Kunjungan Presiden Indonesia ke Vatikan, Promosi Universalitas Nilai Pancasila
Kunjungan presiden Indonesia ke Vatikan menjadi simbol universalitas pluralisme nilai-nilai Pancasila.
”Paus Pius XII agak terperanjat karena tidak menyangka seorang presiden di sebuah negara yang sebagian besar penduduknya beragama Islam mempunyai ajudan beragama Katolik,” demikian tulis Guntur Soekarnoputra, putra sulung Presiden Soekarno, yang ikut serta dalam kunjungan ke Vatikan pada 13 Juni 1956. Ajudan yang dimaksud adalah Mayor Korps Komando Angkatan Laut (KKO) Bambang Wijanarko (Kompas, 5/7/2021).
Dalam kunjungan tersebut, Bung Karno mendapatkan bintang tanda jasa, Bintang Tertinggi Vatikan dari Paus Pius XII, pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia kala itu.
Vatikan menjadi salah satu negara yang dikunjungi oleh Presiden Soekarno dalam rangkaian perjalanan ke beberapa negara, yakni Amerika Serikat, Kanada, Swiss, Tunisia, dan Italia. Misi yang dibawa Bung Karno adalah memperkenalkan Indonesia serta meningkatkan kerja sama.
Dalam tulisan yang sama Guntur menekankan, ketika Bung Karno memperkenalkan ajudannya yang beragama Katolik kepada Paus Pius XII hal itu bukan tanpa penyebab. Presiden pertama Indonesia itu ingin menunjukkan bahwa Pancasila diawali dengan Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjamin kebebasan beragama dan toleransi di Indonesia.
Baca juga: Kunjungan Paus Fransiskus
Tiga medali Paus untuk Bung Karno
Setelah tahun 1956, tercatat Presiden Soekarno mendapatkan dua medali lain dari dua Paus yang berbeda. Medali bintang dan tanda jasa kedua dari Vatikan diterima Bung Karno dalam kunjungannya pada 14 Mei 1959. Ia menerimanya dari Paus Yohanes XIII.
Berikutnya, medali ketiga diterima oleh Bung Karno pada 12 Oktober 1964. Dalam kunjungan tersebut, ia diterima oleh Paus Paulus VI. Sebelum itu, sebenarnya pada 15 Juni 1963, Presiden Soekarno sempat berkunjung ke Vatikan. Namun, dalam catatan Apostolic Nunciature Indonesia, Vatikan sedang dalam kondisi takhta kosong yang berarti sedang tidak ada paus yang menjabat.
Relasi antara Soekarno dan Takhta Suci Vatikan menjadi menarik jika mengingat bahwa Bung Karno merupakan pemimpin negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam yang menerima tanda bintang jasa dari Vatikan kala itu.
Tiga medali yang didapatkan dari Vatikan menunjukkan penghargaan bahwa Bung Karno dipandang mampu menjadi pemimpin yang tak hanya mengayomi penduduknya yang mayoritas beragama Islam, tetapi juga penduduk beragama lain, termasuk Katolik.
Kebanggaan Soekarno juga terucap dalam buku biografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. ”Aku orang Islam hingga sekarang telah memperoleh tiga buah medali yang tertinggi dari Vatikan,” tutur Bung Karno.
Cerita tentang Soekarno dan Takhta Suci pun melanjutkan sejarah hubungan baik antara Indonesia dan Vatikan di awal-awal kemerdekaan. Vatikan merupakan satu dari 10 negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia.
Vatikan mengakui kedaulatan Indonesia pada 1947 (Kompas.id, 9/8/2024). Vatikan kemudian meresmikan perwakilan diplomatik atau Internunsiatur Apostolik di Jakarta pada 1950.
Baca juga: Kunjungan Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia, Sarat Pesan Rekonsiliasi
Kunjungan Soeharto hingga SBY ke Vatikan
Setelah Bung Karno, relasi Indonesia-Vatikan dilanjutkan oleh presiden-presiden selanjutnya. Presiden Soeharto, misalnya. Presiden kedua Indonesia ini selain menerima dua kunjungan Paus ke Indonesia tahun 1970 dan 1989, juga pernah berkunjung ke Vatikan bersama Ibu Tien Soeharto. Kunjungan tersebut terjadi pada November 1972.
Presiden Soeharto mengunjungi Vatikan dalam rangkaian kunjungannya ke Eropa yang meliputi Swiss, Belgia, dan Italia. Serangkaian kunjungan ini bertujuan untuk mempererat persahabatan dan memperdalam kerja sama Indonesia dengan negara-negara tersebut (Kompas, 4/11/1972). Di Vatikan, Presiden Soeharto diterima oleh Paus Paulus VI yang dua tahun sebelumnya telah berkunjung ke Indonesia.
Kunjungan Soeharto ke Vatikan pada tahun 1972 merupakan yang pertama dan satu-satunya yang ia lakukan. Setelah itu, kunjungan presiden Indonesia ke Vatikan baru dilakukan 28 tahun kemudian, yakni pada tahun 2000.
Pada 5 April 2020, Presiden Abdurrahman Wahid bersama Ibu Negara Sinta Nuriyah mengunjungi Paus Yohanes Paulus II di Vatikan. Paus menyambut Presiden Gus Dur dengan hangat. Bahkan, dalam perjumpaan tersebut paus menyapa Gus Dur dalam bahasa Indonesia dengan mengucapkan, ”Selamat datang, selamat datang.”
Selain sebagai Presiden, kunjungan Gus Dur juga dipandang oleh kaum Nahdlatul Ulama (NU) di Indonesia secara simbolik sebagai upaya mewujudkan perdamaian dunia, terutama hubungan harmonis antarumat beragama. Terbukti, pada tahun 2019, perwakilan PBNU dan GP Ansor bersama sejumlah tokoh bertemu dengan Paus Fransiskus di Vatikan (Kompas, 27/9/2019).
Setelah Gus Dur, Presiden Megawati Soekarnoputri pun pernah menemui Paus Yohanes Paulus II di Vatikan pada Juni 2002. Kunjungan ini terjadi dalam serangkaian kunjungan ke negara-negara di Eropa, antara lain Italia, Inggris, Ceko, dan Slowakia. Dalam kesempatan tersebut, Megawati juga menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pangan Sedunia.
Secara khusus soal Vatikan, Megawati tidak hanya mengunjungi paus saat menjadi presiden. Terbaru, menjelang Natal 2023, Megawati melawat ke Vatikan dan berjumpa dengan Paus Fransiskus. Pertemuan digelar di Istana Kepausan atau Palatium Apostolicum Vatikan pada Senin, 18 Desember 2023.
Di akhir perjumpaan, Paus Fransiskus memberikan hadiah dua buku karyanya, yakni Laodato Si’ dan Laodate Deum. Sementara itu, Megawati menyerahkan kain batik kepada Paus Fransiskus sebagai cendera mata.
Presiden ke-6 Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono tercatat juga mengunjungi Vatikan meskipun tidak dalam kunjungan negara dan ketika dirinya sudah tidak menjabat presiden. Dikutip dari laman Partai Demokrat, SBY berkunjung ke Vatikan tahun 2017.
Baca juga: Paus dan Diplomasi Takhta Suci
Universalitas Pancasila di Dunia
Melihat jejak kunjungan presiden Indonesia ke Takhta Suci Vatikan, relasi ini tak sekadar diplomasi kedua negara semata. Namun, juga tersirat makna simbolik persaudaraan dan perdamaian dunia. Vatikan merupakan simbol tertinggi umat Katolik dunia, sementara Indonesia merupakan salah satu negara dengan populasi umat Islam terbanyak di dunia.
Namun, perbedaan ini tidak menghalangi hubungan diplomatik yang hangat di antara kedua belah pihak. Kedua negara memiliki visi yang sama untuk mewujudkan nilai-nilai universalitas persaudaraan dan perdamaian dunia meski memiliki latar belakang yang berbeda.
Indonesia juga dikenal sebagai negara majemuk dengan latar belakang penduduknya beragam dari agama, etnis, dan golongan. Kemajemukan Indonesia ini dipersatukan dalam nilai ideologi Pancasila sebagai perekat identitas kebangsaan Indonesia.
Jiwa persatuan dan kerukunan bangsa dalam semangat Pancasila ini menjadi titik temu kesamaan visi Indonesia dan Vatikan dalam membangun nilai universalitas perdamaian dunia.
Nilai-nilai Pancasila dan kerukunan di Indonesia sampai ke telinga Paus dan sangat diapresiasi Vatikan (Kompas.id, 3/8/2024). Dalam konteks ini, makna kunjungan presiden Indonesia ke Vatikan juga menjadi simbol universalitas pluralisme nilai-nilai Pancasila.
Brian O’Leary, seorang Jesuit ahli Spiritualitas Ignatian, ketika mengulas tentang Latihan Rohani St Ignatius Loyola pernah menuliskan the more universal, the more divine.
Ungkapan tersebut kurang lebih bermakna sebuah nilai makin menjadi ilahi atau suci ketika hal tersebut terwujud dalam universalitas. Artinya, nilai tersebut makin tinggi derajatnya ketika dapat diterima oleh semakin luas kalangan.
Agar semakin luas diterima banyak kalangan, semangat persatuan dan kerukunan Pancasila itu harus terus diperkenalkan lewat relasi diplomatik antarnegara dan komunitas dunia.
Serangkaian kunjungan yang pernah dilakukan oleh presiden Indonesia juga menjadi konteks besar yang akan melingkupi kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia awal September 2024 mendatang. Dalam beberapa kesempatan, baik Presiden Jokowi maupun Paus Fransiskus telah menyatakan akan saling berkunjung. Namun, rencana tersebut belum terwujud salah satunya karena pandemi Covid-19.
Kunjungan Paus Fransiskus mendatang akan menjadi kunjungan paus ke Indonesia yang ketiga. Kunjungan ini juga akan menjadi momentum melanjutkan sejarah hubungan baik antara Vatikan dan Indonesia sekaligus mempromosikan Pancasila sebagai dasar negara yang menerima universalitas dan pluralisme sebagai kenyataan hidup manusia. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Menelusuri Pesan Paus untuk Perdamaian Dunia