Survei Pilkada 2024: Menguji Geokultural Pemilih Jatim (25)
Pemilih di Jawa Timur dibagi berdasarkan aspek geokultural yang meliputi empat wilayah. Bagaimana memahaminya?
Wajah pemilih di Jawa Timur dapat dibagi berdasarkan aspek budaya dan kewilayahan. Namun, acuan geokultural ini bakal diuji seiring berubahnya perilaku pemilih.
Secara geokultural, pemilih di Jawa Timur terbagi antara wilayah Arek, Mataraman, Tapal Kuda, dan Madura. Wilayah Arek mencakup Gresik, Jombang, Malang, Batu, Mojokerto, Pasuruan, Surabaya, dan Sidoarjo. Wilayah Mataraman terdiri dari Blitar, Bojonegoro, Kediri, Madiun, Lamongan, Magetan, Nganjuk, Ngawi, Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Tuban, dan Tulungagung.
Khusus bagian Mataraman pun masih bisa lagi dipecah antara Mataraman dan Mataraman pesisir yang mencakup Bojonegoro, Lamongan, dan Tuban.
Selanjutnya, wilayah Tapal Kuda meliputi Banyuwangi, Bondowoso, Jember, Probolinggo, Lumajang, dan Situbondo. Adapun wilayah Madura ialah Bangkalan, Sampang, Pamekasan, dan Sumenep.
Ada juga pandangan lainnya yang menambahkan satu wilayah lagi, yakni Pandalungan yang merupakan wilayah kultural hasil perpaduan Tapal Kuda dan Madura. Misalnya, Kabupaten Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Lumajang. Namun, pembagian geokultural keempat bagian itu untuk mempermudah pemetaan karakteristik pemilih Jatim.
Dalam konteks masyarakat Jatim, pengaruh kerajaan dan kultural-agama telah melalui proses panjang dan terus berlangsung sekarang. Misalnya, dalam tradisi Mataraman, pergulatan politik cenderung statis karena pengaruh Mataram dan sufisme lebih menonjol dibandingkan kawasan lain di Jatim. Statisnya kehidupan politik ini bisa dikatakan sebagai loyalitas, terutama pada sosok pemimpin di daerah tersebut.
Lain lagi di Tapal Kuda dan Madura, yang cenderung memilih calon pemimpin berdasarkan latar belakang agama. Di Madura, budaya ”Bhapa’ Bhabu’ Guru’ Rato” masih mengakar kuat dalam menentukan pilihan, termasuk pilihan politik. Istilah tersebut memiliki arti pertama bapak, kedua ibu, ketiga kiai, keempat ratu atau kepala daerah setempat dalam urutan untuk dimintai pendapat.
Hasil survei Kompas pada 20-25 Juni 2024 di Jatim dapat memberikan gambaran pemetaan geokultural masyarakat Jatim untuk pilkada nanti. Setidaknya ada dua variabel penting yang muncul dalam hasil survei Kompas ini, terutama bagi pemilih dalam menentukan pilihan kepala daerah.
Keduanya ialah identitas etnis dan agama serta karakter personal yang melekat pada kandidat. Melihat pertimbangan yang diungkapkan ini, kecenderungan pemilih di Jatim lebih banyak dipengaruhi oleh ketokohan calon kepala daerah.
Secara umum di semua wilayah kultural ini memiliki tingkat penerimaan yang tinggi kepada kandidat yang asli Jatim. Baik Mataraman, Arek, Tapal Kuda, maupun Madura memberikan penerimaan di rentang angka 84 hingga 92 persen.
Dalam hal ini, etnosentrisme menjadi salah satu variabel yang cukup kuat tertanam dalam mayoritas pemilih Jatim. Di satu sisi, hal ini dapat dipahami karena adanya kebutuhan atau keinginan dari pemilih memfasilitasi kohesi dan kontinuitas dalam pranata budaya Jatim.
Sejarah panjang kerajaan yang saling berebut kekuasaan, wilayah, serta pengaruh dapat menjadi genealogi dari tingginya kebutuhan akan kohesi sosial masyarakat Jatim.
Di lain sisi, pandangan ini kerap mendapat konotasi negatif karena cenderung menutup kemungkinan kepada kandidat kepala daerah dari luar wilayah, terutama yang berbeda etnis.
Namun, kondisi ini perlahan mulai cair di wilayah-wilayah urban Jatim yang menjadi wadah peleburan (melting pot) karena majunya industrialisasi. Dengan kata lain, variabel kesamaan asal bukan satu-satunya penentu.
Penerimaan yang cukup tinggi selanjutnya terbuka pada calon kepala daerah dari generasi muda. Menariknya, sejak pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung, dua sosok terpilih, yakni dua mantan Gubernur Jatim, Soekarwo dan Khofifah, tidak dapat dikatakan muda saat memenangi kontestasi.
Meski demikian, pada sosok wakil gubernur terdapat nama Emil Dardak yang berusia 35 tahun saat dilantik pada 2019. Temuan pertimbangan menerima pemimpin muda ini memberikan indikasi kian terbukanya pandangan terhadap pilihan kepala daerah untuk tahun ini dibandingkan pilkada sebelum-sebelumnya.
Di lapisan penerimaan berikutnya, yaitu latar belakang pemimpin dari tokoh agama atau ulama, terlihat mulai ada perbedaan di empat wilayah kultural. Wilayah Mataraman dan Madura memberikan bobot penerimaan selanjutnya pada kepala daerah yang berlatar belakang tokoh agama atau ormas Islam. Adapun wilayah Arek dan Tapal Kuda lebih terbuka pada perempuan untuk memimpin Jatim.
Hal senada juga ditemukan ketika melihat bobot pertimbangan memilih kepala daerah di keempat wilayah kultural. Kepala daerah yang menganut agama yang sama dengan responden mendapat pertimbangan utama, baik di Mataraman, Arek, Tapal Kuda, maupun Madura.
Khusus di Tapal Kuda, bobot pertimbangannya mencapai 83 persen karena latar wilayah ini identik dengan kalangan santri dan ulama yang masih memiliki pengaruh politik yang besar di masyarakat.
Bobot pertimbangan selanjutnya mengarah pada calon kepala daerah yang satu suku dengan responden yang berada di rentang angka 68-81 persen. Hasil ini menjadi penegasan atas besarnya penerimaan terhadap kandidat yang merupakan orang asli Jatim. Porsi pertimbangan kesamaan suku ini terutama diakui oleh responden dari Tapal Kuda dan Madura.
Baca juga: Survei Pilkada 2024: Menanti Tuah Jokowi di Jateng (16)
Disrupsi kultural
Dari temuan survei Kompas terhadap kadar penerimaan dan pertimbangan memilih pemimpin daerah, dapat dilihat bahwa wajah pemilih berdasarkan geokultural telah mengalami perkembangannya masing-masing.
Wilayah Arek, misalnya, yang kerap diidentikkan dengan pemilih loyal dan ditentukan oleh ideologi partai, kini terlihat lebih cair karena tumbuhnya area-area urban yang berdampak pada cara pandang dan perilaku pemilih.
Di sisi lain, aspek kultural ini juga terancam mengalami pergeseran. Hal ini tidak lepas dari mulai banyaknya porsi pemilih muda saat ini. Data KPU Jatim menyebutkan, dari potensi total 32 juta pemilih di Pemilihan Gubernur Jatim, November 2024 mendatang, porsinya lebih banyak didominasi oleh pemilih dari generasi Z dan milenial yang berusia 17 tahun ke atas hingga 34 tahun saat pilkada nanti.
Besarnya porsi pemilih muda ini dapat menjadi ancaman disrupsi terhadap pandangan geokultural yang selama ini digunakan untuk memetakan wajah pemilih Jatim. Karakter pemilih muda yang relatif otonom dan mandiri secara politik sedikit banyak akan melemahkan sisi-sisi pertimbangan kultural tersebut.
Selain itu, wilayah Jatim juga terus menunjukkan dinamika penguasaan politik partai. Tidak ada parpol yang mendominasi wilayah ini sepanjang empat pemilu terakhir. Dari Pileg 2009 hingga 2024, secara berurut perolehan kursi terbanyak diraih oleh Partai Demokrat (22 kursi) pada Pemilu 2009, PKB (20 kursi) di Pemilu 2014, PDI-P (27 kursi) di Pemilu 2019, dan terakhir PKB (27 kursi) pada Pemilu 2024.
Di tengah berbagai perubahan yang terjadi saat ini, Pilkada Jatim akan menjadi ajang pengujian hipotesis terhadap masih relevan atau tidaknya demarkasi pemilih dari aspek geokultural. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Survei ”Kompas” Pilgub Jakarta 2024: Anies, Ahok, atau Ridwan Kamil?