Hari Adhyaksa Ke-64, Tantangan di Tengah Kinerja Positif Kejaksaan
Memasuki usia ke-64, citra Korps Adhyaksa dinilai baik oleh publik. Kejaksaan didukung untuk memperbaiki kinerjanya.
Sebagai salah satu lembaga penegak hukum, sejumlah upaya Kejaksaan menegakkan hukum menjadi pijakan bagi publik dalam memberikan apresiasinya. Salah satunya dari upaya Kejaksaan yang terus memperkuat langkah-langkah penegakan hukum tersebut.
Merujuk hasil survei tatap muka Litbang Kompas, citra Kejaksaan cenderung positif di mata publik. Survei periode Juni 2024 merekam, citra positif Kejaksaan berada di angka 68,1 persen. Penilaian publik ini sekaligus menjadi yang tertinggi dalam dua tahun terakhir. Sebelumnya, citra Kejaksaan sempat menyentuh titik terendahnya pada Oktober 2022, yakni di angka 52 persen.
Meskipun citranya cenderung meningkat, ada sejumlah catatan kinerja dari Kejaksaan yang masih menjadi pekerjaan rumah. Hal ini tampak dari hasil jajak pendapat melalui telepon yang dilakukan Litbang Kompas pada Juni 2024.
Jajak pendapat ini merekam, publik sudah menilai positif Kejaksaan dalam hal melakukan penuntutan dan penyidikan sebagai kewenangan dan tugas yang melekat dari lembaga ini. Namun, catatan kritis diberikan terhadap kinerja Kejaksaan dalam hal memberantas korupsi dan menegakkan hukum.
Angka kepuasan untuk kinerja Kejaksaan dalam hal penuntutan sebesar 56,1 persen. Namun, masih terdapat 37,6 persen responden yang mengaku tak puas. Kemudian, sebesar 55,9 persen responden mengaku puas terhadap kinerja Kejaksaan dalam penyidikan dengan 32,4 persen responden yang tidak puas.
Catatan kritis muncul dalam upaya Kejaksaan menegakkan hukum dan memberantas korupsi. Meski Kejaksaan sudah menunjukkan kinerja positif, publik berharap Kejaksaan lebih maksimal menegakkan hukum dan memberantas korupsi.
Hanya sekitar 32,7 persen responden yang mengaku puas dengan kinerja Kejaksaan untuk menegakkan hukum. Setali tiga uang, sekitar 36,4 persen responden mengaku puas dengan kinerja memberantas korupsi ini.
Kurang puasnya responden terhadap kinerja pemberantasan korupsi juga terlihat dari penilaian atas keseriusan Kejaksaan memberantas korupsi. Hanya sekitar 24,5 persen responden yang menilai Kejaksaan sudah serius memberantas korupsi. Sementara masih ada 51,6 persen responden yang menilai pemberantasan korupsi masih setengah-setengah, bahkan sebagian lain menilainya tidak serius.
Baca juga: Komisi Kejaksaan Meminta Penyidik Sasar Aset Besar
Terkait upaya Kejaksaan meningkatkan kinerja penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, sejumlah masukan diberikan publik. Dari beberapa poin yang ditanyakan untuk meningkatkan kualitas jaksa, responden menilai penghilangan praktik nepotisme dalam tubuh Kejaksaan perlu diusahakan. Terdapat 36,9 persen responden yang sepakat dengan hal tersebut.
Berikutnya, terdapat 31,3 persen responden yang lebih menitikberatkan pada peningkatan kualitas pendidikan untuk meningkatkan kapabilitas jaksa. Sementara 25,1 persen responden menekankan perlunya rekrutmen dan pemilihan jaksa yang lebih transparan.
Jika dilihat substansinya, ketiga atensi publik ini bermuara pada pembenahan fondasi internal Kejaksaan. Agar kejaksaan dapat tampil lebih maksimal dalam memberantas korupsi dan menegakkan hukum, diperlukan insan-insan jaksa yang kredibel dan kapabel.
Pemberantasan korupsi
Kredibilitas tersebut diharapkan dapat meningkatkan kinerja pemberantasan korupsi yang terus menjadi agenda Kejaksaan. Setidaknya jika mengacu data Indonesia Corruption Watch, dibandingkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kepolisian, Kejaksaan menjadi lembaga penegak hukum yang paling banyak menangani kasus korupsi sepanjang tahun 2023.
Baca juga: Kinerja Kejagung Kini Diapresiasi, Apa Kriteria Jaksa Agung Pilihan Prabowo-Gibran?
Dari segi jumlah, sebanyak 551 kasus ditangani Kejaksaan. Angka ini lebih banyak dibandingkan kepolisian yang menangani 192 kasus ataupun KPK dengan 48 kasus yang ditangani. Dari sisi jumlah tersangka yang ditetapkan pun paling banyak, yakni 1.163 tersangka. Di sisi lain, sepanjang 2023 kepolisian hanya menetapkan 385 tersangka dan KPK menetapkan 147 tersangka.
Tak hanya dari jumlah kasus dan tersangka, taksiran kerugian negara dari kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan pun mencapai Rp 26,7 triliun pada tahun 2023. Angka ini menjadi yang tertinggi dibandingkan kerugian negara akibat korupsi yang ditangani kepolisian (Rp 960 miliar) dan KPK (Rp 705 miliar).
Keseriusan Kejaksaan memberantas kasus korupsi juga tampak dari kasus-kasus yang menjadi perhatian publik. Sebut saja di awal 2024, sebuah kasus korupsi yang ditangani Kejaksaan dengan kerugian negara mencapai Rp 271 triliun, menggemparkan publik. Kejaksaan Agung telah menetapkan puluhan tersangka dalam kasus korupsi tata niaga PT Timah tersebut.
Dari daftar tersangka yang sudah ditetapkan, tampak dalam kasus korupsi ini terlibat berbagai pihak, mulai dari perusahaan milik negara, pihak swasta, hingga jajaran pemerintah daerah.
Tidak hanya kasus tata niaga PT Timah, sejumlah kasus korupsi dengan kerugian negara yang tidak sedikit juga ditangani Kejagung. Hal itu, antara lain, kasus korupsi PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) yang terjadi pada 2016 dengan kerugian negara mencapai Rp 22,7 triliun. Selain itu, juga kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya yang melibatkan sejumlah pucuk pimpinan perusahaan dan pengusaha besar pada 2019 yang merugikan negara hingga Rp 16,81 triliun.
Baca juga: Asabri Merugi Rp 22,7 Triliun, Terdakwa Untung hingga Triliunan Rupiah
Keyakinan publik
Meskipun terdapat sejumlah catatan kritis terkait kinerja Kejaksaan terutama dalam upaya menegakkan hukum dan memberantas korupsi, publik masih menunjukkan harapan tinggi terhadap lembaga ini.
Mayoritas responden (83,3 persen) meyakini kinerja Kejaksaan pada masa mendatang akan lebih baik lagi.
Di tengah kinerja positif yang telah ditunjukkan pada 2023 ditambah dengan sejumlah kasus besar yang berhasil diungkap pada awal 2024, keyakinan publik ini selayaknya menjadi landasan kuat bagi Kejaksaan untuk terus meningkatkan kinerjanya.
Akan tetapi, dalam upaya untuk menegakkan hukum dan memberantas korupsi, Kejaksaan tampak memerlukan sistem dukungan yang lebih baik dari negara. Kembali pada sejumlah kasus korupsi dengan nilai fantastis sebagaimana disebutkan di awal, tampak terlibat petinggi negara ataupun swasta di dalamnya.
Kasus korupsi yang menyeret nama-nama besar tentunya memunculkan risiko besar pula terhadap para jaksa yang menangani. Artinya, perlu jaminan perlindungan negara atas risiko besar tersebut.
Dalam Pasal 8A Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan Republik Indonesia disebutkan, dalam menjalankan tugas dan wewenang, jaksa beserta anggota keluarganya berhak mendapatkan perlindungan negara dari ancaman yang membahayakan baik diri, jiwa, maupun harta benda.
Aturan di atas memberikan jaminan bahwa keselamatan jaksa dan keluarga diberikan oleh negara. Dengan demikian, selain membenahi diri dari dalam, dukungan negara untuk memberikan perlindungan bagi para jaksa juga menjadi langkah konkret untuk mewujudkan harapan publik yang tetap yakin ke depan kinerja Kejaksaan akan terus membaik, terutama dalam menegakkan hukum dan memberantas korupsi.