Potensi Besar Pengembangan ”Carbon Capture Storage” di Indonesia
”Carbon capture storage” (CCS) menjadi salah satu solusi untuk mengatasi emisi karbon sektor industri.
Dalam mendorong pembangunan ekonomi berkelanjutan, penerapan teknologi ramah lingkungan menjadi sebuah keniscayaan. Kian masifnya industrialisasi yang menjadi tulang punggung utama kemajuan ekonomi nasional memerlukan dukungan teknologi yang mampu mereduksi emisi karbon secara signifikan. Carbon capture storage atau CCS menjadi salah satu solusi untuk mengatasinya.
Dalam upaya berkontribusi terhadap mitigasi ancaman pemanasan global, Indonesia menargetkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC) 2030 akan mereduksi emisi karbon nasional sekitar 32 persen dengan usaha sendiri. Namun, bila mendapat bantuan dari asing, target reduksi emisi karbon pada tahun 2030 nanti mencapai kisaran 43 persen.
Dalam target NDC itu, ada lima sektor yang disasar untuk direduksi emisi karbonnya, yakni sektor energi, limbah, proses industri, pertanian, dan kehutanan. Dari kelima sektor ini, energi diperkirakan akan menjadi penyumbang terbesar emisi karbon pada tahun 2030 nanti. Dengan skema bussines as usual (BaU), sektor energi diperkirakan akan menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 1.669 juta ton CO2. Selanjutnya, disusul sektor kehutanan 714 juta ton CO2, limbah 296 juta ton CO2, pertanian 119,66 juta ton CO2, dan proses industri hampir 70 juta ton CO2.
Dengan angka proyeksi yang paling besar, energi menjadi salah satu sektor yang krusial untuk segera direduksi emisi karbonnya. Oleh karena itu, transisi energi dari energi fosil menuju energi baru terbarukan (EBT) menjadi keniscayaan yang akan terus dilakukan Indonesia untuk mencapai net zero emission (NZE) 2060.
Selain transisi menuju penggunaan energi yang semakin ramah lingkungan, upaya lainnya untuk mereduksi emisi GRK adalah dengan penggunaan teknologi yang mampu menangkap emisi karbon dan mengolahnya lebih lanjut. Teknologi itu dikenal dengan sebutan carbon capture storage (CCS).
CCS merupakan salah satu teknologi yang berfungsi menyerap emisi karbon yang dihasilkan oleh suatu sistem. Teknologi ini memungkinkan beberapa sektor energi mengurangi emisi CO2 ke atmosfer sehingga mendukung upaya mitigasi perubahan iklim.
Baca juga: Ekonomi Rendah Karbon Melalui CCS, Bagaimana Peluang Indonesia?
Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sumber emisi karbon sektor energi pada tahun 2023 mayoritas berasal dari tiga kategori utama. Terdiri dari produksi elektrifikasi, industri manufaktur, dan juga transportasi. Ketiga kategori ini menyumbang sebesar 91 persen sumber emisi karbon kelompok energi. Penggunaan energi fosil, seperti batubara dan juga bahan bakar minyak, menjadi biang utama emisi karbon sektor energi itu. Saat ini, konsumsi energi final di Indonesia lebih dari 80 persennya berasal dari energi fosil.
Dari sisi pengguna, besarnya konsumsi energi fosil itu sebagian besar digunakan oleh kegiatan industri hingga mencapai 59 persen. Oleh karena itu, untuk menekan emisi karbon sektor industri perlu diimplementasikan teknologi CCS agar dampak buruk polusinya dapat dikurangi.
”Carbon capture storage” (CCS)
Dalam laporan Pusat Analisis Keparlemenan Badan Keahlian DPR RI yang ditulis oleh Anih Sri Suryani pada Januari 2024 menyebutkan bahwa Teknologi CCS sudah ada sejak awal tahun 1970-an. Di mana sejumlah CO2 ditangkap dari fasilitas pemrosesan gas di Texas, Amerika Serikat, kemudian disalurkan ke ladang minyak terdekat dan disuntikkan untuk meningkatkan perolehan minyak.
CCS atau ada juga yang menyebutnya sebagai CCUS (carbon capture utilization and storage) diidentifikasi sebagai salah satu teknologi mitigasi pemanasan global yang bertujuan mengurangi pelepasan CO2 ke atmosfer. Secara sederhana, melalui teknologi CCS/CCUS, CO2 dari bahan bakar fosil ataupun dari limbah hasil pembakarannya dapat ditangkap kembali untuk kemudian disimpan di bawah tanah atau di bawah laut.
Menurut International Energy Agency (IEA), CCS merupakan serangkaian proses penangkapan CO2 di unit-unit penghasil emisi karbon untuk dikompresi lalu diangkut, dimanfaatkan, ataupun disimpan. CO2 hasil kompresi itu didistribusikan melalui pipa, kapal, kereta api, atau truk pengangkut untuk digunakan dalam berbagai aplikasi.
Baca juga: Perusahaan Migas Bisa Monetisasi Kredit Karbon
Ada sejumlah aplikasi CO2 untuk kepentingan komersial dan industri. Menurut atlascopco, karbon dioksida dapat digunakan salah satunya untuk industri makanan dan minuman, seperti untuk mengarbonisasi minuman, menghilangkan kafein pada kopi, pembekuan secara cepat, serta melindungi bahan makanan selama proses produksi.
Selain itu, dapat berperan dalam pembuatan pupuk, meningkatkan kualitas pengelasan logam, mengeraskan cetakan pengecoran logam, mengoptimalkan hasil produksi di sumur pompa minyak, serta menjadi propelan dalam kaleng aerosol.
Berikutnya, kompresi CO2 yang tidak dimanfaatkan dapat disuntikkan ke dalam formasi geologi yang dalam, seperti reservoir minyak dan gas yang sudah habis sumber daya alamnya. Dengan sistem penyimpanan ini, maka dapat mengurangi emisi karbon sekaligus mengoptimalkan bekas-bekas sumur minyak ataupun gas yang sudah tidak beroperasi.
Berdasarkan paparan Eddy Soeparno, Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dalam forum Indonesian Petroleum Association (IPA) ke-48 menyebutkan bahwa Indonesia memiliki potensi penyimpanan yang sangat masif hingga 700 giga ton (GT) CO2. Kapasitas penyimpanan ini sangatlah besar bila dibandingkan dengan emisi sektor industri Indonesia yang hanya berkisar 600 juta ton per tahun (Mtpa). Estimasi emisi karbon ini berasal dari kontribusi industri pengilangan minyak, petrokimia, pembangkit energi, dan juga smelter atau pemurnian bahan tambang.
Dengan perkiraan emisi karbon sektor industri tersebut, maka potensi penyimpanan CCS sangat berlimpah di Indonesia. Hal ini dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan penyimpanan CO2 domestik dan juga CO2 dari negara asing.
Peluang itu dapat memberikan sejumlah manfaat bagi Indonesia. Salah satunya memperkuat posisi geopolitik Indonesia di kawasan Asia karena mampu turut serta dalam menciptakan dekarbonisasi di kawasan. Sejumlah negara di sekitar Indonesia membutuhkan tempat penyimpanan CCS di negeri ini karena keterbatasan penampungan CCS di negaranya. Salah satunya adalah kawasan ASEAN yang total emisi karbonnya pada tahun 2022 sekitar 1,7 giga ton per tahun (Gtpa). Selain itu, ada pula Jepang dan Korea Selatan yang membutuhkan tempat penyimpanan karbon hingga tahun 2050 nanti masing-masing sebesar 0,7 Gtpa dan 0,5 Gtpa. Negara tetangga, seperti Singapura, juga menargetkan menangkap emisi karbon hingga sebesar 2 Mtpa pada tahun 2030 nanti.
Hal tersebut menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan hubungan diplomatik dan juga kekuatan geopolitik kawasan dalam hal mitigasi perubahan iklim. Selain itu, menghasilkan manfaat ekonomi baru dengan membuka peluang pasar tempat penyimpanan karbon bernilai miliaran dollar AS. Bahkan, mampu memberikan dampak berganda bagi perekonomian nasional dengan nilai ekonomi relatif sangat besar. Kajian dari Global CCS Institute menunjukkan bahwa setiap penangkapan 1 juta ton CO2 memberikan nilai tambah ekonomi sekitar Rp 4 triliun dan menciptakan 800 lapangan kerja baru untuk menyelesaikan proyek konstruksi dan operasional CCS.
Monetisasi CCS yang memberikan pemasukan bagi negara itu juga memberikan dampak positif berupa penghematan biaya energi yang sangat besar. Diperkirakan dengan mengadopsi teknologi CCS, maka penghematan biaya energi di dalam negeri hingga tahun 2050 nanti mencapai kisaran 1 triliun dollar AS. Efisiensi biaya energi itu berasal dari penghematan sektor transportasi hingga sebesar 271,6 miliar dollar AS, industrialisasi sebanyak 543,8 miliar dollar AS, dan sektor bangunan 176,2 miliar dollar AS.
Pengembangan CCS dunia
Besarnya manfaat pengembangan teknologi CCS itu membuat sejumlah negara berusaha meningkatkan kapasitas penangkapan emisi karbonnya. Pada triwulan pertama 2024, setidaknya terdapat 564 fasilitas proyek CCS yang tersebar di seluruh dunia.
Terbesar berada di Amerika Serikat dengan jumlah proyek sebanyak 233 unit dengan kapasitas penangkapan emisi karbon sebanyak 179,24 Mtpa. Terdiri dari proyek yang masih dalam taraf pengembangan, konstruksi, hingga operasional.
Baca juga: Bisnis Penangkapan dan Injeksi Karbon yang Semakin Dilirik
Pengembangan CCS terbesar berikutnya disusul oleh Inggris dengan jumlah proyek sebanyak 66 unit dengan total kapasitas penangkapan sebanyak 57,23 Mtpa. Kanada pada urutan ketiga dengan jumlah proyek sebanyak 58 unit dengan kapasitas tangkap 27,67 Mtpa. Peringkat selanjutnya diduduki Norwegia dengan jumlah proyek sebanyak 22 unit berkapasitas tangkap emisi karbon hingga 4,73 Mtpa. China menjadi negara kawasan Asia yang berada pada urutan lima besar dunia dengan proyek CCS sebanyak 21 unit dengan kapasitas tangkap 16,6 Mtpa.
Untuk Indonesia, saat ini tengah mengembangkan 16 proyek CCS dengan kapasitas penangkapan emisi GRK sebanyak 8,4 Mtpa.
Dalam laporannya, Anih Sri Suryani menyebutkan, Indonesia memiliki formasi geologis yang memungkinkan penyimpanan emisi karbon secara permanen melalui penggunaan teknologi CCS. Anih juga mengutip pernyataan Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi yang mengatakan, Indonesia berdiri di garis depan era industri hijau dengan potensi kapasitas penyimpanan CO2 yang mencapai 400 hingga 600 gigaton di depleted reservoir dan saline aquifer. Potensi itu memungkinkan penyimpanan emisi CO2 nasional selama 322 hingga 482 tahun.
Dengan potensi yang sangat besar itu, Indonesia berpeluang besar mengembangkan teknologi CCS yang bermanfaat bagi dekarbonisasi kawasan serta menjadi terobosan baru pengembangan ekonomi nasional. (LITBANG KOMPAS)