Memaknai Pemilih Sosiologis Anies dan Ahok di Pilkada Jakarta
Pemilihan gubernur Jakarta dan perilaku pemilih Jakarta dalam memilih kandidat.
Di balik anggapan bahwa pemilih Jakarta ”rasional” yang mendasarkan pada pertimbangan kinerja dan pengalaman, ada indikasi sesungguhnya pemilih Jakarta juga sangat sosiologis-psikologis yang lebih mengandalkan kesamaan sentimen identitas sosial dibalut patronase agama atau aspek given lainnya.
Sejauh mana rasionalitas versus sosiologis-psikologis pemilih Jakarta itu akan berperan dalam bakal terbukti di hasil pilkada mendatang. Namun, kita bisa mengintip akan seperti apa perilaku pemilih Jakarta dari hasil survei Pilkada Jakarta yang dilakukan Litbang Kompas pada 15-20 Juni 2024.
Hasil survei menunjukkan, saat ini pemilih Jakarta memiliki unsur-unsur pilihan sosiologis-psikologis yang cukup besar. Pilihan pada calon gubernur yang diharapkan sebagian besar tertuju pada dua sosok utama, yakni Anies Rasyid Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).
Pada versi top of mind, Anies Baswedan meraih elektabilitas 29,8 persen, sedangkan Ahok 20,0 persen. JIka diakumulasikan, elektabilitas kedua tokoh itu sudah mencakup 49,8 persen alias hampir separuh bagian responden.
Jika jumlah suara kedua tokoh itu sama-sama diekstrapolasi, yakni mengabaikan responden yang tidak tahu atau tidak jawab, kemudian dijumlahkan, menjadi 71,1 persen alias semakin mendominasi proporsi seluruh pemilih.
Besarnya komposisi pemilih Anies dan Ahok ini, di antara nama-nama lain yang diproyeksikan menjadi gubernur Jakarta, menunjukkan bahwa kedua nama tersebut masih menjadi referensi kuat penduduk Jakarta.
Memang ada tokoh ketiga, Ridwan Kamil, yang membayangi Anies dan Ahok dengan elektabilitas 8,5 persen (top of mind) dan 12,1 persen (ekstrapolasi), tetapi latar belakang pemilihnya cenderung tak diametral secara sosio-politik sebagaimana pemilih Anies-Ahok.
Diukur dari tingkat resistensi untuk dipilih, baik Anies maupun Ahok sama-sama mendulang 17 persen dari responden Jakarta. Angka tersebut tergolong relatif kecil dibandingkan tingkat penerimaan sebagai basisnya, yang mencapai 75,6 persen untuk Anies dan 74 persen untuk Ahok.
Resistensi itu lebih rendah, misalnya, dibandingkan nama Kaesang Pangarep, Heru Budi Hartono, dan Zita Anjani yang sama-sama mendapat angka resistensi 33 persen koma sekian dengan tingkat penerimaan yang lebih rendah.
Sementara jika ditilik lebih mendalam pada aspek penolakan (resistensi) di setiap pendukung Anies dan Ahok, semakin terlihat posisi diametral. Jika Ahok mencalonkan diri, ada 68 persen pemilih Anies yang tak akan memilihnya. Sebaliknya, jika Anies yang mencalonkan diri, ada 76,1 persen pemilih Ahok yang tak akan memilihnya.
Paparan tersebut membuktikan bahwa Pilkada Jakarta tak terlepas dari aspek ”sentimen” politik yang cukup kental khususnya antara kubu pemilih Anies Baswedan dan Ahok. Kondisi ini tak terlepas dari kontestasi di Pilkada Jakarta 2017 di mana kedua nama tersebut berhadap-hadapan diiringi dengan isu politik identitas.
Baca juga: Survei Pilkada 2024: Celah Peluang dalam Bayang Sosok Anies dan Ahok di Pilgub Jakarta (5)
Perbandingan dengan Pilkada 2017
Kondisi keterbelahan sosial bernuansa keagamaan, proses persidangan kasus ”penistaan agama”, dan sejumlah demonstrasi besar-besaran di masyarakat pemilih Jakarta di akhir 2016 hingga jelang putaran kedua pilkada Jakarta 2017 membuat sentimen negatif memuncak dan tampak sangat berperan menggeser sejumlah pemilih Ahok.
Catatan Kompas terhadap survei tatap muka Litbang Kompas pada 28 Januari sampai 4 Februari 2017 dengan 800 responden saat itu mencatat elektabilitas pasangan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat masih yang tertinggi (36,2 persen), relatif jauh di atas Anies Baswedan-Sandiaga Salahuddin Uno yang meraih 28,5 persen.
Di Pilkada Jakarta putaran pertama yang dilaksanakan pada 15 Februari 2017 dan diikuti tiga pasangan calon, pasangan Ahok-Djarot masih mampu meraih 42,96 persen, Anies-Sandi meraih 39,97 persen, dan Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni meraih 17,06 persen.
Artinya, selama dua minggu sejak awal Februari 2024, sudah terjadi pergeseran pemilih, baik ke Ahok-Djarot maupun ke Anies-Sandi, terutama dari pemilih Agus-Sylvi.
Hal itu makin terbukti di hasil putaran kedua Pilkada Jakarta 2017. Di putaran kedua yang dilaksanakan pada 19 April 2017, pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno meraih 57,96 persen, sedangkan Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat 42,04 persen.
Angka elektabilitas Ahok-Djarot relatif stagnan, sedangkan Anies-Sandi mengalami kenaikan 17,9 persen selama periode antarpemilu sekitar dua bulan.
Setahun sebelumnya, di awal proses penjaringan calon, survei Litbang Kompas pada Juni 2016 merekam popularitas sejumlah tokoh yang masuk nominasi gubernur Jakarta.
Hasilnya, kemungkinan Ahok sebagai petahana akan kembali memimpin Jakarta dengan elektabilitas 57,8 persen. Angka ini artinya Ahok-Djarot akan ”melibas” semua kandidat karena sudah di atas 50 persen elektabilitas.
Namun, tingginya kepercayaan publik Jakarta kepada Ahok itu mulai luntur setelah penetapan pasangan calon yang diikuti munculnya kasus dugaan penodaan agama. Pilkada Jakarta jadi kental dengan nuansa ketegangan primordialisme agama.
Terlebih ketika kasus ini bergulir dan mendorong aksi damai umat Islam pada 4 November dan 2 Desember 2016, kian menurunkan elektabilitas Basuki-Djarot sebagaimana terekam pada survei bulan-bulan berikutnya.
Dalam survei Litbang Kompas pada 7-15 Desember 2016, elektabilitas Basuki-Djarot hanya 33 persen. Sebaliknya, elektabilitas Agus-Sylvi justru melesat.
Hasil survei itu menunjukkan Agus diprediksi paling berpeluang menjadi gubernur jika pilkada dilakukan pada saat itu dengan tingkat elektabilitas 37,1 persen. Sementara Anies-Sandiaga berada di posisi terbawah dengan 19,5 persen dukungan.
Namun, situasi dengan cepat berubah setelah debat kandidat. Dalam survei Litbang Kompas pada 28 Januari-4 Februari 2017, kekuatan Agus-Sylvi menurun menjadi 28,2 persen.
Seperempat calon pemilihnya beralih kepada Anies-Sandiaga dan 9 persen kepada Basuki-Djarot. Peta elektabilitas pun berubah, Basuki-Djarot teratas dengan 36,2 persen dan Anies-Sandiaga melesat ke posisi kedua dengan kenaikan sebesar 9 persen menjadi 28,5 persen.
Sejumlah peristiwa diduga menyumbang indikasi penurunan dukungan kepada Agus-Sylvi. Pertama, meredupnya pamor gerakan keagamaan setelah kasus hukum menjerat sejumlah tokohnya. Kedua, blunder yang dilakukan Sylvi. Selain kerap membuat jawaban-jawaban yang tidak tepat dalam debat kandidat, Sylvi juga diusut dalam kasus dugaan korupsi.
Ketiga, sikap dan pernyataan yang dikeluarkan Susilo Bambang Yudhoyono selaku ayah Agus yang cenderung direspons secara negatif. Di luar fenomena itu, gerakan-gerakan yang membela kebinekaan dan pluralitas juga kian menguat (Kompas, 16/2/2017).
Baca juga: Survei ”Kompas” Pilgub Jakarta 2024: Anies, Ahok, atau Ridwan Kamil?
Anies dibiarkan melenggang sendiri?
Saat ini jelang pendaftaran pasangan calon gubernur Jakarta akhir Agustus nanti, Anies Baswedan yang sudah diusung Partai Keadilan Sejahtera dan Nasdem menjadi kalkulasi utama seluruh partai politik, baik di Koalisi Indonesia Maju (KIM) maupun di luar KIM. Ada keraguan memajukan kandidat yang mampu melawan popularitas dan loyalitas pemilih Anies Baswedan.
Dengan memakai pedoman hasil dari sejumlah lembaga survei, maka akan sulit mengingkari kemungkinan besar keunggulan Anies Baswedan dalam pilkada mendatang. Apalagi calon terkuat penantang, yakni Basuki Tjahaja Purnama, dalam sejumlah wawancara menyatakan kecenderungan tak mendapat restu PDI-P untuk maju di Pilkada Jakarta.
Nama Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK) disebut-sebut menjadi kandidat terkuat yang hendak dimajukan menantang popularitas Anies Baswedan yang kini masih dipasangkan dengan Wakil Ketua Dewan Syura PKS Sohibul Iman. Namun, terlihat keragu-raguan yang besar dari Golkar sebagai parpol pengusung RK karena jaminan kemenangan di Jawa Barat yang lebih besar bagi RK.
Bagaimanapun, dari perjalanan elektabilitas Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2017 terlihat bahwa kenaikan yang terjal elektabilitas banyak ditopang oleh isu peristiwa yang menyertai putaran pertama dan kedua pilkada saat itu. Tanpa terjadinya narasi penodaan agama dan meruyaknya primordialisme, rasanya sulit membayangkan perubahan proporsi secara ekstrem di Jakarta.
Di sisi lain, pemilih di Jakarta sudah bergeser selama lima tahun ini, sebagai hasil dari perkembangan politik dan sepak terjang politisi di seputar ibu kota. Para mantan pemilih Anies Baswedan di Pilpres 2024 tentu masih memiliki loyalitas dan mesin jejaring politik yang kuat dan mudah digerakkan.
Di sisi lain, para pemilih beraliran ”nasionalis” sebagai mantan pemilih Ahok di Pilkada 2017 dan pemilih Joko Widodo-Ma’ruf Amin di Pilpres 2019 juga tampak memiliki pola favoristisme yang mayoritas tak akan memilih Anies Baswedan sebagaimana dibahas di bagian awal tulisan ini. Kondisi psikologis politik ini akan terus mewarnai kondisi jelang pemungutan suara pada 27 November 2024.
Apakah mereka akan mudah mengalihkan suara kepada Ridwan Kamil jika hanya nama tersebut yang tersedia di surat suara? Tentu hal itu membutuhkan dorongan narasi sosiologis tersendiri sebagaimana dulu sebagian pemilih Agus-Sylvi dan Ahok-Djarot mengalihkan dukungan ke Anies-Sandi. Semata-mata memilih karena sikap ”anti-Anies” tampaknya tak banyak terjadi jika becermin pada tingkat resistensi yang relatif rendah.
Pada akhirnya, partai-partai patut berhitung ulang, apakah akan membiarkan Anies Baswedan akan memenangi pilkada Jakarta dengan mudah atau melakukan perlawanan dengan memajukan kandidat yang memiliki kaliber setara Anies.
Bagaimanapun, publik Jakarta sudah menunjukkan bahwa mereka memiliki sisi loyalitas yang bernuansa konservatif, tetapi hal itu didasari pula dengan rasionalitas saat menilai sang kandidat gubernur Jakarta. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Kans ”Rematch” dengan Ahok, Anies Pilih Fokus Pikirkan Warga Jakarta