Gelar Guru Besar di Mata Publik
Aturan gelar guru besar bagi pejabat publik harus ditegakkan untuk menjaga marwah keilmuan perguruan tinggi.
Guru besar merupakan jabatan akademik tertinggi atau berada di puncak piramida karier akademik bagi dosen yang masih mengajar. Oleh karena itu, bagi pengajar di perguruan tinggi, wajar jika meraih jabatan akademik tertinggi menjadi cita-cita yang ingin diwujudkan.
Selain mencerminkan ”kesempurnaan” ilmu sebagai wujud dedikasi seorang pengajar serta mendapatkan tunjangan khusus, menyematkan profesor dalam barisan gelar sebuah nama menjadi kebanggaan tersendiri. Namun, untuk mencapai jabatan guru besar tersebut tidaklah mudah. Jalan panjang harus dilalui seorang dosen untuk meraihnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 92 Tahun 2014, sejumlah syarat harus dipenuhi untuk menjadi guru besar.
Seorang calon profesor harus memiliki pengalaman mengajar minimal 10 tahun, memiliki gelar akademik doktor, minimal tiga tahun setelah perolehan ijazah doktor, minimal dua tahun menduduki jabatan lektor kepala, dan dituntut menerbitkan artikel ilmiah di jurnal internasional bereputasi sebagai penulis pertama serta berpengalaman sebagai pembimbing utama (promotor) mahasiswa S-3.
Melihat persyaratan tersebut, jalan terjal pasti akan dilalui para dosen untuk mencapai puncak karier sebagai seorang akademisi. Pada rentang waktu tahun 2020-2022, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menerima 7.598 usulan guru besar.
Sebanyak 2.736 usulan atau 36 persen dari total pencalonan yang masuk dinyatakan lolos. Pada usulan yang lolos dari penilaian tim pusat ini, tidak ada perbaikan dan dianggap memenuhi syarat sebagai guru besar. Namun, dari ribuan pengajuan tersebut, 64 persen ditolak dengan berbagai alasan, salah satunya pelanggaran etika akademik (Kompas, 10/2/2023).
Susahnya menjadi guru besar bahkan memicu munculnya praktik-praktik jalan pintas yang dilakukan sebagian dosen. Liputan investigasi Kompas, 10 Februari 2023, mengungkap adanya praktik perjokian dunia akademik di sejumlah perguruan tinggi negeri ataupun swasta di Indonesia yang terjadi masif dan sistematis.
Praktik perjokian dalam pembuatan karya ilmiah untuk syarat kelulusan akademis hingga pengajuan guru besar terjadi di kampus negeri dan swasta di kota-kota besar.
Hingga muncul kasus dugaan rekayasa syarat-syarat permohonan guru besar yang dilakukan oleh belasan dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Kalimantan Selatan, yang dinilai mencerminkan persoalan sistemik dalam proses pencalonannya.
Kasus ini menjadi sorotan publik dan memantik timbulnya polemik terhadap predikat profesor yang juga bisa diberikan dan disandang oleh seseorang dari lingkungan nonakademik, seperti pejabat publik (politisi dan pesohor lainnya). Patut dan layakkah pejabat publik menerima predikat profesor dan menyematkan dalam barisan namanya?
Baca juga: Kebesaran Guru Besar
Kelayakan gelar profesor untuk pejabat publik
Jajak Pendapat Litbang Kompas pada 22-24 Juli 2024 lalu mendapat gambaran bagaimana pendapat publik terkait dengan polemik tersebut. Publik cenderung terbelah sikapnya terkait dengan hal ini.
Hanya selisih 6,1 persen, tetapi publik lebih cenderung menilai tidak layak jika gelar atau jabatan profesor/guru besar diberikan kepada profesi selain akademisi, misalnya politisi atau pejabat publik lainnya. Separuh responden (50,5 persen) menyatakan tidak layak, tetapi sebanyak 44,4 persen lainnya menyatakan layak atau patut.
Terpecahnya pendapat publik ini cukup beralasan karena bagi yang berpendapat layak ada regulasi yang mendasari pemberian gelar profesor kehormatan bagi kalangan nonakademik. Pemberian profesor kehormatan diatur dalam Peraturan Mendikbudristek Nomor 38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi.
Pada Pasal 2 Ayat 1 Permendikbudristek tersebut dijelaskan, setiap orang yang memiliki kompetensi dan/atau prestasi luar biasa dapat diangkat oleh menteri sebagai profesor kehormatan pada perguruan tinggi atas usulan pemimpin perguruan tinggi. Namun, pengangkatannya pun harus memenuhi sejumlah persyaratan yang dijelaskan pada Pasal 3.
Pasal 3 menjelaskan, kriteria seseorang untuk menjadi profesor kehormatan, antara lain, harus memiliki kualifikasi akademik paling rendah doktor, doktor terapan, atau kompetensi yang setara dengan jenjang 9 (sembilan) pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI).
Selain itu, juga memiliki kompetensi luar biasa dan/atau prestasi eksplisit dan/atau pengetahuan tacit luar biasa, juga memiliki pengalaman yang relevan dengan prestasi luar biasa yang mendapat pengakuan nasional dan/atau internasional, serta berusia paling tinggi 67 tahun.
Syarat yang tidak mudah juga sebenarnya. Oleh karena itu, berbagai kritik bermunculan hingga menimbulkan polemik atas gelar profesor yang diterima politisi dari Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad (Wakil Ketua DPR periode 2019-2024) dua tahun lalu, dan politisi Golkar, Bambang Soesatyo (Ketua MPR RI periode 2019-2024) yang sedang mengajukan gelar profesor ke Kemendikbudristek. Polemik muncul dari isu adanya kejanggalan hingga timbul keraguan keabsahan dalam memperoleh gelar prestise itu.
Termasuk gelar profesor yang sudah disandang pejabat publik lainnya, seperti Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen Reda Manthovani dan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha periode 2018-2023 Muhammad Afif Hasbullah.
Gelar profesor/guru besar kehormatan juga pernah dianugerahkan kepada Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri dan Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono serta Siti Nurbaya Bakar (politisi Nasdem) dan Fahmi Idris (politisi Golkar) karena kepakaran dan pencapaian atas kontribusinya pada negara.
Terbaru, Ali Mocthar Ngabalin, Juru Bicara Kantor Staf Kepresidenan RI, pada 7 Agustus 2024 lalu juga menerima gelar guru besar, tetapi dari perguruan tinggi di luar negeri, tepatnya dari University of Busan for Foreign Studies, Busan, Korea Selatan.
Baca juga: Salah Kaprah Gelar Profesor
Alasan pentingnya predikat profesor
Berbagai alasan yang melatarbelakangi mengapa harus mengejar atau mendapat predikat profesor itu sangat penting dan berarti bagi masyarakat Indonesia, terungkap dalam hasil jajak pendapat.
Menariknya, alasan yang paling banyak disebut responden mengapa pejabat publik mengejar gelar tersebut adalah dalam rangka untuk mencapai tujuan tertentu, misalnya agar terpilih menjadi anggota dewan dalam ajang pemilihan calon anggota legislatif atau dalam kontestasi pemilihan kepala daerah.
Sebanyak 37 persen responden berpandangan demikian. Tak dapat dimungkiri, dengan embel-embel banyaknya gelar hingga profesor diyakini akan memberikan nilai lebih bagi calon sehingga dapat menarik konstituen untuk memberikan dukungan.
Alasan ini juga terpotret tinggi pada responden yang berpendapat layak maupun tidak layak jika gelar atau jabatan profesor/guru besar diberikan kepada profesi selain akademisi.
Hal ini berkaitan dengan alasan kedua yang disebut 17,1 persen responden, yaitu karena ingin dihormati atau dihargai dengan menampilkan gelar. Gelar atau jabatan profesor yang menyimbolkan kepakaran tentunya menambah pamor seseorang menjadi semakin terhormat.
Sementara sebanyak 14 responden menilai predikat profesor itu penting karena adanya fenomema narsisme akademik (gelar yang berderet).
Fenomena ini setali tiga uang dengan alasan selanjutnya yang disebut 13 persen responden lainnya, yaitu karena adanya krisis identitas diri, di mana seseorang membutuhkan pengakuan dengan menyebut gelar.
Sementara sebanyak 12,5 persen responden yang lain berpandangan bahwa kebutuhan gelar sudah menjadi kelaziman bagi masyarakat Indonesia yang memiliki kultur lebih mengedepankan simbolik daripada substansi.
Baca juga: Profesor karena Joki
Meredam praktik jalan pintas
Berbagai latar belakang alasan meraih predikat tertinggi di perguruan tinggi tersebut bisa jadi turut memicu terjadinya pelanggaran-pelanggaran dalam proses meraihnya dengan mengabaikan prasyarat, bahkan kaidah-kaidah ilmiah.
Publik pun berharap pemerintah mengambil langkah atau kebijakan yang tepat guna mengatasi problem maraknya pemberian gelar profesor yang tidak mengikuti prosedur dan aturan semestinya.
Sebanyak 24,1 persen responden berpendapat, upaya utama yang harus dilakukan pemerintah adalah memberi sanksi kepada perguruan tinggi yang memberikan gelar profesor. Hal tersebut berkaitan dengan upaya lainnya, yaitu menegakkan norma/marwah perguruan tinggi supaya tidak bisa “dibeli” yang disebut 18,6 persen responden.
Terkait dengan hal ini, ratusan dosen Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 2022 pernah mengeluarkan surat penolakan atas pemberian gelar profesor/guru besar kehormatan kepada seseorang dari kalangan nonakademik, seperti pejabat publik, karena dinilai dapat merendahkan marwah kampus.
Selanjutnya, yang perlu diupayakan adalah membenahi sistem pendidikan tinggi yang disebut 22,8 persen responden dan menegakkan aturan terkait dengan pemberian gelar/jabatan profesor yang menjadi pendapat seperlima responden lainnya.
Ketegasan pemerintah dalam menegakkan aturan yang telah dibuat sangat diperlukan. Dan, yang tak kalah penting adalah meningkatkan kembali revolusi mental. Dengan mental yang baik, akal-akalan untuk dapat menyandang predikat profesor atau guru besar bisa diredam. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Guru Besar yang Bukan Sekadar Profesional