Sepotong Kue Rp 400.000 dan Jet Pribadi, Pertegas Ketimpangan Kekayaan di Indonesia
Unggahan foto kue berharga mahal di medsos mengusik hati nurani mengingat masih lebarnya jurang kesenjangan ekonomi.
Unggahan foto kue berharga mahal di media sosial mengusik hati nurani mengingat masih lebarnya jurang kesenjangan ekonomi di Indonesia. Pada Rabu (21/8/2024), Erina Gudono, istri Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo, menjadi sorotan warganet seusai mengunggah foto kue seharga Rp 400.000 dalam vakansinya bersama suami di Amerika Serikat yang diduga menggunakan pesawat jet pribadi.
Foto sepotong kue yang diunggah Erina di akun Instagram pribadinya itu menyedot perhatian warganet karena harganya yang dinilai mahal.
Bagong Suyatno, Guru Besar Sosiologi Ekonomi FISIP Universitas Airlangga, dalam artikelnya yang berjudul ”Gaya Hidup Pejabat Negara” yang dimuat di harian Kompas (Kompas.id) pada 4 Maret 2023 kembali relevan dengan foto sepotong kue tersebut. Suyatno mengungkapkan bahwa di era masyarakat konsumen, orang cenderung bersedia mengeluarkan banyak uang untuk membiayai penampilan. Alasannya karena harga yang mereka keluarkan adalah bentuk investasi untuk membangun citra diri yang dinilai lebih penting.
Gaya hidup seperti itu mengandung persoalan. Gaya hidup yang berlebihan dan jauh dari kepatutan tidak akan menuai kekaguman, tetapi memunculkan sikap iri, kritik, dan bahkan cemoohan. Reaksi warganet terhadap unggahan Erina adalah perwujudan nyata dari pandangan yang dikemukakan Suyatno melalui tulisannya. Erina memperoleh respons yang cenderung bernada negatif dari warganet terkait serangkaian unggahan aktivitas vakansinya bersama suami di AS.
Reaksi warganet merupakan ekspresi kekecewaan. Reaksi yang muncul salah satunya akibat lebarnya jurang kesenjangan ekonomi di Indonesia. Ambil contoh dari nilai upah tenaga pengajar honorer yang notabene memegang peran vital bagi keberlangsungan generasi negeri ini sangat timpang dengan nilai sepotong kue itu. Upah guru honorer di Daerah Khusus Jakarta berkisar Rp 1 juta hingga Rp 2 juta per bulan, sedangkan untuk wilayah lainnya nilai honornya jauh lebih rendah lagi. Nominal upah tersebut apabila dihadapkan dengan unggahan foto kue Erina tentu saja akan mengusik benak berbagai kalangan masyarakat secara luas.
Baca juga: Guru Honorer yang Terpinggirkan
Seberapa besar kekayaan orang kaya Indonesia?
Kapital berupa uang di negeri ini mayoritas dikantongi oleh kalangan atas. Fenomena tersebut terungkap dari hasil analisis terhadap data distribusi simpanan masyarakat dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan dari publikasi Laporan Pelaksanaan Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) Tahun 2023.
Nominal tabungan seseorang bisa dijadikan indikator seberapa kaya orang tersebut. Memang ada keterbatasan dari indikator tersebut yang tidak dapat memotret nilai aset-aset lainnya, seperti kendaraan, properti, dan beragam portofolio investasi. Ragam harta tersebut tidak dapat terpetakan melalui data distribusi tabungan masyarakat. Kendati demikian, data nilai tabungan dapat memberi gambaran yang cukup valid tentang seberapa kaya orang kaya di negeri ini dan seberapa lebar selisihnya dengan masyarakat kelas sosial di bawahnya.
Mengacu dari Laporan Pelaksanaan SNKI, saat ini ada 76,3 persen penduduk usia dewasa yang memiliki rekening di lembaga keuangan formal seperti halnya di perbankan. Artinya, setidaknya sudah ada 162 juta masyarakat Indonesia yang memiliki rekening. Sementara itu, data dari LPS menunjukkan bahwa pada April 2024 terdaftar sejumlah 574 juta rekening. Artinya, sebagian masyarakat memiliki lebih dari satu rekening simpanan. Meski demikian, masih ada sekitar 50 juta warga usia dewasa yang tidak punya rekening bank. Data tersebut memberi konteks bahwa analisis kekayaan melalui nilai tabungan hanya menggambarkan sebagian kelompok populasi saja.
Dana tabungan masyarakat yang terkumpul pada April 2024 mencapai Rp 8.703 triliun. Sebagai perbandingan, anggaran megaproyek Ibu Kota Nusantara (IKN) bakal menelan biaya Rp 466 triliun. Artinya, simpanan masyarakat itu sangat besar karena setara dengan 18 kali nilai megaproyek IKN.
Baca juga: Jet Pribadi, Gaya Hidup ”Kaum 1 Persen”, dan Hilangnya Rasa Peka
Dari nilai tabungan tersebut, 53,9 persennya atau Rp 4.691 triliun adalah milik dari sekitar 40.000 orang. Mereka adalah nasabah yang memiliki tabungan lebih dari Rp 5 miliar. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa lebih dari separuh kekayaan yang ada di republik ini dikuasai oleh puluhan ribu orang saja.
Ketika ditelusuri lebih dalam lagi, pada kelompok nasabah dengan nilai simpanan lebih dari Rp 5 miliar ternyata memiliki tabungan dengan nilai rata-rata mencapai Rp 33,7 miliar setiap rekeningnya. Nominal tersebut begitu besar selisihnya jika dibandingkan dengan kelompok rekening yang satu tingkat di bawahnya. Rekening nasabah dengan rentang simpanan Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar rata-rata memiliki saldo senilai Rp 3,2 miliar. Artinya, terdapat selisih 10 kali lipat padahal hanya satu tingkat saja selisih kelompok rentang nilai tabungannya. Selisihnya kian besar lagi ketika dibandingkan dengan kelompok tabungan di bawahnya lagi.
Realitas kaya semakin kaya
Kekayaan kelompok ekonomi superkuat tidak hanya berhenti di situ saja. Nilai simpanan yang ada di periode April 2024 merupakan hasil dari pertumbuhan nilai simpanan dari periode sebelumnya. Ketika dibandingkan dengan data Desember 2017, nilai tabungan pada kelompok pemegang rekening yang lebih dari Rp 5 miliar itu mengalami kenaikan rata-rata sebesar Rp 6,8 miliar pada tiap rekeningnya.
Bila tren nilai tabungan kaum super kaya terus tumbuh, kondisi sebaliknya terjadi pada masyarakat level bawah di mana tabungannya kian terkikis. Pada kelompok nasabah dengan simpanan kurang dari Rp 100 juta, misalnya, mereka mengalami penurunan saldo tabungan di rekeningnya. Pada periode Desember 2017 tercatat rerata tabungan di kelompok tersebut berisi sekitar Rp 3,4 juta per rekening. Kemudian pada April 2024 dilaporkan bahwa angka tabungannya rata-rata hanya tinggal Rp 1,9 juta per rekening.
Tren penurunan nilai tabungan terjadi di hampir semua level nominal tabungan kecuali yang memiliki simpanan di atas Rp 2 miliar. Berkaca dari data tersebut, mengindikasikan bahwa saat ini kaum kaya menjadi semakin kaya dan yang kaum minim finansial semakin jarang memegang uang.
Baca juga: Ketimpangan Akses Ekonomi dan Jebakan Negara Berpendapatan Menengah
Persoalan tipisnya simpanan tersebut umumnya dialami oleh masyarakat kelas menengah dan kelas bawah yang finansialnya terbilang pas-pasan karena untuk membiayai kebutuhan sehari-hari. Pendapatan yang diperoleh sebagian besar habis untuk konsumsi sehingga kesulitan untuk menabung. Bahkan, tabungan yang mereka miliki pun cenderung terkikis untuk memenuhi kebutuhannya. Fenomena tergerusnya tren tabungan ini menjadi gambaran bahwa sebagian besar kelas menengah di Indonesia dalam posisi sedang terimpit.
Muhamad Chatib Basri, pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, dalam artikel yang dipublikasikan di Kompas.id edisi 24 Juli 2024 mengulas sulitnya hidup sebagai kelas menengah di Indonesia. Pada artikelnya yang berjudul ”Kelas Menengah: dari Zona Nyaman ke Zona Makan”, Chatib Basri mengemukakan bahwa kelas menengah tidak memiliki jaring perlindungan sosial. Program bantuan dari pemerintah selama ini hanya menyasar kalangan ekonomi bawah saja. Siasat jangka pendek yang dilakoni adalah dengan membelanjakan simpanan dana mereka untuk keperluan harian. Situasi demikian bisa menjadi salah satu penyebab tergerusnya isi tabungan masyarakat kelompok ini.
Ketimpangan distribusi kekayaan
Komentar miring warganet terhadap unggahan istri Kaesang bisa jadi merupakan wujud letupan kekecewaan terhadap lebarnya ketimpangan yang masih terjadi. Di saat 0,02 persen populasi menguasai lebih dari separuh harta di negeri ini, mayoritas masyarakat berebut kue kapital yang begitu kecil.
Distribusi pendapatan relatif tidak berubah jarak ketimpangannya selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo periode kedua ini. Pada tahun 2019, rasio gini yang digunakan untuk mengukur derajat ketimpangan ini menunjukkan besaran 0,380. Jelang akhir masa jabatannya Oktober 2024 ini, rasio gini pada Maret lalu sebesar 0,379. Praktis, relatif tidak ada perubahan yang signifikan dari distribusi pendapatan penduduk Indonesia saat ini.
Baca juga: Pengurangan Kemiskinan
Padahal, saat bersamaan, ekonomi tetap tumbuh dan mampu cepat bangkit setelah Covid-19 untuk kembali pada peningkatan growth kisaran 5 persen setahun. Artinya, kemajuan pembangunan yang dicapai Indonesia saat ini mayoritas terkumpul pada kelompok-kelompok mapan dan kaya. Sebaliknya, kelompok menengah ke bawah harus puas untuk menikmati stagnasi kondisi perekonomian ini sembari bersiasat menghadapi tuntutan kebutuhan yang kian mahal.
Tekanan berat kehidupan itu secara tidak langsung memicu bara kekecewaan yang juga sangat mungkin ditimbulkan oleh situasi politik saat ini. Bertubi-tubi ketidaknyamanan dirasakan oleh masyarakat akibat ulah penguasa. Kontestasi politik yang mengubah wajah demokrasi menjadi konsesi politik dinasti. Ditambah lagi dengan berbagai manuver aturan dan hukum yang disinyalir diorkestrasi oleh kelompok penguasa.
Di saat bersamaan, dipertontonkan perilaku gaya hidup mewah para pejabat dan keluarganya yang diumbar di ruang publik tanpa malu-malu. Bukan pertama kalinya masyarakat menyaksikan gejala krisis yang disulut oleh manuver-manuver elite politik. Sektor-aktor yang dekat dengan penguasa semakin gemuk rekening. Sementara itu, kesenjangan antara si kaya dan kelas di bawahnya semakin melebar dan timpang. Ironis. (LITBANG KOMPAS)