Mencerna Keputusan Mundur Biden dan Menebak Arah Politik AS
Elektabilitas Trump meningkat setelah percobaan pembunuhan. Pemilu AS makin dinamis pascamundurnya Biden.
Secara mengejutkan, Presiden AS Joe Biden mengumumkan pengunduran dirinya dari pemilu AS tahun ini. Sebagai kandidat terkuat, tugas pemenangan Demokrat dilimpahkan kepada Wakil Presiden Kamala Harris. Di tengah dinamika di tikungan terakhir, ke mana angin berembus di pemilu AS kali ini?
Bak petir di siang bolong, Presiden AS Joe Biden menyiarkan pengunduran resminya sebagai bakal calon presiden AS di pemilu 2024 di akun X resminya pada Minggu (21/7/2024).
Dalam cuitan tersebut, Biden menyampaikan ia memutuskan untuk tidak menerima nominasi pencalonan dari Partai Demokrat dan akan fokus untuk menuntaskan masa kepemimpinannya secara maksimal. Selain itu, ia juga menyatakan dukungannya terhadap wakilnya, Kamala Harris, untuk menggantikannya sebagai calon Presiden AS dari Partai Demokrat di pemilu tahun ini.
Kekagetan yang ditimbulkan oleh berita ini bukan tanpa alasan. Sebelumnya, Biden tampak tegas meyakinkan publik dan partainya atas keseriusan niatnya untuk kembali bertarung di pemilu. Bahkan, disinyalir berita pengunduran diri tersebut tidak diketahui oleh orang-orang dekatnya.
Baca juga: Biden Mundur, Drama Baru Pilpres AS
Gagal debat
Pembacaan atas langkah dramatis Biden ini sulit untuk dilepaskan dari perkembangan terakhir di politik AS. Salah satu titik awal munculnya keraguan atas Biden dalam pemilu ialah debat kandidat presiden pertama yang diselenggarakan pada 27 Juni lalu. Saat itu, performa Biden dalam menanggapi serangan dari Trump dinilai buruk oleh masyarakat AS.
Hal ini pun terkonfirmasi dari hasil survei yang dilakukan oleh PEW Research Center pada 1-7 Juli 2024. Setelah melihat penampilan Biden di malam debat tersebut, hanya 24 persen dari responden yang merasa sosok ini memiliki kapabilitas secara mental untuk menjadi presiden. Lebih jauh, 63 persen dari responden survei juga menilai Biden sebagai sosok yang memalukan setelah acara debat berlangsung.
Kegagalan Biden dalam debat ini menguatkan asumsi negatif publik yang menitikberatkan pada faktor usia Biden. Hasil studi dari Ipsos pada 16 Juli lalu menunjukkan, sebanyak 69 persen dari pemilih di AS merasa Biden sudah terlampau tua untuk kembali memimpin, sedangkan hanya 49 persen dari responden yang menyatakan hal serupa tentang Trump.
Jarak keterpilihan antara Biden dan Trump pun melebar sesaat setelah debat perdana. Apabila sebelumnya relatif seimbang di rentang 39-41 persen, hasil survei PEW Research Center di atas menunjukkan peningkatan pada elektabilitas Trump hingga menyentuh 44 persen. Angka yang relatif sulit dicapai oleh Trump selama ini.
Meski sedikit lebih kecil, tren peningkatan elektabilitas Trump juga terkonfirmasi dari hasil survei oleh Ipsos. Berdasarkan survei yang diselenggarakan pada pertengahan Juli lalu, elektabilitas Trump berada di angka 43 persen.
Tidak heran, potensi mundurnya Biden sebetulnya sudah terbaca oleh beberapa lembaga survei di AS. Survei dari YouGov pada 13-16 Juli, misalnya, sudah dapat memasukkan Harris sebagai salah satu kandidat kuat dalam nominasi Demokrat. Dalam surveinya, YouGov membaca sosok ini memiliki elektabilitas sebesar 39 persen, tidak jauh tertinggal dari Biden yang sebesar 41 persen.
Baca juga : Sejarah Mencatat, Biden Bukan Petahana Presiden AS Pertama yang Mundur
Trump jadi martir
Selain performa debat yang lebih buruk dari ekspektasi, besar kemungkinan pengunduran diri Biden juga dipengaruhi oleh peristiwa percobaan pembunuhan Trump.
Pasalnya, peristiwa tersebut menggerakkan momentum elektabilitas Trump. Hal ini akibat Trump yang dinilai menjadi martir hingga memiliki ”tuah” oleh masyarakat AS karena bisa selamat.
Kesimpulan ini terkonfirmasi dari hasil survei Ipsos minggu lalu. Berdasarkan jajak pendapat ini, sebagian besar dari responden berpendapat bahwa Trump sangat beruntung bisa selamat dari percobaan pembunuhan. Bahkan, sepertiga dari warga merasa Trump bisa selamat karena diberkahi oleh Tuhan.
Meningkatnya dukungan kepada Trump pascapenembakan tersebut tecermin dari hasil jajak pendapat YouGov yang dilaksanakan pada 16-18 Juli 2024.
Dari hasil survei ini, lebih dari seperempat responden mengaku lebih mempertimbangkan untuk memilih Trump setelah adanya upaya pembunuhan. Adapun yang berkata sebaliknya hanya 7 persen.
Besar kemungkinan hal ini juga didorong oleh respons Trump yang dirasa cukup baik dalam menanggapi rencana pembunuhan terhadapnya. Hasil jajak pendapat di atas menunjukkan bahwa 54 persen responden merasa Trump lebih banyak menyampaikan pesan terkait persatuan pascaperistiwa itu, alih-alih menyebarkan kebencian.
Baca juga: Joe Biden Mundur
Dinamika ke depan
Pergolakan di lanskap politik AS dalam sebulan terakhir makin menguatkan nuansa ketidakpastian di pemilu kali ini. Di satu sisi, berdasar beberapa hasil survei terkini, Trump masih memiliki keunggulan elektabilitas.
Di sisi lain, dengan strategi dan pilihan kandidat cawapres yang pas, Kamala Harris juga bukan lawan yang mudah untuk dikalahkan.
Bahkan, sepertiga dari warga merasa Trump bisa selamat karena diberkahi oleh Tuhan.
Salah satu langkah Trump yang dirasa kurang tepat ialah memilih Senator James David Vance sebagai pasangannya dalam pemilu ini.
Hasil jajak pendapat Ipsos menunjukkan bahwa tingkat popularitas Vance hanya berada di kisaran 44 persen. Dari yang mengetahui, hampir separuhnya menyatakan ketidaksukaannya kepada sosok tersebut.
Tak heran, masyarakat terbelah atas keputusan Trump tersebut. Hasil survei Ipsos menunjukkan 32 persen dari responden menyatakan langkah Trump ini kurang tepat, sedangkan 34 persen lainnya mengaku belum bisa menilai karena tak mengenal sosok Vance. Meski demikian, masih ada sekitar 35 persen dari publik yang puas dengan pilihan Trump tersebut.
Di samping isu elektoral, dinamika perkembangan terakhir juga memberi pemandangan yang buruk bagi warga. Sebagian besar dari masyarakat merasa khawatir dengan munculnya kekerasan berbasis politik di beberapa waktu ke depan. Bahkan, kekhawatiran akan kekerasan politik lebih besar dibandingkan dengan kekerasan berbasis agama.
Kekhawatiran akan stabilitas politik ini merembet ke suasana batin warga AS secara umum. Dari survei di atas, diketahui bahwa 86 persen responden mengaku khawatir bahwa kekerasan yang terjadi bisa berubah menjadi kekacauan besar. Bahkan, 56 persen dari kelompok responden ini mengaku sangat khawatir hal tersebut akan terjadi.
Tak ayal, selain penyelenggaraan pemilu, stabilitas menjadi isu yang sangat krusial untuk segera diselesaikan oleh pemerintahan AS saat ini. Tanpa adanya rasa keamanan yang cukup, kekhawatiran dalam dimensi politik bisa merembet hingga ke dimensi lain, seperti sosial dan ekonomi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Joe Biden Mundur, Trump Marah-marah