Tantangan Sulteng Mengimbangi Pertumbuhan Ekonomi yang Tinggi
Sulawesi Tengah yang kaya sumber daya alam masih dihadapkan pada persoalan timpangnya pemerataan kesejahteraan penduduk.
Sulawesi Tengah terbilang cukup konsisten mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara nasional. Akan tetapi, daerah kaya sumber daya alam ini masih dihadapkan pada persoalan timpangnya pemerataan kesejahteraan. Diperlukan sosok pemimpin daerah yang mampu mempertahankan kemajuan ekonomi sekaligus meningkatkan kualitas kehidupan segenap penduduknya.
Setiap kali Badan Pusat Statistik merilis pertumbuhan ekonomi, selalu ada yang menarik dari catatan pertumbuhan kawasan timur Indonesia. Meski hingga kini rata-rata masih selalu identik dengan ketertinggalan, di sejumlah daerah di kawasan timur tersebut selalu mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Salah satunya adalah Provinsi Sulawesi Tengah.
Berdasarkan rilis BPS terbaru, pertumbuhan ekonomi Sulteng pada triwulan II-2024 mencapai 9,75 persen secara tahunan. Hampir dua kali lipat dari capaian nasional yang sebesar 5,05 persen serta menduduki posisi keempat tertinggi setelah Papua Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Maluku. Tak selalu di posisi puncak, tetapi di antara provinsi lainnya, Sulawesi Tengah dapat dikatakan paling konsisten meraih pertumbuhan tinggi, setidaknya sepanjang 2015-2024. Dengan menempati posisi dalam rentang lima besar pertumbuhan ekonomi nasional.
Bahkan, di tengah terpaan pandemi pun ekonomi Sulawesi Tengah terbilang cukup mengesankan. Saat ekonomi nasional dan provinsi lainnya tiarap dan terkontraksi, ekonomi Sulawesi Tengah tetap mampu tumbuh positif bersama dengan Papua dan Maluku Utara. Tak hanya tinggi, kontribusi ekonomi Sulteng pada ekonomi nasional pun kian meningkat dari tahun ke tahun.
Cukup masifnya aktivitas pertambangan menjadi dorongan kuat akan tingginya capaian pertumbuhan provinsi terbesar di Pulau Sulawesi itu. Dari seluruh PDRB Sulteng 2023, sektor pertambangan dan penggalian menyumbang sebesar 17,21 persen bagi perekonomian setempat. Nikel, komoditas tambang yang kini sedang digandrungi oleh dunia di tengah era transisi energi, menjadi salah satu hasil bumi andalannya. Setidaknya 113 izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Sulteng telah diterbitkan oleh Kementerian ESDM.
Kebijakan hilirisasi nikel pun mendorong manufaktur Sulteng kian kuat. Lebih dari sepertiga ekonomi Sulteng disumbang oleh sektor pengolahan ini dengan industri logam dasar mengambil porsi sekitar 30,93 persen. Hasil alam lainnya, seperti gas pun, cukup berperan besar pada ekonomi Sulteng.
Baca juga: Membaca Peta Pemilihan Gubernur Sulteng, Bola Panas di Kubu Petahana
Capaian ini selaras dengan raihan tinggi penerimaan investasi, baik dari dalam maupun luar negeri. Menurut catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Sulteng masuk dalam kelompok provinsi dengan nilai investasi tertinggi. Terutama untuk investasi asing, Sulteng menduduki posisi tertinggi kedua setelah Jawa Barat. Aliran dananya mencapai 7,24 miliar dollar AS pada tahun lalu atau sekitar 14,4 persen dari seluruh perolehan investasi nasional. Kenaikannya pun cukup drastis sepanjang lima tahun terakhir, yakni mencapai kisaran 300 persen, dari 1,8 miliar dollar AS di tahun 2017 menjadi 7,2 miliar dollar AS di tahun 2023.
Masifnya investasi itu mendorong munculnya ratusan proyek yang menyediakan lapangan pekerjaan baru sehingga turut menurunkan angka pengangguran. Di antara seluruh provinsi di Indonesiaa, angka pengangguran di Sulteng relatif rendah. Pada Februari 2024 angka unemployment-nya sebesar 3,15 persen atau berada di bawah angka pengangguran nasional yang sebesar 4,82 persen.
Kemiskinan tinggi
Jika ditarik garis tren yang lebih panjang, terdapat gejala perlambatan kinerja perekonomian dalam beberapa waktu belakangan. Tahun 2022, pertumbuhan ekonomi Sulteng mencapai 15,22 persen, terutama didorong oleh investasi dan ekspor hasil bumi. Meski masih tergolong tinggi, tercatat mulai melambat sejak tahun lalu ke angka 11,9 persen dan berlanjut hingga dua triwulan pertama di tahun ini.
Meskipun demikian, pertumbuhan ekonomi di Sulteng hingga saat ini masih tetap tergolong tinggi secara rata-rata nasional. Hanya saja, tingginya capaian berbagai indikator ekonomi makro ini relatif belum ada keselarasan dengan kinerja indikator kesejahteraan yang melekat erat dengan masyarakat. Hingga kini, Sulteng masih dihadapkan pada dua keadaan kontras yang saling berkelindan, pertumbuhan tinggi, tetapi angka kemiskinannya juga tinggi.
Idealnya, saat pertumbuhan ekonomi suatu daerah tercatat baik, kemiskinan akan relatif mudah dibendung. Namun, tidak demikian dengan Sulteng. Saat disandingkan dengan seluruh provinsi yang ada di Tanah Air, angka kemiskinan Sulteng ”bertengger” di posisi cukup atas dengan angka 11,77 persen di tahun 2023. Jauh dari target yang ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) sebesar 9,65 persen.
Jika melihat catatan dari waktu ke waktu, perlu diakui bahwa telah terjadi penurunan angka kemiskinan di Sulteng. Namun, tak dapat dimungkiri pula bahwa kemiskinan Sulteng tergolong sangat tinggi dan berada di atas rata-rata nasional yang ”hanya” tercatat satu digit, yakni 9,03 persen.
Baca juga: Nikel dan Kemajuan Ekonomi Daerah
Pertumbuhan ekonomi tinggi yang bertumpu pada hasil bumi dan cenderung ekstraktif (pertambangan) itu nyatanya belum mampu menyejahterakan seluruh warganya. Inklusivitas perekonomian masyarakat belum terbentuk. Sektor pendongkrak ekonomi itu tercatat hanya mampu menyerap sekitar 1,3 persen dari total tenaga kerja Sulteng yang berjumlah 1,5 juta orang. Itu pun hanya berpusat di daerah tertentu, seperti wilayah Moworali dan Banggai.
Sementara itu, jutaan pekerja lainnya tersebar di sejumlah sektor di luar pertambangan, seperti pertanian dan jasa. Jika dilihat pemetaan sektor penggerak ekonomi di setiap kabupaten, mayoritas masih ditopang oleh sektor pertanian. Setidaknya di 9 dari 13 kabupaten kota yang ada di Sulteng. Hal inilah yang membuat catatan pengangguran di Sulteng tergolong rendah. Namun, tampaknya sudah menjadi rahasia umum bahwa tingkat pendapatan di sektor paling primer ini relatif minim.
Dengan kata lain, puluhan triliun PDRB yang tercipta dari aktivitas tambang hanya dinikmati segelintir orang. Konsep trickle down effect pun tak tercapai secara menyeluruh.
Penyebab kemiskinan
Mohammad Ahlis Djirimu, dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Tadulako, menyimpulkan, terdapat dua faktor penyebab kemiskinan di Sulteng yang masih tetap tinggi. Pertama, pengentasan rakyat dari kemiskinan di Sulteng belum terintegrasi dengan baik.
Setiap daerah memiliki Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Provinsi (TPKP). Sesuai dengan amanat Permendagri Nomor 53 Tahun 2020, TPKP bertugas untuk menyusun Rencana Penanggulangan Kemiskinan Daerah (RPKD) dan rencana aksi provinsi. Dokumen ini sejatinya juga terintegrasi dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD). Sayangnya, rencana aksi yang tertuang di dalamnya belum sepenuhnya diwujudkan dalam rencana aksi bersama secara nyata. ”Saya melihatnya dokumen itu pada akhirnya hanya menjadi poverty outlook,” terang Ahlis saat ditemui di Palu, 12 Juli 2024. Alhasil, perhitungan target kemiskinan yang idealnya dapat tercapai pun tak kunjung terwujud.
Kedua, upaya mengatasi kemiskinan di Sulteng belum tematik. Sebagaimana kelas sosial masyarakat, kemiskinan pun terbagi dalam beberapa pemeringkatan status. Dimulai dari sangat miskin atau biasa disebut miskin ekstrem, miskin, hampir miskin, rentan miskin, hingga menuju kelas menengah. Dengan kategori yang berbeda, tingkat kemiskinan di setiap kategorinya pun berbeda.
Idealnya, aksi pengendaliannya pun berbeda disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang ada di dalamnya. Hanya saja, kebijakan pengentasan rakyat dari kemiskinan yang diturunkan ke masyarakat cenderung seragam. Padahal, kebutuhan setiap individu di tiap-tiap kelas sudah pasti berbeda.
Baca juga: Ironi Kemiskinan di Sentra Nikel, Pekerjaan Rumah Pemerintah Menumpuk
Penduduk miskin ekstrem yang hanya dapat mencukupi sebagian kecil dari keperluannya tentu memerlukan sokongan bantuan kebutuhan mendasar harian, seperti bahan pangan. Berbeda dengan kelompok miskin yang relatif berdaya, seperti rentan meskin atau menuju kelas menengah, akan lebih sesuai jika diberikan bantuan lainnya. Misalnya, bantuan modal untuk usaha sehingga dapat meningkatkan pendapatannya dan keluar dari kategori miskin. Ahlis menilai, bahan pangan atau kebutuhan pokok tentu akan bermanfaat juga bagi kelompok ini, tetapi cenderung kurang relevan untuk dapat meningkatkan kapasitas mereka yang sejatinya berpeluang besar untuk keluar dari kelompok miskin.
Pengendalian kemiskinan yang kurang terkoordinasi itu pada akhirnya membuat pengentasan rakyat dari kemiskinan di Sulteng cenderung jalan di tempat. Ironi kemiskinan tinggi di tengah pertumbuhan ekonomi yang tinggi pun kian tak mudah ditepis.
Pada kesempatan yang terpisah, Nur Dg Rahmatu, Kepala Kadin Sulteng menilai, rendahnya dana bagi hasil yang diterima Sulteng dari penjualan sumber daya alam selama ini juga menjadi salah satu penghambat gerak Sulteng untuk mengatasi kemiskinan. Termasuk di dalamnya upaya memeratakan pembangunan di semua wilayah di Sulteng.
Selain persoalan kemiskinan, perekonomian tinggi di Sulteng belum mampu mengangkat capaian indeks pembangunan manusia (IPM) di Sulteng. Merujuk publikasi BPS yang diperbaharui pada November 2023, IPM Sulteng terperosok ke posisi 10 terendah dengan capaian 70,95 persen di tahun 2023. Meski sudah naik dibandingkan dengan tahun sebelumnya dan telah mencapai target yang ditetapkan, tetapi masih jauh tertinggal dari capaian nasional di angka 73,55 persen pada periode yang sama.
Sejumlah catatan tersebut menjadi pekerjaan rumah yang perlu mendapatkan porsi perhatian cukup besar dari Pemprov Sulteng. Terutama pemerintahan level provinsi agar dapat mengintegrasikan pertumbuhan ekonomi tinggi yang berkualitas sehingga hasil kemajuannya dapat dinikmati seluruh rakyat Sulteng. Ajang pemilihan kepala daerah yang akan digelar pada November mendatang pun menjadi momentum seleksi untuk memilih pemimpin yang dapat mematahkan ironi kemiskinan tinggi di tengah melejitnya kinerja ekonomi di Sulteng. (Litbang Kompas)