Survei Pilkada 2024: Ironi Kesejahteraan Petani di Jateng (18)
Kinerja Pemerintah Provinsi Jateng meningkatkan kesejahteraan petani mendapatkan nilai paling rendah di mata publik.
Sebuah kebijakan baru diambil oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1870 bertajuk ”Agrarische Wet”. Undang-undang Agraria ala kolonial ini seakan-akan menjadi kabar gembira bagi rakyat pribumi yang akan mendapat hak eigendom alias hak milik atas tanah.
Berjalan lebih dari 70 tahun, kebijakan ini menjadi jalan mulus bagi pemodal asing untuk berinvestasi di Hindia Belanda. Keuntungan makin berlipat sebab infrastruktur dan transportasi menggunakan fasilitas yang disediakan pemerintah. Tak hanya itu, akumulasi profit pun bertambah sebab tenaga kerja pribumi bekerja jam kerja panjang namun dibayar dengan upah murah.
Kebijakan yang berpihak kepada pemodal ini kemudian menyulap Pulau Jawa menjadi perkebunan-perkebunan besar. Mulai dari gula, kopi, tembakau, teh, karet, hingga kelapa menjadi komoditas andalan.
Di tengah kejayaan perusahaan-perusahaan asing meraup untung di tanah Jawa, para petani pribumi menjadi korban. Sewa-menyewa antara pemodal dan petani pemilik lahan berakhir dengan paksa-memaksa. Perjanjian sewa dilakukan sepihak, pahitnya, dengan perhitungan berdasarkan tanaman yang berdiri, bukan standar harga tanah.
Kesejahteraan petani yang memprihatinkan sejak zaman kolonial hingga kemerdekaan masih disoroti oleh publik Jateng hingga kini.
Ditambah, dalam perjanjian tersebut pihak kolonial sudah melakukan kongkalikong terlebih dahulu dengan aparat pemerintah desa. Lebih menyakitkan lagi, para petani dipaksa menjadi buruh di perusahaan yang berdiri di tanah-tanah sewaan tersebut.
Pagilaran, sebuah kecamatan yang kini termasuk di Kabupaten Batang, Jateng, menyimpan satu cerita dari sekian kisah sewa-menyewa tanah di atas. Kemerdekaan yang semestinya memberikan solusi atas hak-hak tanah rakyat ternyata tidak menjamin petani dengan mudah mengklaim hak miliknya. Padahal, bagi petani Pagilaran, dan petani-petani lain, tanah merupakan sumber pendapatan.
Kisah pelik soal kepemilikan tanah petani pun berlanjut. Pada tahun 1999 muncul gerakan petani Pagilaran yang tergabung dalam Paguyuban Petani Korban PT Pagilaran (P2KPP) dan Paguyuban Masyarakat Gunung Kamulyan (PMGK). Tujuan dari gerakan petani ini adalah menuntut pengembalian tanah yang mereka klaim secara historis.
Baca juga: Survei ”Kompas” Pilgub Jabar 2024, Siapa Tokoh yang Dominan?
Kesejahteraan petani
Sekilas cerita tentang kebijakan kolonial tentang kepemilikan tanah hingga munculnya gerakan petani Pagilaran membuktikan bahwa kesejahteraan petani yang terkait dengan hak atas tanah masih problematis, termasuk di Jateng. Survei Kompas pada Juni 2024 merekam, problem ini pun masih mencuat hingga kini.
Dari 15 indikator penilaian kinerja pemerintah daerah Jateng, upaya meningkatkan kesejahteraan petani mendapatkan nilai paling rendah. Sekitar 64,4 persen responden yang memberikan penilaian baik untuk bidang ini. Angka ini berada di bawah rata-rata penilaian baik seluruh indikator yang berada di angka 81,3 persen.
Berada dalam kisaran yang sama, persoalan Wadas juga masih menjadi sorotan. Bagaimana pemerintah daerah Jateng mengatasi kasus Wadas dinilai baik oleh 64,6 persen responden saja.
Relatif rendahnya penilaian publik Jateng dalam dua bidang ini masih terkait dengan persoalan historis tentang kepemilikan lahan yang ditambah dengan isu lingkungan.
Terkhusus soal Wadas, meskipun dalam skala nasional isunya berangsur surut, bagaimana protes warga setempat yang menolak rencana tambang dihadapi dengan pengerahan aparat masih menjadi memori yang membekas hingga sekarang. Kasus ini pun membuktikan bagaimana reformasi agraria yang tersendat-sendat menimbulkan masalah-masalah sosial lanjutan.
Tak hanya di Wadas, bagaimana persoalan Kendeng ditangani oleh pemda juga mendapatkan penilaian baik di bawah rata-rata.
Bagaimana Pemerintah Provinsi Jateng mengatasi persoalan Kendeng dinilai baik oleh 68,9 persen responden. Hal ini menguatkan lagi bahwa persoalan konflik tanah belum menemukan solusi yang sepenuhnya diterima oleh masyarakat Jateng.
Beranjak ke bidang lain, sorotan publik Jateng juga tertuju pada perkara kemiskinan. Upaya pemerintah daerah dalam mengentaskan kemiskinan di Jateng mendapat penilaian baik dari 67 persen responden.
Berikutnya, mengatasi banjir rob di wilayah pantai utara juga disorot dengan persentase penilaian baik 67,7 persen. Kelima indikator di atas menjadi lima bidang dengan apresiasi terendah.
Selain sejumlah persoalan di atas, dari sisi pelayanan publik, responden memberikan sorotan paling kentara terhadap pengelolaan sampah dan limbah.
Soal sampah dan limbah dinilai baik oleh 66,2 persen responden sekaligus menjadi yang terendah di antara penyediaan fasilitas umum lainnya. Padahal, nilai rata-rata baik untuk pelayanan publik di Jateng berada di angka 81,1 persen.
Selain itu, penyediaan sarana budaya diapresiasi oleh 68,4 responden atau yang terendah kedua. Meskipun terkenal dengan situs-situs kebudayaan yang megah, seperti candi dan keraton, nyatanya masyarakat mengharapkan galeri seni, tempat pertunjukan, hingga museum yang lebih merata di Jateng.
Di luar catatan-catatan yang muncul dari hasil survei, isu pemerataan wilayah juga menjadi problem yang layak diperhatikan. Berkaca dari data Badan Pusat Statistik tahun 2023, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Jateng berada di angka 73,39. Apabila skor IPM dilihat di tiap kabupaten/kota masih tampak kesenjangan antara wilayah dengan IPM tertinggi dan yang terendah.
Tiga kota dengan IPM tertinggi yakni Kota Semarang (84,99), Kota Semarang (84.43), dan Kota Surakarta (83,54). Sementara tiga kabupaten dengan skor IPM tertinggi yaitu Sukoharjo (78,65), Klaten (77,59), dan Karanganyar (77,31).
Di sisi lain, terdapat sejumlah kabupaten dengan skor IPM terendah dengan selisih relatif jauh. Kabupaten Brebes memiliki skor IPM 67,95 sekaligus yang terendah di Jateng. Selain itu, skor IPM yang masih tertinggal dimiliki Kabupaten Pemalang (68,03), Kabupaten Banjarnegara (69,14), dan Kabupaten Wonosobo (69,37).
Baca juga: Survei ”Kompas” Pilgub Jakarta 2024: Anies, Ahok, atau Ridwan Kamil?
Soliditas sosial
Meskipun terdapat catatan, terutama dari sisi materi, sejumlah indikator terkait kohesi sosial menjadi sisi yang diapresiasi sangat positif oleh publik. Kinerja pemerintah dalam menjaga kerukunan antaragama dinilai baik oleh 98,4 persen responden. Setali tiga uang dengan itu, 98,1 persen responden menilai baik upaya pemda menjaga kerukunan antarsuku.
Bagaimana sisi sosial kemasyarakatan dijaga dengan baik pun muncul dalam penilaian baik terhadap upaya melibatkan warga dalam kegiatan kemasyarakatan (94,9 persen), menjaga kerukunan antarwarga (92,7 persen), serta menanamkan nilai spiritual dan kebangsaan (91,4 persen).
Dari lima indikator teratas ini, pendekatan kultural dan pengupayaan hidup yang harmonis tampak berhasil diterapkan oleh pemda dalam kehidupan masyarakat.
Melihat soliditas sosial yang berhasil dijaga, tampak bahwa karakter masyarakat Jawa yang hidup aman tenteram berlandaskan prinsip tepo sliro (tenggang rasa) masih dihidupi di Jateng.
Namun, jika kembali ke bidang-bidang yang sifatnya lebih material, tampak masyarakat di provinsi ini mengharapkan lebih. Soliditas sosial semestinya menjadi lahan subur tempat masyarakatnya pun mengalami kesejahteraan.
Momentum pilkada serentak untuk memilih gubernur dan juga bupati serta wali kota menjadi saat yang tepat untuk memberikan kebaruan hidup di Jateng. Akan menjadi ironi ketika di wilayah ini melanggengkan masalah turun-temurun soal kesejahteraan terutama petani di negeri yang disebut agraris dan kehidupan masyarakatnya harmonis.
Tahun 2012 di Pati, tepatnya Desa Keben Kecamatan Tambakromo, seniman Slamet Gundono dengan wayang suketnya pernah bertutur, ”Pertanian adalah warisan nenek moyang. Pelihara dan jangan ditinggalkan karena iming-iming uang.” Pesan ini tampak tepat untuk mengakhiri tragedi kesulitan hidup petani di Jateng yang dimulai sejak akal-akalan Agrarische Wet zaman kolonial hingga kini melalui pilkada nanti. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Survei Pilkada 2024: Menanti Tuah Jokowi di Jateng (16)