Diskriminasi Pembatasan Usia Pencari Kerja Perlu Menjadi Perhatian Negara
Polemik diskriminasi usia pencari kerja menanti jalan keluar. Terlebih, penambahan usia produktif matang kian meningkat.
Semakin maraknya lowongan pekerjaan dengan kriteria usia yang tergolong muda masih menjadi perbincangan hangat di media sosial. Melalui aplikasi Talkwalker, terlihat masih muncul 8.299 unggahan konten terkait ”usia kerja” di media sosial dalam satu pekan terakhir (23-29 Agustus 2024).
Dua konten yang menghasilkan banyak atensi warganet ialah unggahan tentang ”kenapa usiadi atas 25 tahun susah cari kerja?” dan respons atas permintaan penghapusan batas usiakerja, tetapi malah dibantah dengan argumen ”kalau kita mau usaha kita pasti bisa”.
Masih awetnya atensi warganet ini tak terlepas dari upaya gugatan yang diajukan Leonardo Olefins Hamonangan (Leo) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pasal 35 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Leo menguji pasal tersebut dengan dasar bahwa masih banyak pemberi kerja menormalisasi syarat batas usia maksimal 25 tahun di lowongan pekerjaan.
Hanya saja, upaya tersebut tak berjalan mulus karena MK mengeluarkan putusan penolakan terhadap gugatan uji materi tersebut pada 30 Juli 2024.Penolakan permohonan perkara terkait uji materi pasal yang berpotensi diskriminatif terhadap usia menutup peluang bagi para pencari kerja di usia matang.
Pasal 35 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan, yang berbunyi ”Pemberi kerja yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja”, dianggap sebagai potensi terjadinya diskriminasi, terutama diskriminasi usia.
Pasal tersebut memberikan bentuk kebebasan dan kewenangan penuh pemberi kerja untuk secara leluasa menentukan kriteria perekrutan tenaga kerja. Termasuk kriteria yang tidak berhubungan dengan jenis pekerjaan yang dibutuhkan, seperti contohnya usia, penampilan, dan berbagai bentuk diskriminasi lain. Leo juga menganggapi bahwa Pasal 35 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan juga bertentangan dengan pasal-pasal yang lain terkait jaminan dan perlindungan terhadap hak setiap orang mendapatkan perlakuan adil.
MK menolak permohonan atas dasar diskriminasi bukanlah menjadi bagian lingkup diskriminasi menurut hasil putusan MK lainnya (MK nomor 024/PUU-III/2005 dan MK 72/PUU-XXI/2023). MK juga menegaskan sudah terdapat Pasal 5 UU Ketenagakerjaan yang cukup tegas melindungi hak pencari kerja untuk memiliki kesempatan yang sama tanpa menerima perlakukan diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan.
Namun, dalam praktiknya, pasal tersebut tidak dapat secara penuh melakukan perlindungan bagi para pencari kerja. Perlindungan antidiskriminasi yang tidak memasukkan usia sebagai lingkup definisi diskriminasinya juga tidak bisa secara khusus menyelesaikan permasalahan ini. Maraknya kasus batasan usia dalam kriteria lowongan pekerjaan tersebut tak hanya perusahaan swasta, bahkan perusahaan negara (BUMN) hingga instansi pemerintah lainnya juga secara terperinci memiliki batasan usia sebagai kriteria tenaga kerja yang mereka cari.
Kecemasan tidak hanya menyasar tenaga kerja yang masih produktif di usia tua. Mereka yang produktif di usia muda juga kian sulit memasuki pasar kerja karena banyaknya pesaing di usianya yang diburu waktu karena mengejar batas usia yang ada. Iklim kompetisi dunia kerja semakin terasa sulit bagi para pekerja usia muda karena tak jarang permintaan tenaga kerja formal umumnya memberikan batas usia maksimal 25 tahun dengan kriteria pengalaman kerja yang tinggi.
Surplus tenaga kerja Indonesia
Langkah Pemerintah Indonesia masih dinanti untuk menuntaskan diskriminasi usia pencari kerja yang berlangsung. Tak cukup hanya dengan peraturan Pasal 5 UU No 13/2003 yang melarang adanya diskriminasi usia pencari kerja serta menjamin hak pekerja untuk memiliki kesempatan yang sama di pasar kerja. Dibutuhkan regulasi yang lebih terperinci mengenai diskriminasi dan memasukkan usia sebagai lingkup diskriminasi atau bahkan secara khusus membuat regulasi antidiskriminasi usia.
Tak semata menjadi langkah penyelesaian masalah untuk saat ini saja, kepastian perlindungan hak pencari kerja tersebut menyelamatkan pasar tenaga kerja hingga 2050 mendatang. Dilihat melalui proyeksi tren pertumbuhan penduduk, hingga 2050 jumlah usia produktif di Indonesia diperkirakan mencapai 213 juta orang dengan pertumbuhan total penduduk saat itu mencapai kisaran 328 juta penduduk. Meski pertumbuhan penduduk meningkat dan usia produktif juga bertambah, terdapat kecenderungan penurunan produktivitas di usia muda.
Kecenderungan penurunan penduduk tidak hanya terjadi di usia nonproduktif 0-14 tahun, tetapi juga usia produktif muda 15-49 tahun. Penambahan proporsi pertumbuhan penduduk justru ditunjukan pada usia produktif matang 50 tahun ke atas sampai usia nonproduktif di atas 65 tahun dengan kenaikan 3-4 persen pada rentang tahun 2020-2050. Penurunan proyeksi penduduk di usia muda ini seturut dengan kecenderungan turunnya rata-rata jumlah anak per perempuan selama rentang usia reproduksi atau total fertility rate (TFR) hingga ke angka 1,95.
Meski target Indonesia Emas di tahun 2045 terjadi surplus tenaga kerja, menjelang 2045 diproyeksikan terjadi penurunan tenaga kerja berusia muda dan terjadi meningkat jumlah masyarakat di rentang usia 50-64 tahun hingga usia nonproduktif di atas 65 tahun. Hal ini menimbulkan potensi ancaman bagi ketersediaan tenaga kerja berusia muda kisaran 15-49 tahun dan kian sulitnya peluang bagi tenaga kerja di usia yang lebih senior rentang 50-64 tahun.
Dengan ketidakstabilan kondisi pasar kerja saat ini ditambah gelombang PHK yang kian marak terjadi di awal tahun 2024, tenaga kerja usia matang dan memiliki pengalaman profesional justru memiliki peluang semakin sempit. Proporsi penduduk usia produktif muda saat ini akan bergeser 5 hingga 10 tahun ke depan memasuki usia di atas 30 tahun.
Dengan TFR yang kian menurun, proporsi penduduk akan menumpuk di usia tua. Ditambah dengan kondisi proyeksi rasio ketergantungan atau dependency ratio yang juga meningkat ke angka 54 persen serta bertambahnya proporsi penduduk dependen di usia tua, diperlukan langkah antisipasi yang tepat untuk menghadapi masa depan nanti.
Ketidakpastian jaminan pencari kerja ataupun ketetapan regulasi menghadapi lowongan kerja yang diskriminatif bagi penduduk berusia tua produktif turut menjadi ancaman serius bagi kemajuan nasional. Pola penurunan tren proyeksi penduduk muda di Indonesia dan porsi penduduk meningkat di usia produktif matang perlu diantisipasi jika kondisi lapangan kerja seperti saat ini, yaitu masih ada diskriminasi usia yang mempersempit peluang.
Ketergantungan penduduk ke usia produktif yang kian meningkat, ditambah dengan potensi meningkatnya angka pengangguran di kelompok usia produktif 30 tahun ke atas jadi tantangan untuk segera diantisipasi. Sayangnya, beban ekonomi dan kebijakan jaminan sosial yang diambil pemerintah justru fokus pada jaminan sosial yang lebih awal bagi penduduk usia tua akan menjadi lebih berat dengan porsi yang lebih banyak. Oleh karena itu, tindakan preventif berupa kebijakan antidiskriminasi terus dinanti sebagai upaya pencegahan menuju pada titik tersebut.
Ragam solusi diskriminasi usia pencari kerja
Melihat fenomena diskriminasi usia di Indonesia masih menjadi perdebatan pro dan kontra antara pencari kerja dan penyedia lapangan kerja. Keputusan mencantumkan batas usia menjadi hal wajar yang dilakukan sebagai keputusan perusahaan atau penyedia lapangan pekerjaan untuk efisiensi biaya perekrutan (Kompas, 5/8/2024). Ada pula argumen, langkah tersebut diambil untuk membentuk kandidat muda. Namun, banyak juga pendapat seperti penggugat Pasal 35 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan (Leo) keputusan tersebut merupakan tindak diskriminatif.
Rupanya hal ini juga terjadi di Amerika Serikat sekitar 50 tahun lalu. Melalui laporan tahun 2018, The State of Age Discrimination and Older Workers in the U.S. 50 Years After the Age Discrimination in Employment Act (ADEA),disebutkan, sebab utama terjadinya diskriminasi usia (tahun 1960-an) yang diteliti oleh The Wirtz adalah pengusaha percaya bahwa usia memengaruhi kemampuan. Alhasil, pada saat itu banyak perusahaan yang mulai membatasi pekerja usia 40 tahun hingga 60 tahun di berbagai jenis pekerjaan.
Dari laporan The Wirtz juga mempertimbangkan konsekuensi signifikan dari diskriminasi usia terhadap tenaga kerja yang masih produktif di usia senja. Akan ada implikasi jangka panjang terhadap perekonomian karena timbulnya pengangguran dan kebijakan jaminan sosial lebih awal bagi mereka. Terbukti dalam laporan tersebut langkah kebijakan yang diambil Pemerintah AS beberapa di antaranya dengan melakukan penetapan peraturan dan program antidiskriminasi usia.
Kondisi tenaga kerja di tahun 2017 (50 tahun setelah kebijakan) menunjukkan jumlah pekerja bertumbuh dua kali lipat dengan proporsi pekerja lanjut usia lebih beragam, terdidik, dan partisipasi perempuan lebih meningkat. Peningkatan terjadi di proporsi usia 45-54 tahun sebesar 1,6 persen, usia 55-64 tahun dengan kenaikan sebesar 2,8 persen, dan di atas 65 tahun tumbuh 2 persen. Keberhasilan tersebut seturut dengan berjalannya regulasi dan masuknya tuntutan ADEA kepada The Equal Employment Opportunity Commission (EEOC) di AS.
Sementara itu, contoh di negara tetangga Singapura sedikit berbeda dengan AS. Dilansir dari laman website The Ministry of Manpower mereka, populasi penduduk usia tua banyak diwakili oleh mereka yang pengangguran.
Masalah tersebut menjadi sorotan utama dalam Associate Editor Vikram Khanna’s Commentary yang menyebutkan ageism atau diskriminasi usia merupakan bahaya ekonomi atau ancaman bagi ekonomi negara. Diskriminasi usia menjadi menjadi faktor utama yang menyebabkan tingginya angka pengangguran di usia produktif tua.
Baca juga: Diskriminasi Usia Para Pencari Kerja
Sebagai langkah antisipasinya, The Ministry of Manpower (MOM) dan Tripartite Alliance for Fair and Progressive Employment Practices (TAFEP) bekerja sama mempromosikan praktik ketenagakerjaan yang lebih adil, terutama pada antidiskriminasi usia. Berdasarkan survei yang MOM lakukan kepada 4.000 penduduk di tahun 2018 ditemukan sebesar 30,4 persen responden yang mendapat perlakuan diskriminasi usia dalam pencarian kerja.
Pada tahun 2021, perlakuan diskriminasi masih terjadi, tetapi menyusut menjadi sebesar 18,9 persen responden yang mengalaminya. MOM menyatakan 43,3 persen responden berpendapat sumber utama diskriminasi disebabkan oleh iklan lowongan kerja yang mencantumkan kelompok demografi usia tertentu.
Baca juga: Pertumbuhan Global Penduduk Usia Kerja Telah Melambat
Kesadaran akan potensi bahaya ketimpangan usia perlu dibangun pemangku kebijakan untuk mengupayakan perlindungan nasib pekerja di masa mendatang. Melihat tren proyeksi penduduk dan kondisi pasar kerja saat ini, tindakan preventif menjadi perlu dilakukan untuk meminimalkan dampak penumpukan tenaga kerja di usia produktif tua bagi Indonesia hingga 20 tahun mendatang.
Setidaknya, Indonesia dapat mencermati jejak negara-negara seperti AS dan Singapura yang telah melihat potensi diskriminasi usia sebagai akar masalah bagi ketahanan ekonomi jangka panjang. Indonesia harus akomodatif dan tidak boleh lengah melihat adanya potensi tersebut. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Generasi Z Lebih Susah Cari Kerja