Beban Berat Mengangkat Pertumbuhan Ekonomi Lebih Tinggi
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tampaknya masih relatif sulit terwujud hingga saat ini.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tampaknya masih relatif sulit terwujud hingga saat ini. Sinyal penurunan sejumlah indikator tengah terjadi pada triwulan kedua tahun ini sehingga harapan meraih growth yang tinggi tampaknya susah terealisasi. Pemerintah perlu segera mengantisipasi agar tak mengancam kinerja ekonomi secara keseluruhan di negeri ini.
Biasanya, triwulan kedua menjadi salah satu periode pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi dalam masa setahun. Setidaknya dalam beberapa tahun belakangan. Hal ini salah satunya didorong oleh tingginya konsumsi masyarakat pada masa bulan Ramadhan dan hari raya Idul Fitri. Tahun lalu, misalnya, pertumbuhan ekonomi triwulan II menjadi yang tertinggi sebesar 5,17 persen. Besaran pertumbuhan triwulanan tersebut di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2023 yang sebesar 5,05 persen.
Namun, pada tahun ini situasinya agak berbeda, di mana pertumbuhan ekonomi triwulan kedua kurang menggembirakan. Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, pertumbuhan ekonomi pada April-Juni 2024 naik sebesar 5,05 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Secara angka memang masih mampu menembus 5 persen, tetapi secara keseluruhan melambat dibandingkan pertumbuhan triwulan I-2024 yang mencapai 5,11 persen (year-on-year).
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, tak mudah untuk mewujudkan pertumbuhan paling tinggi pada triwulan kedua tahun ini. Pertama, momentum hari raya tidak sepenuhnya berlangsung pada triwulan kedua. Separuh masa Lebaran tersebut berlangsung pada Maret yang masuk dalam perhitungan triwulan I-2024 sehingga pertumbuhan menjadi tidak maksimal terbagi dalam dua triwulan. Selain itu, pada triwulan I lalu, Indonesia melaksanakan pesta demokrasi pemilu yang turut mendorong pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi pada fase awal tahun.
Kedua, adanya tekanan berbagai gejolak, baik domestik maupun global, yang turut berdampak pada kinerja sejumlah bidang perekonomian. Salah satu sektor yang menurun pada triwulan kedua ini adalah industri manufaktur yang besaran kontribusinya pada produk domestik bruto (PDB) susut sedikit menjadi 18,52 persen. Pada triwulan lalu, kontribusi industri pengolahan pada pertumbuhan ekonomi nasional mencapai lebih dari 19 persen. Hal itu mengindikasikan bahwa sektor industrialisasi tengah mengalami sedikit penurunan dalam menghasilkan output barang dan jasa.
Baca juga: Konsumsi Masyarakat Lesu, Ekonomi Nasional Tumbuh Melambat ke 5,05 Persen
Manufaktur merosot
Kondisi sektor industri yang menjadi tulang punggung utama perekonomian nasional sedang kurang baik untuk saat ini. Pada Juli 2024, S&P Global merilis bahwa Indeks Manajer Pembelian (PMI) manufaktur Indonesia menyusut menjadi 49,3. Indeks ini merupakan yang terendah sejak Agustus 2021 dan hal ini merupakan kelanjutan dari penurunan tren PMI yang terus terjadi sejak April 2024.
Padahal, pada Maret lalu, PMI manufaktur Indonesia mampu menembus angka 54,2 atau merupakan capaian tertinggi sejak 2022. Namun, angka itu merosot pada April menjadi 52,9 dan terus berlanjut hingga Juli. Pada Juni, sebagai penutup triwulan II-2024, hanya menembus angka 50,7. Kinerja manufaktur pun secara umum cenderung melemah dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Laju pertumbuhannya melambat dari 4,88 persen menjadi 3,95 persen.
Indeks tersebut merupakan indikator ekonomi berbasis survei yang dirancang untuk memberikan gambaran terkini tentang kondisi bisnis terutama sektor manufaktur. Beberapa hal yang diukur antara lain output, pesanan atau permintaan baru, pasokan, biaya, dan kondisi lapangan kerja. Pada periode Juli, penurunan permintaan baru dan naiknya biaya output menjadi pemicu merosotnya PMI manufaktur di Indonesia.
Tekanan global dan ketegangan geopolitik sejumlah negara membuat permintaan pasar luar negeri Indonesia cukup terdampak, salah satunya tergambar dari kinerja ekspor di Tanah Air. Gejala penurunan penjualan ke luar negeri itu sudah tampak sejak tahun lalu ketika capaiannya tak setinggi tahun sebelumnya. Data terbaru menunjukkan, total nilai ekspor pada semester satu tahun ini masih lebih rendah dari nilai ekspor semester satu tahun lalu. Situasi ini menunjukkan adanya indikasi gejolak pasar yang menyebabkan turunnya nilai permintaan ekspor.
Baca juga: Konsumsi Masyarakat Melambat, Airlangga Anggap Itu Masih Normal
Lesunya manufaktur Tanah Air dari kacamata global itu pun selaras dengan penurunan Indeks Keyakinan Industri (IKI) yang dirilis oleh Kementerian Perindustrian. Juli 2024, IKI Indonesia turun tipis menjadi 52,4 setelah mencatatkan stagnasi di angka 52,5 sejak Mei 2024.
Kedua indikator tersebut mengindikasikan bahwa kinerja manufaktur tidak cukup dapat diandalkan untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi pada triwulan kedua tahun ini. Padahal, manufaktur merupakan penggerak pertumbuhan yang mengintegrasikan berbagai sektor kegiatan ekonomi. Ketika mediator ini lesu, ekonomi secara keseluruhan akan turut terpengaruh. Ditambah lagi, perannya sebagai sektor yang paling mendominasi PDB nasional akan sangat berdampak pada ekonomi secara lebih luas.
Keyakinan konsumen melemah
Tak hanya dari dunia industri, kurang bergairahnya konsumen juga menjadi tantangan tersendiri untuk mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada tahun ini. Masyarakat sebagai konsumen juga tengah diambang ketidakpastian. Seperti halnya manufaktur, pada sisi pengeluaran, konsumen merupakan kekuatan utama ekonomi negeri ini. Lebih dari separuh ekonomi nasional berasal dari belanja masyarakat sebagai konsumen akhir.
Persoalannya, gejolak dunia yang tak kunjung usai turut memengaruhi optimisme konsumen dalam memandang ekonomi akhir-akhir ini. Keyakinan masyarakat berangsur turun setelah mencapai puncak optimisme pada April 2024. Hal itu tergambar dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dirilis oleh Bank Indonesia. Pada April 2024, IKK Indonesia mencapai angka 127,7 atau tertinggi sejak Juni tahun lalu. Sayangnya, setelah itu IKK terus merosot dan pada Juni lalu menjadi 123,3.
Melemahnya optimisme paling terasa ketika konsumen memandang ketersediaan lapangan kerja saat ini, yang turun drastis dari 113,6 menjadi 106,8. Masih masuk zona optimis lantaran masih di angka 100, tetapi merupakan capaian terendah sejak masa pemulihan pandemi pada awal 2022.
Hal tersebut termanifestasikan pada laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga triwulan lalu yang cenderung melemah dibandingkan dengan triwulan-triwulan sebelumnya setidaknya dalam dua tahun terakhir.
Baca juga: Meski Arah Kebijakan Moneter AS Bawa ”Angin Segar”, Ketidakpastian Belum Usai
Gejala pesimisme tersebut harus segera dibendung agar tak terus merosot. Secara tidak langsung, gelombang pesimisme ini juga menuntut pemerintah untuk segera memberikan jalan keluar, terutama melalui penyediaan lapangan pekerjaan. Pasalnya, tanpa pekerjaan dan pendapatan yang cukup, daya beli masyarakat akan menurun. Pada gilirannya, permintaan terhadap produk manufaktur berkurang dan roda ekonomi secara keseluruhan akan terganggu.
Bersamaan dengan keyakinan konsumen yang melemah, terjadi peningkatan harga-harga secara umum yang cenderung kecil. Angka inflasi Indonesia terus turun sejak April 2024, hingga mencapai 2,51 persen pada Juni lalu. Masih berada dalam kisaran target 2,5±1 persen. Inflasi tinggi memang tidak diharapkan karena akan menimbulkan gejolak lainnya. Namun, inflasi yang rendah tidak selalu menunjukkan kondisi yang baik-baik saja. Penurunan angka inflasi biasanya menunjukkan adanya penurunan daya beli oleh masyarakat.
Namun, pemerintah menyatakan bahwa penurunan inflasi bukan saja lantaran lemahnya daya beli publik. Rendahnya angka inflasi tersebut karena pemerintah berhasil mengendalikan harga agar tak menambah gejolak di masyarakat. Ditambah lagi pada triwulan kedua bersamaan dengan periode masa panen yang kemudian membuat stok pangan aman sehingga tidak menimbulkan kelangkaan yang dapat memicu naiknya harga-harga secara umum.
Jika demikian yang terjadi, kondisi secara makro masih relatif aman, tetapi tetap saja jangan sampai terlena. Berbagai sinyal ketidakpastian telah menjalar pada kegamangan konsumen yang kemudian turut menurunkan optimisme mereka secara perlahan. Hal ini perlu ditangkap sebagai sinyal bahwa pemerintah perlu bergerak cepat untuk mengembalikan keyakinan konsumen sebagai penyokong utama sektor belanja negeri ini. Setidaknya, permintaan terhadap produk-produk nasional tetap terjaga stabilitasnya di pasar domestik. Dengan demikian, ekonomi tetap tumbuh serta kualitas pembangunan nasional tetap terjaga. Gejolak pelemahan permintaan global dapat diantisipasi sehingga tidak terlalu berdampak signifikan bagi perekonomian nasional. (LITBANG KOMPAS)