
Kendati perdagangan besar dan eceran masih mendominasi ekonomi Jakarta sampai saat ini, perlu diwaspadai karena kontribusinya konsisten menurun rata-rata 0,67 persen per tahun (2014-2023). Bisa dibayangkan ketika Jakarta tidak lagi menyandang status ibu kota negara, tren penurunannya bisa jadi semakin besar. Beban sebagai pusat pemerintahan akan berkurang yang akan berimbas ke penurunan permintaan.
Tren penurunan lebih dalam terjadi pada industri pengolahan. Rata-rata penurunan kontribusi sektor ini mencapai 1,25 persen per tahun pada periode sama. Sebenarnya ada banyak faktor penyebab, mulai dari geopolitik yang memanas, kondisi usaha belum pulih pascapandemi, hingga persoalan iklim usaha. Melihat tren ini agaknya sulit mengandalkan ekonomi Jakarta dari dua sektor tersebut di masa depan.
Angin segar datang dari informasi dan komunikasi, atau dikenal dengan sektor digital. Sektor ini tumbuh signifikan paling tidak dalam satu dekade terakhir, bahkan semakin masif ketika pandemi Covid-19. Kontribusi sektor informasi dan komunikasi terhadap PDRB Jakarta naik rata-rata 4,46 persen setiap tahun. Pada 2014, kontribusinya masih 9,36 persen, kemudian melonjak tahun 2023 menjadi 13,74 persen.
Peningkatan kontribusi sektor informasi dan komunikasi memang tak terlepas dari agenda transformasi digital. Di Jakarta, agenda ini diwujudkan dalam berbagai program, seperti pengembangan jaringan dan infrastruktur digital yang murah juga terjangkau, digitalisasi dan integrasi sistem pembayaran untuk transportasi publik, serta implementasi elektronifikasi transaksi pemerintah daerah.
Tren pertumbuhan sektor informasi dan komunikasi akan menjadi sumber ekonomi baru bagi Jakarta jika dapat dikelola dengan baik. Mengutip Ekonom Senior, Chatib M Basri, ekonomi baru yang dimaksud adalah model perekonomian sebagai respons terhadap tekanan dan peluang baru yang diciptakan oleh teknologi baru, persaingan global, dan inovasi di pasar keuangan dunia.
Model ekonomi baru akan membawa Jakarta pasca-ibu kota negara. Berbeda dengan model klasik yang mengandalkan perekonomian berbasis manufaktur dan komoditas, ekonomi baru justru mengandalkan teknologi untuk menciptakan produk dan jasa baru dengan kecepatan yang tak bisa dilakukan perekonomian klasik. Jika dikelola dengan tepat, pertumbuhan sektor informasi dan komunikasi akan memberikan daya ungkit terhadap lapangan usaha lain.
Baca juga: Apa Kabar Ekonomi Jakarta Tanpa Status Ibu Kota?
Meski demikian, pesatnya perkembangan teknologi digital di Jakarta bukan tanpa tantangan. Di satu sisi, jika dapat dikelola dengan baik dapat menjadi opsi sumber pertumbuhan baru. Namun, di sisi lain, pilihan ini akan membawa Jakarta pada tantangan distrupsi teknologi yang akan berdampak pada berkurangnya penyerapan tenaga kerja manufaktur dan jasa karena penggunaan teknologi yang semakin intensif.
Transaksi digital
Pesatnya perkembangan ekonomi digital yang dikelola dengan baik akan membuat berbagai urusan menjadi kian efektif dan efisien. Salah satu yang paling nyata dalam transaksi pembayaran. Jika sebelumnya transaksi tunai mendominasi kini mulai bergeser menjadi transaksi non-tunai. Hal ini terpotret dari peningkatan penggunaan quick response code Indonesian standard (QRIS) atau standar kode QR untuk pembayaran digital.
Kantor Perwakilan Bank Indonesia DKI Jakarta mencatat, volume transaksi QRIS di Jakarta per Mei 2024 mencapai 153,97 juta atau 31,9 persen pangsa pasar nasional. Dibandingkan dengan Mei 2021, volume transaksi QRIS melonjak 17 kali lipat seiring semakin banyaknya penyediaan QRIS di toko atau merchant. Total pedagang pengguna QRIS mencapai 5,4 juta atau hampir 20 persen pangsa nasional.
Menariknya, QRIS tidak hanya tersedia di toko atau mal, tetapi mulai merambah ke pedagang kecil yang berjualan di pinggir jalan. Bahkan, QRIS kerap dimanfaatkan dalam berbagai acara, seperti pernikahan dan kegiatan sosial. Saat ini juga tersedia QRIS lintas negara yang memudahkan wisatawan mancanegara untuk bertransaksi di Indonesia. Kemajuan teknologi dalam industri keuangan ini menciptakan kemudahan di berbagai sendi-sendi kehidupan.
Selain QRIS, pesatnya pertumbuhan ekonomi digital juga tecermin dari peningkatan volume transaksi uang elektronik. Per Mei 2024, volume transaksi uang elektronik mencapai 481,9 juta atau tumbuh 26,3 persen dibandingkan dengan periode sama tahun 2023. Pangsa pasar uang elektronik di Jakarta mencapai 30 persen nasional. Uang elektronik ini mencakup berbagai bentuk, seperti aplikasi dompet digital maupun kartu (e-money).
Bank Indonesia mencatat, Mei tahun ini saja nominal transaksi uang elektronik di Jakarta mencapai Rp 23,65 triliun atau 51,6 persen pangsa pasar nasional. Angka ini juga naik 22 persen dibandingkan dengan Mei tahun 2023. Adapun nominal transaksi QRIS pada Mei 2024 di Jakarta sebesar Rp 14,7 triliun, atau naik hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan periode sama tahun lalu.
Transaksi digital di Jakarta memang sudah menjadi hal lumrah. Hampir semua transaksi yang berkaitan dengan kebutuhan sehari-hari bisa dibayar dengan memindai kode QR. Tidak hanya transaksi belanja, saat ini integrasi pembayaran digital juga sudah diterapkan di hampir semua transportasi publik di Jakarta. Pilihan moda angkutan juga kian beragam dengan kehadiran transportasi daring.
Pertumbuhan transaksi digital tidak terlepas perkembangan sektor tersier (jasa). Dalam diskusi Bincang-Bincang Media (BBM) awal Agustus lalu, Kepala Perwakilan BI KPw Provinsi DKI Jakarta Arlyana Abubakar menuturkan, sektor penopang pertumbuhan Jakarta sudah bergeser ke sektor jasa ditopang jasa keuangan dan jasa perusahaan. Nilai ekonomi dan kontribusi sektor jasa konsisten naik di tengah turunnya sektor sekunder— industri pengolahan dan konstruksi.
Jika dicermati, 6 dari 17 lapangan usaha PDRB Jakarta adalah sektor jasa mencakup jasa keuangan dan asuransi, jasa perusahaan, jasa pendidikan, jasa kesehatan dan kegiatan sosial, serta jasa lainnya. Proporsi sektor tersier ini hampir 30 persen PDRB, dan trennya terus naik setiap tahun. Dominasi sektor jasa dan pesatnya ekonomi digital menjadi modal untuk mendorong peningkatan daya saing sebagai kota global.
Baca juga: Tantangan DKI Jakarta Menuju Kota Global
Jakarta saat ini sebenarnya sudah menjadi kota global, bukan lagi menuju kota global. Permasalahannya justru bagaimana meningkatkan daya saing kota global ini. Menurut lembaga Kearney, dalam Laporan The Global Cities Report 2023, Jakarta menempati peringkat ke-74 dari 156 negara yang diteliti. Posisi ini berada di bawah kota-kota besar lainnya di Asia Tenggara, seperti Singapura yang berada diurutan ke-7, Bangkok (45), Manila (70), dan Kuala Lumpur (72).
Istilah kota global hadir dalam diskursus akademik sejak tahun 1990. Kriteria yang ditetapkan pun berbeda-beda, tetapi umumnya bertumpu pada sektor jasa global (keuangan, manajemen, dan hukum), menjadi lokasi kantor pusat perwakilan banyak perusahaan transnasional, serta didukung oleh infrastruktur penghubung global (bandara dan pelabuhan berskala internasional).
Apa pun yang terjadi di Jakarta dan sekecil apa pun progresnya tentu akan membawa dampak besar bagi perekonomian nasional. Kontribusi ekonomi Jakarta berkisar 15-16 persen terhadap nasional, ditambah pangsa pasar digital yang mencapai 30 persen nasional dan berpotensi terus naik. Peningkatan daya saing, terutama dalam kemudahan transaksi keuangan digital, akan menjadi pengungkit bagi daerah-daerah lain.
Untuk meningkatkan daya saing Jakarta sebagai kota global, kemudahan transaksi keuangan menjadi keniscayaan. Kemudahan transaksi yang diwujudkan dengan integrasi pembayaran digital akan mendorong semakin banyak wisatawan datang, perhelataninternasional digelar, dan kegiatan-kegiatan lain yang membuat ekonomi Jakarta terkoneksi global. Bukankah alasan untuk mengglobal agar Jakarta tetap menyala ketika tak menjadi ibu kota negara? (LITBANG KOMPAS)