Pentingnya Reduksi Emisi Karbon dalam Masa Transisi Energi
Dalam masa transisi energi, penghentian secara bertahap penggunaan energi fosil bukan lagi menjadi isu utama.
Dalam masa transisi energi, penghentian secara bertahap penggunaan energi fosil bukan lagi menjadi isu utama, melainkan harus disertai dengan upaya-upaya dalam mengurangi output emisi karbon yang dihasilkan oleh berbagai bidang kegiatan ekonomi. Industri menjadi salah sektor yang penting dalam upaya reduksi emisi karbon itu.
Hal tersebut terungkap dalam forum diskusi Arifin Panigoro Dialog yang diselenggarakan oleh Rumah Kebangsaan pada akhir Juli 2024 di Jakarta. Dalam diskusi itu, sejumlah narasumber kompeten dihadirkan, seperti Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Eniya Listiani Dewi; praktisi energi dan anggota Dewan Energi Nasional, Satya Widya Yudha; serta Kepala Badan Standardisasi dan Kebijakan Jasa Industri Kementerian Perindustrian Andi Rizaldi.
Dalam upaya berkontribusi terhadap mitigasi ancaman pemanasan global, Indonesia menargetkan dalam Nationally Determined Contribution (NDC) 2030 akan mereduksi emisi karbon nasional sekitar 32 persen dengan usaha sendiri. Namun, bila mendapat bantuan dari asing, target reduksi emisi karbon pada 2030 mencapai kisaran 43 persen.
Energi menjadi salah satu sektor yang diprioritaskan untuk direduksi emisi karbonnya secara akseleratif. Sebab, sektor ini pada 2030 diproyeksikan akan memberikan sumbangan emisi karbon hingga sebesar 59 persen dari seluruh total emisi karbon nasional.
Baca juga: Membangun Gaya Hidup Berkonsep Konservasi Energi
Emisi karbon dari sektor energi itu akan meningkat jumlahnya bila digabungkan dengan emisi karbon yang dihasilkan sejumlah proses kegiatan ekonomi di Indonesia. Kontribusi emisi karbonnya melonjak menjadi lebih dari 70 persen pada 2030. Asumsinya, energi tersebut digunakan untuk berbagai keperluan, di antaranya untuk proses industri, transportasi, dan rumah tangga yang semuanya itu menghasilkan emisi karbon. Bahkan, limbah atau polusi pencemar yang dihasilkan dari berbagai kegiatan itu pun menghasilkan emisi karbon.
Oleh karena itu, transisi energi dari energi fosil menjadi energi terbarukan merupakan sebuah keniscayaan yang harus dilakukan untuk mereduksi emisi karbon secara akseleratif. Ada berbagai cara yang akan ditempuh pemerintah dan juga segenap stakeholder terkait agar transisi energi dapat berjalan dengan lancar.
Transisi energi
Dalam paparannya, Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi menunjukkan bahwa hingga tahun 2023, pemerintah telah melakukan sejumlah aksi mitigasi dalam upaya menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) di Indonesia. Aksi itu di antaranya efisiensi energi, peningkatan bauran energi baru terbarukan (EBT), menerapkan bahan bakar rendah karbon, penggunaan teknologi pembangkit bersih, dan berbagai kegiatan lainnya yang berdampak pada reduksi emisi karbon.
Ada sejumlah skenario yang akan dilaksanakan pemerintah dalam jangka menengah hingga tahun 2030. Terkait upaya efisiensi energi, pemerintah di antaranya akan meningkatkan efisiensi penggunaan energi pada peralatan rumah tangga, memasang lampu penerangan jalan hemat energi, mengoptimalkan penggunaan kendaraan listrik di masyarakat, dan efisiensi energi untuk memasak. Target efisiensi ini mampu mereduksi emisi karbon hingga kisaran 132 juta ton karbon dioksida.
Selanjutnya, untuk mengakselerasi bauran EBT, pemerintah akan meningkatkan jumlah pembangkit EBT sesuai rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) PT PLN. Selain itu, pemerintah akan meningkatkan implementasi penggunaan PLTS atap, meningkatkan produksi bahan bakar nabati (BBN), dan membangun jaringan pembangkit listrik EBT off grid, serta co-firing untuk bahan bakar pembangkit energi. Reduksi emisi karbon yang disasar dari bauran EBT ini mencapai 181 juta ton karbon dioksida.
Rencana lainnya lagi, pemerintah juga akan membangun pembangkit energi bersih, seperti melengkapi coal clean technology (CCT) pada PLTU batubara dan membangun pembangkit listrik tenaga gas alam. Peningkatan jumlah pembangkit yang kian minim emisi GRK ini diharapkan mampu mereduksi emisi karbon hingga 21 juta ton karbon dioksida.
Baca juga: Sampai Mana Bauran EBT Indonesia?
Langkah berikutnya, pemerintah akan meningkatkan penyaluran bahan bakar rendah karbon. Kebijakan ini akan diimplementasikan di antaranya dalam bentuk fuel switching BBM transportasi, penggunaan gas alam untuk bahan bakar kendaraan umum, dan meningkatkan penggunaan jaringan gas kota yang berbasis gas alam untuk keperluan sehari-hari. Kebijakan ini ditargetkan mampu mengurangi emisi GRK hingga sebesar 16,83 juta ton karbon dioksida.
Apabila semua skenario tersebut dapat tercapai, reduksi emisi karbon dari sektor energi pada 2030 yang sebesar 358 juta ton karbin dioksida dapat direalisasikan.
Untuk menunjang semua rencana besar menuju NDC 2030 dan karbon netral Indonesia 2060, pemerintah saat ini tengah membenahi aturan terkait Kebijakan Energi Nasional (KEN). Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) KEN saat ini sudah berada di unsur pimpinan tertinggi pemerintahan untuk disahkan. RPP KEN ini untuk menyempurnakan PP Nomor 79 Tahun 2014 tentang KEN.
Dalam paparan Satya Widya Yudha, ada sejumlah pembaruan dalam RPP KEN saat ini. Paparan itu di antaranya tentang grand strategy untuk tetap menjaga ketahanan energi nasional dalam masa transisi energi, fase puncak emisi karbon nasional mundur pada rentang 2035-2045, dan menetapkan target bauran EBT pada 2060 sebesar 70-72 persen.
Strategi besar dalam menjaga ketahanan energi yang diajukan dalam RPP KEN itu berisi tentang menjaga keamanan pasokan dan keterjangkauan harga selama masa transisi energi. Selain itu, juga berisi tentang strategi meningkatkan konservasi dan efisiensi energi, memaksimalkan energi terbarukan, meminimalisasi penggunaan fosil batubara dan bensin, serta mengoptimalkan penggunaan gas alam dalam fase penting transisi energi. Dalam RPP KEN ini, juga disinggung tentang penggunaan energi baru nuklir untuk menyeimbangkan suplai pasokan energi dan mencapai target dekarbonisasi.
Transisi energi sektor industri
Industri menjadi sektor krusial yang berperan penting dalam reduksi emisi karbon. Dari lima sektor penyumbang emisi karbon nasional, setidaknya ada tiga sektor yang berkaitan erat dengan industrialisasi. Ketiga sektor itu adalah energi, limbah, dan proses industri serta penggunaan produk industri. Sekitar 70 persen emisi karbon di Indonesia disumbang oleh ketiga sektor yang terkait industri tersebut.
Oleh karena itu, dalam masa transisi energi, peranan industri yang berwawasan lingkungan sangat penting untuk diimplementasikan. Industri hijau merupakan bentuk industri yang ideal untuk dijalankan karena mengedepankan konsep keberlanjutan dan juga mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Dalam presentasinya, Andi Rizaldi menyebutkan tentang strategi transisi energi dalam sektor industri. Dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru Energi Terbarukan (EBET) disebutkan mengenai pengertian transisi energi. Di mana transisi energi adalah proses transformasi penyediaan dan pemanfaatan energi tak terbarukan menjadi EBET. Selain itu, dalam masa transisi ini juga menerapkan penggunaan teknologi energi yang rendah karbon sehingga tercipta efisiensi energi.
Baca juga: Sudah Saatnya Para Komuter Jabodetabek Menggunakan Sepeda Motor Listrik
Ada sejumlah strategi yang akan diterapkan pada sektor industri dalam masa transisi energi ini. Salah satunya dengan fuel switching dengan meningkatkan penggunaan listrik, mengurangi konsumsi batubara, serta meningkatkan penggunaan gas alam dan hidrogen. Selain itu, juga menerapkan strategi elektrifikasi terutama pada industri yang menggunakan low temperature processes, seperti industri makanan dan minuman, tekstil dan kulit, serta perangkat elektronik.
Langkah berikutnya, dengan hidrogenisasi dan penggunaan biomassa. Green hydrogen dan biomassa digunakan untuk menggantikan bahan bakar fosil untuk proses pemanasan suhu tinggi, terutama pada industri semen dan juga sejumlah industri lainnya.
Pada fase transisi ini, sejumlah industri yang menghasilkan emisi GRK besar juga diharuskan untuk menggunakan teknologi carbon capture and storage (CCS) dan carbon capture utilization storage (CCUS). Industri itu di antaranya industri besi, baja, kimia, pupuk, serta industri lainnya yang menghasilkan emisi karbon yang besar, seperti PLTU batubara.
Dengan sejumlah skenario tersebut, harapannya transisi energi menuju pembangunan ekonomi yang rendah karbon dapat terealisasi di Indonesia. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan tidak serta-merta langsung meniadakan konsumsi energi fosil yang sangat mendominasi di Indonesia. Namun, dengan pendekatan teknologi mutakhir, harapannya tercipta reduksi emisi GRK yang signifikan sehingga secara bertahap konsumsi energi fosil dapat ditransisikan ke energi yang ramah lingkungan. Kelestarian alam dapat terus terjaga dan pertumbuhan ekonomi dapat terus tercipta tanpa harus mengalami gangguan akibat suplai energi yang terkendala akibat transisi energi yang tidak berjalan semestinya. (LITBANG KOMPAS)