Olimpiade Paris 2024, Representasi Perjuangan Panjang Kesetaraan Perempuan di Dunia
Berimbangnya jumlah atlet perempuan dan laki-laki dalam Olimpiade Paris 2024 menjadi cerminan kesetaraan hak perempuan.
Olimpiade Paris 2024 menjadi awal baik dari perjuangan panjang kesetaraan jender dalam bidang olahraga. Berimbangnya jumlah peserta atlet perempuan dan laki-laki dalam ajang internasional itu menjadi cerminan besar terwujudnya cita-cita kesetaraan hak bagi perempuan di bidang olahraga.
Wajah olahraga yang masih kental dengan nuansa maskulin dan laki-laki masih menjadi tantangan perempuan hingga saat ini. Ajang Olimpiade Paris 2024 menjadi pencapaian baru selama perjalanan panjang perjuangan perempuan dalam olahraga. Persentase partisipasi atlet perempuan dan laki-laki mencapai titik kesetaraan dengan jumlah atlet perempuan sebanyak 5.250 orang dan atlet laki-laki 5.250 orang.
Baca Berita Olimpiade Paris 2024
Keseimbangan jumlah partisipasi itu menjadi pintu gerbang yang baru dalam memperjuangkan hak kesetaraan perempuan dalam olahraga. Bukan merupakan perjuangan yang singkat dan mudah bagi perempuan mencapai titik keseimbangan ini dalam ajang Olimpiade. Dalam perjalanannya, terdapat batasan-batasan yang menghambat tercapainya keseimbangan partisipasi kaum perempuan.
Isu kesetaraan jender (gender equality), yang masuk dalam 17 program prioritas Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs), semakin gencar diwujudkan melalui berbagai event global. Semangat kesetaraan ini menjadi tujuan dengan cara didorongnya gender parity atau menyetarakan jumlah keterlibatan perempuan di ajang-ajang besar global. Munculnya kehadiran perempuan yang diwakilkan dengan jumlah angka partisipasi yang setara akan turut membuka jalan mencapai tujuan kesetaraan jender.
Baca juga: Olimpiade dan Kesetaraan Jender
Pembatasan peran perempuan dalam berbagai ranah aktivitas publik, seperti politik, ekonomi, dan juga olahraga, membawa semangat kesetaraan jender itu. Di bidang olahraga, bukan merupakan perjalanan yang singkat pagi perempuan untuk berupaya masuk dan mengambil bagian. Tak hanya terlibat pada ajang kejuaraannya, tetapi juga turut ambil bagian dari sistem penyelenggara sebagai upaya mendorong perubahan dan membuka ruang bagi perempuan.
Tercatat pada tahun 2023 terdapat 296 posisi atau sebesar 50,8 persen dari total jumlah posisi sebanyak 583 diisi oleh kaum perempuan. Tahun 2022 menjadi tahun pertama dengan representasi jumlah yang imbang antara perempuan dan laki-laki dalam komisi Komite Olimpiade Internasional (IOC). Mulai 2013 menjadi tahun dengan representasi perempuan di IOC terus mengalami peningkatan. Representasi perempuan yang terlibat dalam komisi IOC tentu membawa dampak perubahan pada penyelenggaraan Olimpiade yang kian terbuka bagi perempuan.
Perjalanan panjang
Berbicara mengenai kesetaraan jender tidak sebatas berbicara mengenai kesetaraan hak yang didapatkan perempuan dan laki-laki sebagai tujuan utama. Namun, juga sebagai langkah awal untuk menyeimbangkan jumlah representasi perempuan di berbagai ranah aktivitas publik lainnya. Ajang olahraga dapat menjadi simbol yang cenderung mudah diterima berbagai pihak mengenai pentingnya kesetaraan jender.
Kompetisi olahraga skala global seperti Olimpiade menjadi ajang pembuktian sekaligus menjadi kunci bagi pintu-pintu kesetaraan di sejumlah negara. Ketercapaian keseimbangan jumlah atlet perempuan dan laki-laki yang turut berpartisipasi dalam kompetisi tersebut menjadi bentuk pencapaian baru untuk mendobrak lebih dalam lagi kesetaraan hak bagi perempuan. Hal ini turut diapresiasi oleh United Nation Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women sebagai pencapaian gender parity (keseimbangan jumlah perempuan dan laki-laki) di ajang Olimpiade Paris 2024.
Apresiasi tersebut sebagai bentuk keberhasilan dari perjuangan yang telah ditempuh perempuan sejak perhelatan Olimpiade resmi pertama diselenggarakan. Awal mula kompetisi modern Olimpiade diadakan tahun 1896 di Athena, Yunani, tidak memberikan ruang bagi perempuan untuk ikut serta dalam ajang kompetisi olahraga tersebut.
Perempuan baru diperbolehkan berpartisipasi dalam ajang Olimpiade pada tahun 1900 dan hanya diperkenankan untuk dua cabang olahraga, yakni tenis dan golf. Hanya 22 perempuan yang turut andil dalam kompetisi atau 2,2 persen perempuan dari total 997 atlet yang berlaga. Charlotte Cooper, atlet tenis berkebangsaan Inggris, menjadi atlet perempuan pertama yang berkompetisi dan menjadi juara di Olimpiade Paris tahun 1900.
Baca juga: Olimpiade Paris 2024 dan Perjuangan Mempertahankan Tradisi Medali Bulu Tangkis
Kesempatan yang masih jauh dari kata berimbang tersebut tentu mendapat tekanan keras dari gerakan perempuan karena masih adanya penolakan keterlibatan perempuan dalam olahraga. Tahun 1928 menjadi awal titik balik keterlibatan perempuan di ajang Olimpiade Amsterdam. Sebanyak 277 atlet perempuan atau 9,6 persen dari total jumlah peserta turut ambil bagian di ajang ini.
Meski demikian, pembatasan cabang olahraga yang dikompetisikan untuk perempuan terus berlanjut hingga ajang Olimpiade 1972 di Muenchen, Jerman. Tidak lebih dari 10 cabang olahraga yang dikompetisikan untuk kaum perempuan meski tingkat partisipasi peserta perempuan meningkat hingga 14,8 persen pada Olimpiade tahun itu. Perkembangan itu dinilai masih belum ada peningkatan signifikan dari pihak penyelenggara Olimpiade untuk membuka kesempatan bagi perempuan. Fenomena itu selanjutnya memantik didirikannya International Conference of Ministers and Senior Officials Responsible for Physical Education and Sport (MINEPS) pada 1976.
Tindak lanjut dari pembentukan organisasi itu turut membuka pula perhatian pada peran perempuan dalam olahraga. Berbagai konferensi turut dibentuk dan didorong sehingga hadir aktor-aktor perempuan yang terlibat dalam IOC untuk mengambil aksi perubahan yang lebih nyata. Dampak pergerakan tersebut mendorong adanya tren peningkatan jumlah partisipasi perempuan dalam ajang Olimpiade pada masa-masa berikutnya. Hingga pada Olimpiade Paris 2024 ini, partisipasi atlet perempuan mencapai 50 persen dengan laga kompetisi mencapai 32 cabang olahraga.
Aktor-aktor perubahan
Pencapaian tersebut tentu tidak terlepas dari peran perempuan-perempuan tangguh yang melakukan dobrakan pada sebuah sistem sehingga mematahkan batasan bagi perempuan. Didirikannya MINEPS pada 1976 turut menjadi salah satu pembuka awal bagi terciptanya berbagai konferensi penting yang mendorong hak perempuan untuk terlibat dalam kompetisi olahraga global atau Olimpiade. Pembahasan mengenai olahraga pertama kali diikutsertakan dalam konferensi penghapusan diskriminasi terhadap perempuan tahun 1979 (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women).
Tahun 1981 menjadi awal bagi keterlibatan perempuan dalam keanggotaan IOC, yaitu Flor Isava Fonseca dan Pirjo Haeggman. Hal ini menjadi awal baru masuknya pandangan hak dan peran perempuan mulai berkembang di IOC. Apalagi, tahun 1990 Flor Isava Fonseca menduduki jabatan Executive Board IOC. Posisi kepemimpinan tersebut turut membawa dampak pada perubahan ketentuan serta kebijakan untuk Olimpiade. Antidiskriminasi berbasis jenis kelamin mulai ditambahkan dalam Piagam Olimpiade (Olympic Charter) tahun 1991.
Peran perempuan yang turut andil dalam mengambil keputusan, menentukan target, hingga membuat kebijakan Olimpiade semakin diperkuat melalui berbagai deklarasi yang dihasilkan dalam sejumlah konferensi mulai dari awal 1990-an. Kaum perempuan kian menunjukkan emansipasinya ketika sosok Anita DeFrantz menjadi Vice President IOC perempuan pertama kali. Saat itu juga IOC menentukan target 10 persen posisi pembuat keputusan di IOC dipegang oleh perempuan pada 2000 dan berlanjut 20 persen tahun 2005.
Perkembangan berikutnya menunjukkan keberhasilan perjuangan kesetaraan yang kian besar. Hasil Olympic Agenda 2020 menunjukkan kemajuan yang signifikan dalam hal partisipasi perempuan di IOC dari tahun 2013 hingga 2023. Tercatat 41 persen anggota IOC merupakan perempuan. Selain itu, 33 persen anggota Executive Board IOC merupakan perempuan, 42 persen Commissions IOC dipimpin oleh perempuan, dan 51 persen posisi Commissions IOC diduduki perempuan.
Baca juga: Paris 2024 dan Olimpiade Lebih dari Seabad Lalu
Tak hanya kaum perempuan yang ambil andil perubahan melalui struktural, atlet perempuan juga menunjukkan pembuktian diri melalui berbagai prestasi yang diraih. Terdapat beberapa atlet perempuan yang turut berperan mendobrak batasan, seperti Gertrude Ederle yang memenangi tiga medali di ajang Olimpiade Paris 1924. Tahun 1926 dia juga dikenal sebagai perempuan pertama yang berenang menyeberangi Selat Inggris dengan jarak 560 kilometer dengan waktu 14 jam 34 menit. Rekor baru tersebut berhasil diraih hingga bertahan 24 tahun dan mengalahkan rekor lima atlet laki-laki sebelumnya.
Selain itu, aja juga Serena Williams yang merupakan atlet tenis perempuan yang berhasil memenangi empat medali emas Olimpiade dan sepanjang karier dia menganjurkan kesetaraan upah di kompetisi besar seperti Roland Garros dan Wimbledon.
Tentu tidak ketinggalan atlet perempuan Indonesia juga mengambil andil mengharumkan nama bangsa dengan meraih emas pertama untuk Indonesia. Menjadi momen haru sekaligus membanggakan bagi Indonesia ketika atlet bulu tangkis Susy Susanti berhasil meraih emas pertama di Olimpiade Barcelona 1992. Bulu tangkis Indonesia memang kerap menjadi cabang olahraga yang digadang memiliki atlet perempuan hebat dan kerap membawa pulang prestasi di ajang Olimpiade, seperti Greysia Polii, Apriyani Rahayu, dan Liliyana Natsir.
Perjuangan panjang bagi perempuan untuk mendapatkan hak dan peran yang setara dengan laki-laki dalam bidang olahraga tentu tidak berhenti di ajang Olimpiade Paris ini. Gender parity yang telah diraih pada titik ini justru membuka pintu dan kesempatan bagi perempuan untuk mewujudkan hak-hak setara yang belum dicapai. Hal ini juga turut menjadi pemantik semangat perjuangan perempuan di bidang lain, seperti politik dan ekonomi. (LITBANG KOMPAS)