Pemilih Bimbang Jateng Paling Tinggi, Mengapa?
Enam dari sepuluh responden di Jawa Tengah belum menentukan pilihan gubernurnya. Peta persaingan masih terbuka lebar.
Hasil survei Litbang Kompas pada Juni 2024 yang dilakukan di Jawa Tengah merekam, sebanyak 64 persen responden belum menentukan pilihan dalam pemilihan gubernur mendatang. Dibandingkan dengan provinsi lain di Jawa, Jateng menjadi wilayah dengan undecided voters paling tinggi.
Di sisi lain, dari jawaban responden yang sudah memiliki pilihan, belum ada sosok kuat yang muncul. Tiga nama teratas belum menyentuh keterpilihan meyakinkan, angkanya masih di bawah 10 persen. Putra bungsu Presiden Jokowi, Kaesang Pangarep, sementara berada di posisi teratas dengan menjadi top of mind 7 persen responden Jateng.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Sedikit di bawah Kaesang, Kapolda Jateng Inspektur Jenderal Ahmad Luthfi dengan keterpilihan 6,8 persen. Dua nama teratas tersebut diikuti Taj Yasin Maimoen (3,2 persen), Raffi Ahmad (2,8 persen), Dico Ganinduto (2,6 persen), Bibit Waluyo (2,4 persen), serta Hendar Prihadi (2,0 persen). Berikutnya, dalam kisaran 1 persen terdapat nama Muhammad Yusuf Chudlori, Bambang Wuryanti, dan Sudirman Said.
Tingginya angka pemilih bimbang yang bersanding dengan belum munculnya tokoh kuat calon gubernur di Jateng dapat diartikan persaingan menuju Pilkada Jateng masih terbuka lebar.
Dalam bulan-bulan menjelang pilkada, keberhasilan tokoh politik ataupun partai menyakinkan pemilih bimbang akan menjadi kunci keunggulan politik.
Baca juga: Survei Pilkada 2024: Menanti Tuah Jokowi di Jateng (16)
Fenomena pemilih bimbang
Secara teoretis terdapat sejumlah alasan mengapa calon pemilih masih belum menentukan pilihannya menjelang pemilu. Lundberg (2014) dalam jurnal berjudul Decisions among the Undecided: Implicit Attitudes Predict Future Voting Behavior of Undecided Voters mengajukan sejumlah penjelasan.
Pertama, pemilih bimbang dalam posisi gamang sebab sungguh-sungguh belum memiliki preferensi yang pasti mengenai siapa yang akan dipilih. Kedua, bisa saja mereka yang berstatus sebagai pemilih bimbang telah memiliki preferensi, tetapi masih menimbang-nimbang (wait and see) dinamika politik menuju kandidasi. Ketiga, pemilih bimbang adalah mereka yang memang tidak menyadari arah politik dan dinamika yang terjadi.
Dalam soal yang pertama, secara kronologis Jateng akan memunculkan sosok nonpetahana dalam pilkada mendatang. Ganjar Pranowo yang telah dua periode menjabat sebagai gubernur Jateng tidak memungkinkan lagi maju sebagai kandidat. Berbeda dengan Jawa Barat, misalnya, Ridwal Kamil masih dimungkinkan untuk menjadi gubernur.
Demikian pula dengan sosok kuat di wilayah lain, seperti Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama di Jakarta ataupun Khofifah Indar Parawansa di Jawa Timur. Nama-nama ini masih memiliki kesempatan untuk maju lagi sebagai gubernur.
Menyambut sosok baru di Jateng, sekitar empat bulan menjelang pilkada, pemilih Jateng tampak gamang untuk menentukan calon gubernur tanpa ada petahana.
Dari sudut pandang yang lain, secara faktual tampak bahwa sumber-sumber kekuatan politik di Jateng belum secara serius mempersiapkan tokoh penerus setelah Ganjar Pranowo, baik dari kubu PDI-P sebagai partai penguasa di Jateng maupun dari kubu politik lainnya. Dalam waktu yang tinggal sekitar satu bulan menjelang pencalonan, situasi ini bisa dipandang sebagai sebuah keterlambatan.
Selain soal kegamangan, terbuka kemungkinan pula bahwa sebenarnya pemilih bimbang di Jateng sudah memiliki preferensi khusus dalam pilihan politiknya. Namun, sebagaimana dijelaskan Lundberg, mereka masih dalam posisi menimbang-nimbang. Pertimbangan ini tampak tidak bisa dipisahkan terlalu jauh dari dinamika politik Pilpres 2024.
Baca juga: Mencari Pemimpin yang Mampu Mengangkat Derajat Jateng
Pengaruh hasil pilpres
Kontestasi yang telah usai dalam Pemilu 2024 menunjukkan adanya tarikan kuat antara PDI-P dan sosok Presiden Joko Widodo. Pilpres sebagai cerminan dinamika politik nasional menunjukkan faktor Jokowi lebih unggul dibandingkan dengan faktor PDI-P.
Terbukti, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mendulang suara sekitar 53 persen di Jateng. Sebaliknya, pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD menyusul dengan perolehan suara sekitar 34 persen.
Meskipun demikian, kekuatan PDI-P yang secara historis menguasai Jateng tetap tidak bisa diabaikan. Berbicara dinamika politik lokal, PDI-P masih menjadi partai dengan basis pendukung kuat. Hasil penetapan Pileg DPRD Jateng menunjukkan PDI-P masih berada di posisi teratas dengan raihan suara 5,2 juta atau 26,59 persen dari total suara.
Perolehan PDI-P disusul oleh PKB dengan 15,32 persen suara dan Gerindra dengan 13,08 persen. Hal ini membuktikan bahwa faktor Jokowi dan PDI-P bisa menjadi tarikan yang berpotensi terulang dalam pilkada nanti.
Apabila membandingkan responden yang sudah menentukan pilihan dan yang masih bimbang, tergambar pendukung Jokowi mulai terbentuk arah politiknya. Responden yang memilih Jokowi pada Pilpres 2019 menunjukkan proporsi kebimbangan yang lebih rendah dibandingkan dengan responden yang tidak memilih Jokowi.
Saat ini, terdapat 40,1 persen pendukung Jokowi yang sudah menentukan pilihannya dengan menyisakan 59,9 persen responden yang belum menentukan pilihan. Sebaliknya, hanya sekitar 26,9 persen saja responden nonpendukung Jokowi yang sudah menentukan. Artinya masih ada 73,1 persen responden bukan pendukung Jokowi yang masih belum menentukan pilihannya.
Sementara itu, jika disilangkan dengan pilihan partai politiknya, pendukung PDI-P yang sudah menentukan pilihan sebesar 45 persen dengan masih ada 55 persen yang belum menentukan pilihan.
Baca juga: Survei Pilkada 2024: Ironi Kesejahteraan Petani di Jateng (18)
Faktor Jokowi dan PDI-P
Melihat bagaimana posisi responden di atas, dapat dimaknai bahwa faktor Jokowi dan PDI-P tidak hanya akan berkontra secara langsung dan vis a vis satu sama lain. Sebaliknya, gabungan kedua unsur tersebut lebih menjadi bentuk tegangan unik bagi pemilih Jateng.
Pasalnya, pendukung Jokowi terdiri dari mereka yang memilih PDI-P maupun tidak memilih PDI-P. Sebaliknya pendukung PDI-P pun terdiri dari mereka yang memiliki preferensi terhadap Jokowi ataupun tidak.
Ditambah lagi, pertimbangan tokoh keagaman menjadi sisi yang cukup dipertimbangkan oleh pemilih Jateng. Latar belakang tokoh keagaman Islam mendapat persetujuan dari 70,2 persen responden.
Dari sisi elite politik, bagaimana poros politik keagamaan di Jawa Tengah tentu menjadi pertimbangan untuk membentuk kerja sama politik.
Akhirnya, sebagai sebuah ritual menuju kontrak politik daerah, selain faktor elite di atas, undecided voters yang masih tinggi di Jateng mencerminkan pula suara rakyat yang belum menemukan sosok tepat untuk mengatasi permasalahan hidup Jateng. Artinya, dalam proses menimbang dan menunggu dinamika politik yang terjadi, masyarakat Jateng pun memiliki tuntutan.
Dari hasil survei ini, kesejahteraan petani, masalah kemiskinan, serta problem hak rakyat atas tanah menjadi keprihatinan hidup yang ditunjukkan. Bagaimana para kandidat menawarkan solusi atas permasalahan ini turut menentukan keberpihakan politik masyarakat Jawa Tengah. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Survei ”Kompas” Pilgub Jakarta 2024: Anies, Ahok, atau Ridwan Kamil?