Diskriminasi Usia Para Pencari Kerja
Usia masih menjadi salah satu faktor pertimbangan penting dalam merekrut tenaga kerja di Indonesia.
Usia masih menjadi salah satu faktor pertimbangan penting dalam merekrut tenaga kerja di Indonesia. Hal ini berpotensi menimbulkan diskriminasi usia karena akan mengurangi kesempatan bekerja bagi masyarakat yang umurnya tak lagi muda.
Sayangnya, potensi diskriminasi itu tampaknya masih akan terus terjadi setidaknya hingga saat ini. Pasalnya, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menolak permohonan perkara terkait potensi diskriminasi oleh pemberi kerja. MK menolak permohonan perkara terkait uji materiil Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) yang dianggap berpotensi diskriminasi oleh pemberi kerja berdasarkan kriteria tidak relevan dan diskriminatif (usia, jenis kelamin, etnis, atau ras).
Ketua MK Suhartoyo bersama dengan delapan hakim lainya menyatakan putusan, mengadili, dan menolak permohonan seluruhnya terkait diskriminasi usia itu. Penolakan terhadap tuntutan ini atas dasar potensi diskriminasi usia tidak termasuk pada batasan ruang lingkup diskriminasi. Batasan diskriminasi tersebut apabila terjadi pembedaan berdasarkan dari agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik. Batasan diskriminasi tersebut berdasarkan definisi yang telah ada dalam putusan Mk sebelumnya, yaitu putusan MK Nomor 024/PUU-III/2005 dan putusan MK Nomor 72/PUU-XXI/2023.
Meski sudah ada Pasal 5 UU No 13/2003 yang menyatakan adanya larangan diskriminasi bagi tenaga kerja, hal tersebut tidak secara tegas menyatakan usia menjadi bagian dari larangan itu. Dengan demikian, banyak perusahaan bahkan instansi pemerintahan dan BUMN juga memberlakukan batasan usia sebagai salah satu kriteria dalam ketenagakerjaan. Diskriminasi usia tersebut tentu berdampak tak hanya pada semakin berkurangnya peluang bagi pencari kerja dengan usia di atas 30 tahun, tetapi juga menurunkan kesempatan bagi perempuan calon tenaga kerja.
Baca juga: Pembatasan Usia Pelamar Kerja Berpotensi Menambah Rentan Tenaga Kerja
Potensi diskriminasi usia itu ternyata bukan hanya isu di kalangan pencari kerja di Indonesia, melainkan juga terjadi di sejumlah negara. Beberapa dekade sebelumnya, Amerika Serikat (AS) juga mengalami hal serupa. Sebagai upaya menyelesaikan permasalahan itu dibentuklah Age Discrimination in Employment Act (ADEA) pada 1967.
Begitu pula di Inggris yang telah mengeluarkan Employment Equality (Age) Regulation 2006 dan lalu dilanjutkan dengan Equality Act 2010 sebagai bentuk pernyataan pemerintah yang menegaskan diskriminasi usia merupakan tindakan ilegal. Di wilayah ASEAN, beberapa negara, seperti Singapura, Filipina, Thailand, Vietnam, Laos, dan Timor Leste, telah menerapkan regulasi yang jelas terkait diskriminasi usia pekerja.
Lowongan kerja terbatas
Kondisi perekonomian global yang saat ini penuh dengan ketidakpastian turut berdampak pada iklim usaha di Indonesia. Sejumlah komoditas mengalami penurunan permintaan sehingga menimbulkan kerugian bisnis dan pada akhirnya memicu pemutusan hubungan kerja (PHK) bagi karyawannya. Pada Januari-Juni 2024, tercatat ada 32.064 pekerja yang terdampak PHK di Indonesia. Angka PHK ini melonjak dari periode sebelumnya hingga sebesar 21,45 persen. Sektor usaha yang relatif banyak melakukan PHK ini adalah industri tekstil dan teknologi.
Fenomena PHK tersebut kian memperkecil peluang bekerja bagi siapa pun, termasuk bagi angkatan kerja yang usianya relatif tak lagi muda. Penolakan permohonan MK pada 30 Juli lalu kian mempersempit peluang para pencari kerja berusia lebih dari 30 tahun. Walaupun angka partisipasi kerja meningkat hingga 69,8 persen, hal itu tidak serta-merta turut meningkatan penyerapan tenaga kerja berusia dewasa-mapan. Dengan terus meningkatnya jumlah angkatan kerja, usia para pencari kerja umumnya didominasi oleh generasi berusia muda. Sektor usaha pun cenderung akan memanfaatkan situasi ini dengan memilih tenaga kerja yang lebih muda dengan asumsi tingkat produktivitasnya tinggi.
Baca juga: Hapus Diskriminasi dengan Berdayakan Penyandang Disabilitas
Hal tersebut tampak dari fenomena saat ini, di mana banyak lowongan pekerjaan yang mencantumkan kriteria batas usia maksimal 25 tahun sebagai kualifikasi tenaga kerja yang dicari. Tak jarang perusahaan negara, BUMN atau bahkan instansi pemerintahan, menetapkan kriteria batas usia dalam proses perekrutan tenaga kerjanya. Hal ini semakin mempersempit peluang pekerjaan bagi angkatan kerja berusia lebih dari 30 tahun meski memiliki kualifikasi kemampuan yang lebih baik.
Melalui pemberitaan Kompas, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Teguh Dartanto (Kompas, 5/8/2024), menyampaikan pembatasan usia yang tertera di lowongan pekerjaan wajar terjadi dengan alasan pragmatis efisiensi biaya perekrutan. Hal tersebut terjadi dikarenakan jumlah lowongan pekerjaan lebih sedikit dibandingkan jumlah pencari kerja. Namun, kewajaran tersebut justru mendorong banyak pencari kerja beralih ke sektor informal yang mengakibatkan posisi pekerja menjadi rentan.
Hadirnya negara
Larangan adanya diskriminasi tenaga kerja telah dinyatakan dalam Pasal 5 UU No 13/2003. Namun, dalam pasal tersebut tidak secara tertulis menyatakan larangan diskriminasi usia juga menjadi bagian dari bentuk pembedaan perlakukan itu. Terlebih lagi pertimbangan penolakan permohonan MK menyatakan diskriminasi usia bukan merupakan bentuk diskriminasi dalam mendapatkan pekerjaan. Hakim Konstitusi Arief Hidayat menjelaskan, tindak diskriminatif terjadi apabila ada pembedaan yang didasarkan pada agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik.
Sudut pandang terkait usia itu ternyata dilihat berbeda di sejumlah negara. Bahkan, diskriminasi usia ini menjadi isu yang dianggap penting dan merugikan bagi negara. Di ASEAN sendiri, Singapura telah menerapkan beberapa langkah untuk mencegah dan menanggulangi diskriminasi usia melalui kerangka kerja Fair Consideration Framework (FCF) yang dapat memberikan jaminan kesempatan kerja bagi semua pekerja. Singapura juga memiliki regulasi hukum Retirement and Re-employment Act (RRA), ada pula bentuk subsidi upah bagi pemberi kerja melalui Special Employment Credit (SEC), serta skema dukungan pelatihan bagi pekerja berusia 35 tahun ke atas melalui Workfare Training Support (WTS).
Selain Singapura, Filipina juga telah memiliki regulasi untuk menanggulangi isu diskriminasi usia kerja. Hal itu diatur dalam Republic Act No 10911 atau dikenal dengan Anti-Age Discrimination in Employ Act yang disahkan pada 2016. Pemerintah Filipina sudah melarang adanya iklan kerja berdasarkan usia, mencegah praktik perekrutan yang tidak adil, menerapkan perlakuan yang sama antara usia tenaga kerja, dan memberikan perlindungan terhadap pensiun paksa. Hal serupa juga dilakukan oleh negara di ASEAN lainnya, seperti Thailand, Vietnam, Laos, dan Timor Leste yang sudah memiliki regulasi hukum yang jelas.
Baca juga: Diskriminasi dan Kekerasan Menjerat Perempuan
Diskriminasi usia tenaga kerja juga sudah menjadi perhatian yang cukup lama di AS. Isu tersebut sudah ada beberapa dekade lalu dan mendorong regulasi ADEA yang disahkan pada 1967. ADEA dibuat sebagai langkah perlindungan bagi pekerja berusia 40 tahun atau lebih.
Meski sudah ada regulasi itu, isu diskriminasi usia pekerja tetap bergulir seiring dengan kondisi ekonomi AS yang saat itu tengah mengalami resesi. Pemerintah AS kemudian melakukan penguatan hukum dan jaminan perlindungan dari The Equal Employment Opportunity Commission (EEOC) serta dukungan program pelatihan bagi tenaga kerja yang usianya sudah tidak muda sebagai jalan keluarnya. Dengan kebijakan ini, keterampilan tenaga kerja diharapkan meningkat sehingga tetap produktif dan kompetitif dengan tenaga kerja yang usianya jauh lebih muda.
Berkaca dari pengalaman sejumlah negara tersebut, sudah sepantasnya diskriminasi usia pekerja di Indonesia juga harus dihilangkan. Dengan regulasi dan kebijakan yang tepat, semua rentang usia angkatan kerja (di atas 15 tahun) dapat dioptimalkan untuk mendorong proses produksi barang dan jasa yang mampu berkontribusi bagi kemajuan ekonomi nasional.
Dengan perlindungan dan pelatihan yang memadai, semua angkatan kerja menjadi optimal untuk dimanfaatkan tenaganya guna terlibat dalam proses pekerjaan. Namun, hal ini juga harus disertai dengan kemampuan negara dalam menarik hadirnya investor sehingga dapat mengembangkan usaha dan membuka lapangan pekerjaan sebanyak-banyaknya bagi angkatan kerja yang tersedia.
Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi nasional, potensi untuk mengembangkan usaha di Indonesia pun kian besar sehingga peluang untuk meminimalkan diskriminasi usia pekerja juga akan kian menipis. Berbagai rentang usia angkatan kerja akan mudah terserap oleh lapangan kerja sesuai dengan bidang dan keterampilannya masing-masing. (LITBANG KOMPAS)